Sabtu, 22 Oktober 2022

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini diperingati beberapa perihal penting tentang kesejahteraan, diantaranya hari pengentasan kemiskinan internasional, Hari Pangan Sedunia (HPS), hari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lainnya. Pada opini ini, akan membahas tentang upaya pengentasan kemiskinan pada skala nasional dan daerah yang ada hubungannya juga dengan ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan serta kepatuhan dan ketaatan sebagai kunci keberhasilan dalam penghapusan kemiskinan.

Sampai saat ini, upaya pengentasan kemiskinan baik skala nasional maupun skala daerah masih terus dilakukan dengan berbagai konsep, model, teori dan skema.  Kita bisa sebut model-model pengentasan kemiskinan berbasis masyarakat, berbasis keluarga, berbasis kearifan lokal (local wisdom), berbasis pertanian, berbasis masyarakat pesisir, berbasis gender, berbasis institusi lokal, berbasis partisipasi masyarakat, berbasis ekonomi lokal (UMKM) dan sebagainya yang disertai dengan program-program unggulan seperti : program keluarga harapan (PKH), bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan siswa miskin, PNPM, Jamkesmas, Raskin, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan sebagainya.

Walaupun demikian, penurunan kemiskinan belum terlihat signifikan padahal sudah dilakukan ikhtiar yang maksimal.  Data BPS terakhir pada Bulan Maret tahun 2022, kemiskinan nasional masih sebesar 9,54 persen atau ada sekitar 26,16 juta orang yang miskin, walaupun mengalami penurunan sebesar 0,17 persen (1,38 juta orang) persentase ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan rentang target penurunan nasional tahun 2024 sebesar 6,5 s.d 7,0 persen karena waktu yang dibutuhkan kurang dari 2 tahun lagi, termasuk untuk target kemiskinan ekstrem (desil 1) adalah 0% pada tahun 2024.  Demikian juga, untuk data bersumber BPS Sulteng bahwa persentase kemiskinan maret tahun 2022 di Sulawesi Tengah yaitu 12,33 persen atau terdapat 388,35 ribu orang miskin, kondisi ini lebih tinggi dari September 2021 sebesar 12,18 persen atau ada ketambahan orang miskin di Sulawesi Tengah sebesar 7,14 ribu orang dalam rentang waktu 6 bulan.  Pada data tersebut menunjukkan juga adanya peningkatan jumlah penduduk miskin di perkotaan  sebesar 3,59 ribu orang dan di pedesaan naik sebesar 3,55 ribu orang di Sulawesi Tengah.  Sedangkan untuk persentase penduduk miskin Sulawesi Tengah sebesar 12,33 persen berada pada urutan kedua tertinggi se-Pulau Sulawesi setelah Gorontalo sebesar 15,42 persen.  Angka 2 digit persen kemiskinan Sulawesi Tengah ini, akan memerlukan upaya keras karena harus diturunkan menjadi 1 digit atau sebesar 7,9 persen pada tahun 2026.

Angka kemiskinan secara nasional dan lokal Sulawesi Tengah memiliki komposisi Garis Kemiskinan Makanan yang lebih tinggi dari Non-makanan.  Garis kemiskinan nasional maret 2022 yang sebesar Rp. 505.469/kapita/bulan terdiri atas garis kemiskinan makanan sebesar 74,08 persen (Rp. 374.455) sedangkan garis kemiskinan non makanan hanya sebesar 25,92 persen (Rp. 131.014).  Demikian juga untuk daerah Sulawesi Tengah dimana Garis Kemiskinan Maret 2022 tercatat sebesar Rp. 530.251/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar 76,20 persen (Rp. 404.034), dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar 23,80 (Rp. 126.217).  Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk memenuhi kecukupan pangan adalah sangat menentukan status seseorang itu dikatakan miskin atau non miskin karena mempengaruhi jumlah besarnya pengeluaran dari masyarakat yang dinilai total sebagai jumlah batas garis kemiskinan. Dari data yang dirilis oleh BPS Sulteng sumbangan terbesar pada garis kemiskinan diperkotaan dan di pedesaan pada umumnya sama. Pada kelompok makanan andil terbesar yaitu Beras sebesar 20,02 persen di perkotaan dan 23,90 persen di perdesaan, diikuti rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap garis kemiskinan, sebesar 17,07 persen di perkotaan dan 17,22 persen di perdesaan. Selanjutnya adalah ikan tongkol, telur ayam ras, dan mie instan. Sementara itu, untuk komoditi bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan perkotaan dan perdesaan adalah perumahan (11,43 persen di perkotaan, dan 9,17 persen di perdesaan), diikuti bensin dan listrik. 

Dari data tersebut diatas, dapat dipahami bahwa biaya untuk kebutuhan pangan adalah faktor terpenting yang mempengaruhi naik dan turunnya angka kemiskinan baik itu untuk masyarakat yang memang telah berada dibawah garis kemiskinan maupun masyarakat yang berada pada kelompok rentan atau hampir miskin (near poor).  Untuk keadaan sekarang, sangat memungkinkan jika angka kemiskinan kembali bergerak naik karena dipengaruhi oleh imbasnya naiknya bahan bakar minyak yang selanjutnya berpengaruh pada proses produksi, distribusi dan pemasaran pangan.  Yang jelas bahwa, salah satu strategi untuk menekan angka kemiskinan yaitu dengan melakukan intervensi terhadap harga kebutuhan pangan.  seperti : menghindari ketergantungan terhadap pangan impor, mengatur dan mengawasi distribusi pangan antar pulau, antar provinsi serta melakukan operasi pasar.  Intervensi pangan hanya merupakan contoh dari salah satu intervensi disamping masih banyak lagi yang harus dilakukan dan saling terkait satu dengan lainnya, seperti : intervensi pada peningkatan nilai tukar petani, tingkat pengangguran terbuka, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, jaringan listrik dan air bersih, jaringan internet, sarana dan prasarana kesehatan serta karakteristik masyarakat sesuai tempat tinggal (pesisir, pegunungan, pulau-pulau kecil).

Tugas pengentasan kemiskinan ini teramat mulia karena menyangkut kepentingan menyelamatkan kehidupan masyarakat dari buruk menjadi lebih baik tetapi memang sangat berat karena meliputi hampir semua aspek yang terkait.  Pertanyaan selanjutnya, kalau demikian siapa yang harus mengkoordinirnya. Selama ini pemerintah, melalui Perpres No. 15 tahun 2010 telah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan untuk daerah adalah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD).  Hal prinsip yang merupakan tugas dari tim ini adalah menetapkan target nasional dan daerah penurunan kemiskinan berdasarkan basis data terpadu dan meningkatkan efisiensi dan koordinasi program pengentasan kemiskinan untuk menjangkau sasaran (penerima manfaat). 

Prinsipnya, tugas teramat penting tetapi dirasakan sampai saat ini belum terlaksana dengan begitu baik, tim koordinasi yang dibentuk memiiki tugas tetapi belum diberikan power (kekuatan) sebagaimana mestinya karena memang status dari tim koordinasi yang terkesan kurang kuat dan terabaikan apalagi terdiri atas beberapa perangkat OPD yang lebih fokus pada pelaksanaan tugas fungsinya masing-masing.  Kita ambil contoh saja, tentang patokan data yang digunakan sebagai dasar sasaran kemiskinan, dari Perpres tersebut sudah dijelaskan bahwa yang berhak mengeluarkan data terpadu adalah TNP2K dan kelanjutannya di daerah adalah TKPKD tetapi kenyataannya setiap kementerian mengeluarkan datanya masing-masing dan mempertahankan bahwa metode dan cara sampling yang mereka gunakan adalah lebih tepat.  Katakanlah seperti: Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) oleh Kemensos, Keluarga Beresiko Stunting oleh BKKBN, Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh kemenkes, Data Kemiskinan Agregat oleh BPS yang sebenarnya memiliki indikator yang kurang lebih sama yaitu sasaran pada masyarakat miskin, akibatnya implementasi di lapangan akan tumpang tindih sasaran atau ada sasaran yang seharusnya tetapi tidak mendapat intervensi.  Baru-baru ini, TNP2K merilis Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (Data P3Ke) yang diharapkan bisa menjadi data terpadu tetapi belum ada penegasan bahwa data P3Ke menjadi rujukan wajib untuk setiap Lembaga/instansi/pemprov/pemkab-kota, apalagi rilis Data P3Ke dikatakan lambat dibandingkan dengan data-data kementerian/Lembaga lainnya yang selama ini sudah melakukan implementasi program dan kegiatan bantuan berbasis data masing-masing.

Menurut hemat penulis, bahwa sudah saatnya TKPKD ditingkatkan statusnya dalam tanda kutip, bahwa ada komitmen bersama dari semua pihak terkait untuk patuh dan taat pada setiap langkah-langkah yang diarahkan oleh tim koordinasi pengentasan kemiskinan yang ditunjuk. Terlihat pada setiap rapat koordinasi, hal yang disampaikan oleh setiap anggota tim yang berasal dari OPD hanyalah semacam laporan tentang apa yang mereka lakukan secara ego sektoral terhadap sasaran yang berbeda dengan kesepakatan atau arahan TKPKD terutama dalam hal penentuan lokasi kantong kemiskinan dan jenis bantuan yang disesuaikan dengan kriteria kemiskinan (desil 1, 2, 3 dan 4).  

Kepatuhan dan ketaatan terhadap komitmen yang dibangun bersama, seperti: kepatuhan berpedoman pada satu data sasaran (penerima manfaat) yang disiapkan dalam bentuk data P3Ke kemudian dilakukan pemutahiran data dengan nama dan alamat (by name by address) yang diambil dari hasil musyawarah desa/kelurahan dengan terlampir berita acara yang oleh kepala daerah menetapkan data tersebut berdasarkan berita acara.  Inilah data yang kemudian menjadi rujukan bagi perangkat OPD dan stakeholder terkait lainnya (Inpres No. 4 tahun 2022).

Selanjutnya mematuhi jenis bantuan atau program-program pemberdayaan yang diberikan adalah sesuai dengan klaster kriteria kemiskinan.  Untuk kemiskinan klaster I atau Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) adalah program-program yang memberikan bantuan tunai dengan tujuan untuk mengurangi beban kepala keluarga melalui peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi diantaranya seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan operasional sekolah (BOS), program Jamkesmas, dan RASKIN.  Untuk kemiskinan klaster II dilakukan penghapusan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan sasaran adalah RTM seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Percepatan pembangunan daerah tertinggal dan program-program pemberdayaan lainnya yang bersifat inovatif, sesuai karakteristik daerah bersumber pembiayaan APBD.  Selanjutnya untuk kemiskinan klister III dilakukan dengan memberdayakan UMKM yang bertujuan memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil dengan cara memberikan bantuan modal dan pelatihan keterampilan berusaha seperti kredit usaha rakyat (KUR) dan kredit usaha Bersama (KUBE).

Jika kepatuhan dan ketaatan telah dibangun dari hasil komitmen bersama khususnya dalam rujukan satu data sasaran miskin dan memberikan bantuan sesuai kriteria kemiskinan ditambah lagi dengan intervensi yang tepat, maka dapat dipastikan upaya penghapusan kemiskinan akan segera memberikan hasil sesuai target yang diinginkan.

*Penulis adalah ASN Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah


Rabu, 22 September 2021

FOOD ESTATE DI SULAWESI TENGAH Penyanggah Pangan dan Kesejahteraan Petani

 

Tulisan ini telah dimuat dalam Harian Metro Sulawesi-Palu
Oleh: Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si 

Konsep Food Estate muncul sekitar dua tahun lalu, di saat munculnya kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan sebagai imbas dari Pandemi Covid-19.  Food Estate sebenarnya bukan hal yang baru karena pada sekitar tahun 1970’an pernah dilakukan pengembangan Kawasan Pertanian Terpadu di Sumatera Selatan oleh PT Patra Tani dan tahun 1995 pernah dilaksanakan proyek besar pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektare dan yang paling terakhir di tahun 2010 yaitu dibangunnya Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada tanah seluas 1,2 juta hektare.  Namun disesalkan bahwa ketiga proyek ini tidak berjalan baik sehingga perlu menjadi pertimbangan penyebab kegagalan untuk pembangunan Food Estate di saat ini.  Diantara penyebab dari kegagalannya yaitu pembangunannya tidak berbasis kebersamaan petani atau koorporasi petani yang lebih cenderung penguasaan lahan diberikan kepada perusahaan yang bermodal dan cenderung petani dirugikan seperti penguasaan harga komoditas dan pasar.  Hal tersebut menyebabkan penolakan dari petani bahkan masyarakat sipil seperti yang terjadi di Papua untuk Project MIFEE.

Pada tahun 2022 nanti, pemerintah yang pada tema pembangunannya adalah pemulihan ekonomi dan reformasi struktural menjadikan Food Estate sebagai salah satu highlight Major Project bersama-sama dengan pengembangan Kawasan industri dan 31 Smelter, energi terbarukan dan 10 destinasi wisata untuk memperkuat ketahanan ekonomi bagi pertumbuhan berkualitas dan berkeadilan.
Pemerintah Daerah melalui Gubernur Sulawesi Tengah telah melayangkan surat kepada Menteri Pertanian Republik Indonesia untuk usulan pengembangan Food Estate berbasis Koorporasi petani pada dua lokasi kabupaten dan tiga komoditas strategis.  Kabupaten Poso meliputi Kecamatan Pamona Barat dan Kecamatan Pamona Selatan untuk komoditas utama padi sawah dengan luas total sekitar 5.348 Ha.  Kabupaten Buol meliputi Kecamatan Bukal dan Kecamatan Momunu untuk komoditas utama padi sawah seluas 1.000 Ha, Kecamatan Bukal untuk komoditas utama jagung dengan luas 1.000 Ha dan Kecamatan Tiloan untuk komoditas utama kopi dengan luas 500 ha.  Usulan ini mendapat respon positif dengan memasukkan Sulawesi Tengah sebagai Kawasan prioritas food estate Bersama-sama dengan 20 provinsi lainnya di Indonesia.

Sebenarnya apakah Food Estate yang akan digagas oleh pemerintah tersebut? Pengembangan Kawasan Food Estate berbasis koorporasi petani adalah usaha skala besar di bidang pangan yang di rancang secara terintegrasi, baik horizontal (antara komoditas pangan yang prospektif) maupun vertikal (on-farm sampai off-farm).  Pengembangan Food Estate dirancang secara integratif dan konsolidatif, mulai dari penataan kawasan, pengembangan infrastruktur, pemanfaatan teknologi produksi, digitalisasi sampai pada pengembangan koorporasi petani. Pengembangan Food Estate menempati beberapa klaster atau agroklaster, yang merupakan bagian dari Kawasan pertanian (Rancangan Umum, pengembangan Kawasan Food Estate berbasis koorporasi petani, Kementan RI, 2021).

Dengan pengembangan Kawasan Food Estate, pengelolaan pertanian tidak lagi dengan cara biasa atau konvensional, namun dengan meningkatkan skala ekonomi (economic of scale) dan menerapkan inovasi teknologi pertanian serta pengembangan kelembagaan koorporasi petani.  Pengembangan kawasannya adalah produksi pangan terpadu meliputi pertanian sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan pada wilayah tertentu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi berbasis sistem industri, permodalan, organisasi dan manajemen kontemporer.  Konsep dasar food estate diletakkan atas asas keterpaduan sektor dan sub sektor dalam sistem rantai nilai produksi pangan berskala luas dalam suatu kawasan.

Sulawesi Tengah memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan kawasan Food Estate dengan luasan lahan komoditas pertanian strategis.  Sulawesi Tengah merupakan provinsi di Pulau Sulawesi yang memiliki luas daratan paling luas yaitu 65.526,72 km2 atau 6.552.672 ha, dimana sekitar 942.206 ha adalah kawasan potensi pertanian dan sekitar 681.686 ha adalah kawasan potensi perkebunan.
Komoditas strategis pertanian Sulawesi Tengah terdiri atas padi, jagung dan kedelai sedangkan untuk perkebunan terdiri dari kelapa dalam, kakao, cengkeh dan kopi.  Untuk itulah pembangunan Sulawesi Tengah bertumpu pada sektor pertanian yang memiliki kontribusi terhadap struktur PDRB menurut lapangan usaha bersama sektor kehutanan dan perikanan adalah yang terbesar yaitu 21,76 persen dan memiliki andil pada Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tengah triwulan I-IV tahun 2020 sebesar 4,86 persen.  Saat ini, Pembangunan Sulawesi Tengah periode 2021-2026 memiliki 4 program prioritas dimana salah satunya yaitu mendorong peningkatan produktivitas tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan komoditi pertanian lainnya. Program Prioritas tersebut telah masuk di dalam Rancangan Awal RPJMD Sulawesi Tengah tahun 2021-2026.

Sulawesi Tengah memiliki jumlah petani sebanyak 508.475 orang (BPS Sulteng, 2019) yang juga berpotensi untuk bekerja dalam koorporasi.  Sudah saatnya petani tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi berjama’ah.  Pengembangan koorporasi petani di Kawasan Food Estate menjadi landasan utama untuk mengoptimalkan berbagai aktivitas dari hulu sampai hilir yang dikembangkan menjadi satu kesatuan (terintegrasi) pada skala ekonomi yang layak sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan.  Proses pembentukan koorporasi melalui konsolidasi kelembagaan petani, dimulai dari petani yang dikonsolidasikan ke dalam satu kelompok petani (Poktan), kemudian Poktan dikonsolidasikan ke dalam Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan).  Dari beberapa gapoktan yang tergabung dalam suatu klaster selanjutnya dikonsolidasikan menjadi Gapoktan Bersama.  Gapoktan Bersama dibentuk dari, oleh dan untuk petani melalui konsolidasi gapoktan yang ada di setiap klaster, yang selanjutnya ditransformasi menjadi koorporasi petani dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) atau badan hukum lainnya.

Sudah saatnya, setiap daerah termasuk Sulawesi Tengah memikirkan pengelolaan sumberdaya SDA dan SDM untuk kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakatnya.  Selama ini, pengelolaannya dilakukan secara parsial atau sebagian-sebagian dengan skala yang kecil sehingga memberikan keuntungan dan kemanfaatan yang kecil juga.  Ada empat permasalahan mendasar yang dimiliki oleh Sulawesi Tengah yaitu angka kemiskinan yang masih dua digit, Tingkat Pengangguran Terbuka yang tinggi, Inflasi yang berfluktuatif sehingga investor kurang berminat dan tingginya angka stunting atau anak kerdil.  Jalan keluar dari permasalahan-permasalahan tersebut adalah bagaimana menjadikan daerah menjadi lebih produktif dengan membuat usaha-usaha yang berskala kecil menjadi bentuk industrialisasi seperti: industrialisasi agro, industrialisasi maritim, industrialisasi pariwisata, kreatifitas dan digitalisasi dan industri tambang.

Pembangunan Kawasan Food Estate sebenarnya adalah bentuk industrialisasi agro dengan mencoba menggabungkan sumber daya yang ada dan dalam kesatuan kontrol dan manajemen, tidak bentuk monopoli karena berdasarkan pada kepemilikan dan usaha bersama.  Koorporasi yang ada tetap milik masyarakat petani, sedangkan pemerintah sangat berperan memberikan support berupa penyediaan pasar, ketersediaan bibit dan pupuk, aksesibilitas jalan yang menghubungkan kantong-kantong produksi dan distribusi hasil produksi.

Substansi pengembangan kawasan Food Estate yaitu tidak lain adalah untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan masyarakat, menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD), mempercepata pemerataan pembangunan, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta menignkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mendukung perekonomian nasional.  Untuk itu, pengembangan Kawasan food estate harus dirancang berdasarkan empat pendekatan yaitu pengembangan wilayah melalui pendekatan kawasan, integrasi sektor dan sub sektor, lingkungan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat (local community development).  Pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal dan pengembangan perekonomian lokal (local community and economic development) dilakukan dengan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pangan skala luas (food estate) melalui kemitraan antara masyarakat lokal dengan investor yang mengedepankan prinsip berkembang bersama sebagai kesatuan mitra pembangunan dan mitra usaha dengan tetap memperhatikan kearifan lokal (lokal wisdom).
Kemitraan usaha pertanian adalah kerja sama usaha antara perusahaan mitra dan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.  Perusahaan mitra adalah perusahaan pertanian atau perusahaan bidang pertanian baik swasta atau BUMN maupun BUMD yang memerlukan kerja sama dengan kelompok mitra.  Adapun perusahaan pertanian adalah perusahaan yang dapat izin dari aparatur sektor pertanian.  Setiap daerah memiliki peluang untuk menggagas pengembangan food estate ini tidak terkecuali adalah Sulawesi Tengah yang memiliki sejuta potensi komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan (Grand Design Food Estate, Kementan RI, 2021).

Semoga di era pemerintahan daerah Sulawesi Tengah yang baru dibawa kepemimpinan Gubernur bpk H. Rusdy Mastura dan bpk Makmun Amir dengan visi Bergerak Cepat untuk Sulawesi Tengah lebih maju dan lebih sejahtera dapat memberikan upaya-upaya peningkatan cadangan pangan daerah yang sisanya bisa di ekspor dan yang terpenting bisa memberikan sumbangsih jumlah pendapatan asli daerah yang meningkat, kemampuan fiskal daerah yang kuat, pemerataan pembangunan di seluruh daerah kabupaten dan akhirnya terwujudnya kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah.

Penulis : Kasubbid Perencanaan Ekonomi II BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah


Minggu, 17 Januari 2021

SAWERIGADING DI TANAH ASING: Mitos I La Galigo di Sulawesi Tengah

Oleh. Jennifer W. Nourse (University of Richmond)

Komenter Blogger:

Tulisan ini, hanyalah berupa mitos yang pada era sekarang mungkin tidak dapat diterima secara logis, tetapi nilai-nilai luhur budaya yang ada hingga sekarang terutama pada Masyarakat Lauje di Tinombo atau Siavu membuktikan bahwa kisah ini bisa saja real walaupun telah banyak versi yang dikemukakan.

Dari tulisan ini juga menjelaskan mengapa masyarakat Tinombo, pantai timur, Parigi Moutong dan Sulawesi Tengah sangat terbuka pada para ‘Pendatang’ yang ikut membangun negerinya.  Selain itu, membuktikan bahwa suku Lauje berasal dari campuran suku Kaili, Mandar dan Gorontalo serta sedikit Bugis. Di sini juga dijelaskan tentang adat burung maleo (mamua) seperti yang ada pada Masyarakat Banggai yang sebenarnya sebagai suatu “Local Wisdom” dari para Penguasa untuk melindungi kelestarian Maleo yang hampir punah.

Di tulisan ini membahas tentang tokoh atau sebutan tokoh yang akrab ditelinga Masyarakat Sulawesi Tengah seperti: Sawerigading, To Modoko, Tadulako (sang Pahlawan yg melawan para pengayauan-headhunting raids), Toribangka, Sia'a Puange (saudara tua dari Bugis) dan Olongian (istilah orang yang berasal dari Gorontalo). 


PENDAHULUAN

Sawerigading adalah Odysseus-nya orang Bugis. Pengembaraan epik Sawerigading tergambar dalam karya yang termashyur sebagai 'salah satu karya sastra paling terkemuka di Indonesia', epos I La Galigo (Abidin dan Macknight 1974: 161 ).  Kisah-kisah tentang Sawerigading, yang selalu menawan di mana pun ia ditemui dan dalam bahasa apapun ia disebut, pun telah mengembara sebagaimana sang tokoh Bugis, Sawerigading.

Di seluruh wilayah Sulawesi dan sekitarnya, Sawerigading telah diamini sebagai tokoh dan pahlawan agung dari tanah Bugis.  Pada topik ini saya akan membahas pandangan alternatif terhadap Sawerigading. Di kalangan masyarakat Lauje Sulawesi Tengah yang tinggal di Kecamatan Tinombo Teluk Tomini, Sawerigading bukanlah seorang tokoh Bugis, tetapi putera asli Lauje. Dalam paparan selanjutnya saya mengkaji transformasi dari tokoh Bugis menjadi tokoh Lauje, dan apa makna yang terungkap di balik transformasi tersebut tentang pengaruh Bugis di sebuah kerajaan pesisir di Sulawesi Utara yang berada di "luar wilayah politik Sulawesi Selatan. 

Sebagian besar warga masyarakat yang saya bahas ini mengaku sebagai orang Lauje, kelompok etnis asli, atau imigran campuran Kaili, Gorontalo atau Mandar. Hanya sedikit yang mengaku orang Bugis. Namun mereka mengakui tokoh-dewa Bugis, Sawerigading, sebagai tokoh utama dalam serangkaian ritus yang sangat rahasia dan hanya diketahui kalangan terbatas. Sementara itu, mereka meyakini bahwa Sawerigading dan ritus-ritus terhadapnya adalah asli Lauje.  Topik ini membahas makna di balik ritus ritus dan adat sekaitan dengan hubungan antara penduduk lokal dan pendatang. Masyarakat setempat mengemukakan dan memperdebatkan pertanyaan serupa. Namun, perdebatan mereka lebih tersangkut-paut dengan masalah-masalah etnis dan isu-isu kekuasaan kontemporer. Karenanya nyaris mustahil mempertemukan sejarah lisan dengan sumber-sumber tertulis. Namun, kenyataan bahwa ritual dan adat tentang Sawerigading terdapat dalam ritus-ritus yang semestinya 'asli' Lauje, yang diwarisi secara utuh dari jaman dahulu kala, mengantar saya untuk menyimpulkan bahwa pengaruh Bugis di kerajaan terpencil ini cukup kuat. 

Selanjutnya, saya akan membahas tiga hal: (I) bagaimana dan mengapa orang Lauje memutuskan Sawerigading sebagai salah seorang leluhur mereka; (2) bagaimana ko-optasi dan penolakan terus-menerus pada leluhur Bugis merefleksikan rendahnya pengaruh politik dan kontrol masyarakat Bugis atas wilayah tersebut dewasa ini; dan (3) bagaimana kehadiran Sawerigading dan aspek-aspek budaya Bugis lain dalam ritus yang semestinya merupakan asli Lauje merefleksikan hubungan historis, dan pengaruh, yang lebih dekat dengan pendatang Bugis-Makassar di kerajaan pelabuhan perdagangan periferal di Sulawesi Tengah ini dibanding yang umum diketahui.

KISAH SAWERIGADING

Sawerigading versi Lauje bermula dengan cerita tentang ayah Sawerigading, Si Anak Rakus ('To Modoko' dalam bahasa Lauje). Ceritanya sebagai berikut:

Pasangan suami istri pertama di Lauje telah berusia senja, namun belum mempunyai buah hati. Pasangan tua ini berdoa agar dikaruniai seorang putera. Doa mereka akhirnya terkabul, tapi anak laki-laki itu menjadi beban berat. Dia makan banyak sekali sehingga mereka tidak mampu lagi menyediakan makanan untuknya. Dia juga sangat kuat. Dia mampu menebang pohon di tujuh sisi gunung dengan kapaknya. Tapi kerakusan sang anak sungguh membuat hati kedua orang tuanya masygul.  Badannya amat besar dan meski masih kanak-kanak dia mampu menghabiskan tujuh bakul nasi dalam sehari. Bapaknya memutuskan ia tidak sanggup lagi memberi makan anaknya. Sehingga ia (sang bapak) bertekad
membunuh anaknya semata wayang. Sang bapak menyuruh si anak mengambil sebuah batu besar di jurang yang curam. Kemudian sang bapak mendorong batu besar menuju si anak, tetapi ia kembali dengan memanggul batu besar itu dan tujuh buah lainnya di pundaknya. Pada saat lain, sang ayah menyuruhnya mencari kayu bakar di sebuah tempat tertentu. Sang ayah menjatuhkan sebatang pohon yang telah ditebangnya agar jatuh menimpa anaknya sendiri. Si anak lagi-lagi kembali dengan membawa pohon itu dan tujuh batang lain di pundaknya.

Si anak akhirnya sadar bahwa orang tuanya sudah tidak menginginkannya, dan memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ibunya menyiapkan bekal perjalanan dan ayahnya memberi sebilah pedang ajaib yang terbuat dari Batu Bertulis, yang menandai pusat bumi dan tempat segala sesuatu, manusia dan hewan, bersumber.

Anak laki-laki itu berjalan selama tujuh hari dengan menyandang pedang bertuah dan bekalnya. Pada malam ketujuh dia tiba di sebuah kampung tak berpenghuni di Tanah Cina. Dia menemukan seorang gadis yang sedang bersembunyi di dalam sebuah tong. Dia meminta gadis itu menanak nasi. Si gadis menjawab bahwa ia tidak bisa masak karena suara alu penumbuk padi akan mengundang burung raksasa yang telah membunuh seisi kampung.

Si Anak Rakus berjanji akan melindunginya. Gadis dari Cina itu pun menumbuk padi. Ketika burung raksasa datang, anak itu menggunakan pedang ajaibnya, yang terbuat dari Batu Bertulis, untuk membunuh burung itu dan menghidupkan kembali semua penduduk kampung. Si Anak Rakus menikahi si gadis. Putera pertama mereka adalah Sawerigading. Keturunan mereka menjadi orang-orang dari seberang lautan, saudara tua orang-orang Lauje.

Pertama kali mendengar cerita ini, saya pikir ini menarik karena Sawerigading disebut-sebut sebagai putera dari seorang wanita Cina dan pria Lauje. Semua referensi tentang asal usul Sawerigading sebagai orang Bugis lenyap. Namun, belakangan saya ketahui bahwa Cina adalah nama kuno untuk Pammana di Wajo, Sulawesi Selatan, sebuah komunitas yang terletak di bekas kerajaan Bugis Bone (Abidin dan Macknight 1974:162). Bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan mumpuni tentang kerajaan-kerajaan kuno Bugis, kisah Lauje To Modoko mempertemukan putera asli Lauje dengan seorang wanita Bugis yang kemudian dikawininya. Si Anak Rakus dari Lauje menjadi penyelamat orang Bugis. Namun, hanya sedikit orang yang menceritakan kisah ini yang sadar akan hubungan tersebut.

Pencerita dan pendengarnya lebih tertarik pada sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan kontemporer mereka; asal-usul kelompok etnik lain dan hubungannya dengan orang Lauje.  Secara sekilas, cerita Anak Rakus mengaburkan batas batas antara Lauje dan kelompok-kelompok etnik lainnya. Dalam cerita itu semua pendatang, baik yang dikenal sebagai orang Bugis atau Cina, adalah keturunan putera pertama Lauje, si Anak Rakus, yang kawin-mawin dengan wanita-wanita dari komunitas-komunitas lain dan menghuni bumi. Berdasarkan kisah ini, banyak orang Lauje menyebut kaum pendatang yang tinggal di tengah komunitas mereka sekarang sebagai 'saudara tua' (sia'a) karena mereka dianggap sebagai turunan putera Lauje pertama, si Anak Rakus. Sebagian orang Lauje bahkan menyebut pendatang sebagai Sia'a Puange yang menggabungkan istilah untuk saudara tua, sia'a, dengan istilah Bugis untuk Dewa, Puange.

Jika dikaji lebih dalam, cerita ini menggambarkan hubungan hierarki dan pandangan moral penduduk lokal terhadap pendatang. Kisah ini menunjukkan contoh pelanggaran moral serius: pemimpin yang (dalam hal ini, orang tua) karena kerakusan atau kepentingan pribadi di luar yang semestinya, lalai memberi makan seorang pengikut. Walhasil, turunan si pelanggar, kini menjadi saudara mudanya, wajib membayar 'dosa leluhur' itu dengan bersumpah setia kepada turunan saudara tua, Puange, yang datang ke tanah Lauje. 

Mereka diwajibkan bekerja atau memberi makan Puange dengan menyerahkan upeti. Sebagai hukuman atas kemalasan dan pelanggaran moral leluhurnya, mereka kehilangan satu-satunya barang berharga, pedang yang diberikan kepada anak laki-laki mereka. ltulah sebabnya, konon, orang luar memiliki keunggulan magis dan kekuatan mistik dibanding penduduk lokal Lauje.  Orang-orang Lauje tanpa sadar telah menyerahkannya kepada mereka. Sawerigading menjadi penjelmaan dari semua kekuatan mistik yang dulu pernah ada di tanah Lauje dan lenyap gara-gara kelalaian leluhur Lauje.  Sawerigading yang mewarisi kekuatan mistik dari kakeknya yang orang Lauje, menjadi sando atau dukun pertama yang sakti mandraguna, yang kembali ke tanah Lauje. 

Cerita tentang Sawerigading berlanjut:
Melalui perjalanan dan perkawinannya dengan wanita wanita dari tanah lain, Sawerigading telah menjadi seorang sando sakti (dukun ritual). Dia telah mewarisi benda-benda dan pengetahuan ritual dari ayahnya yang orang Lauje, yang memberinya kesaktian tak tertandingi. Sawerigading kembali ke tanah Lauje dengan membawa benda-benda bertuah ini bersamanya.  Namun, selang waktu antara tibanya ayah Sawerigading dan kembalinya Sawerigading sendiri, seorang sakti lainnya, saudara muda dari Mekah tiba. Dia adalah Nabi Muhammad, yang menjadi Penguasa tanah Lauje.  Muhammad menantang Sawerigading beradu kesaktian. Mereka harus menyusun telur seekor maleo (mamua) sebanyak tujuh tingkat, di pantai, tanpa boleh pecah atau jatuh.

Sawerigading menunjukkan kesaktiannya. Dia mampu menyusun tujuh tingkat. Tetapi Nabi Muhammad menyusunnya dengan menyisakan ruang di antara setiap lapisan telur. Muhammad pun menang. Sawerigading dan kesaktiannya lenyap ditelan laut. Muhammad menjadi penguasa di muka bumi. Sawerigading beranak-pinak lalu meninggal.

Sepintas, cerita ini adalah sebuah alegori tentang hubungan antara Islam dan adat istiadat. Agama, yang dibawa Muhammad, mengalahkan adat yang dipraktikkan oleh Sawerigading. Pada lapisan lebih dalam, ini cerita tentang saudara tua, Sawerigading, yang tetap mesti dihormati meski telah diganti oleh 'saudara muda', Muhammad. Karena cerita ini dan cerita lain tentang Anak Rakus memiliki banyak lapisan makna, cerita yang sama bisa digunakan berbagai golongan berbeda untuk membuat klaim yang kontradiktif.

Di satu sisi, orang bisa menggunakan Sawerigading untuk menunjukkan superioritas adat istiadat dan identitas etnis asli setempat di atas agama dan etnik dari luar. Di sisi lain, orang dapat mengklaim ikatan kekerabatan terhadap Sawerigading dan memandang diri mereka lebih superior dibanding penduduk Lauje biasa. Kedua cara pandang terhadap Sawerigading ini membagi bangsawan Lauje dalam dua golongan. Satu golongan, yang saya sebut 'golongan asli (purists)', mengatakan bahwa Sawerigading adalah leluhur orang Lauje, bukan dari etnik lain. Namanya hanya dikenal oleh lapisan elit Lauje di Dusunan dan hanya mereka yang dapat memanggilnya untuk melindungi komunitas mereka dari penyakit atau kelaparan. Golongan kedua, yang saya sebut 'golongan campuran (accommodationists)', mempercayai bahwa Sawerigading adalah campuran' Kaili, Lauje, Bugis dan Mandar, sama seperti penduduk di Dusunan. Mereka menggunakan silsilah Bugis Sawerigading sebagai jalan memperkenalkan status elit mereka sendiri.

Persaingan kedua prinsip tentang Sawerigading ini merefleksikan perdebatan di kalangan komunitas Dusunan tentang cara terbaik mengatasi sikap pilih kasih Belanda yang lebih condong pada pendatang ketimbang penduduk asli. Kalangan 'asli' percaya cara terbaik untuk mengklaim kembali kekuasaan mereka yang direbut secara tidak adil oleh pendatang yang lebih disenangi Belanda, adalah menekankan bahwa pemimpin tertinggi orang Lauje, olongian, dan nenek moyang, seperti Sawerigading, adalah asli Lauje. Mereka berpendapat si Anak Rakus sebenamya adalah Sawerigading, bukan ayah Sawerigading. Dengan demikian, kaum 'asli' menghapus satu generasi sehingga wanita dari Cina tidak masuk dalam silsilah Sawerigading. Kalangan lain, kaum 'campuran' mengakui bahwa Sawerigading berdarah setengah Lauje, setengah lagi dari tempat lain. Pendapat kaum 'campuran' bervariasi soal penekanan hubungan Kaili, Bugis, atau Mandar dalam garis ibu Sawerigading. Namun, semua kalangan 'campuran' sepakat bahwa Sawerigading adalah anak seorang wanita pendatang dan pria Lauje bernama To Modoko. Untuk memahami mengapa kedua aliran ini memilih posisi masing-masing, memerlukan kajian ulang terhadap sejarah kaum pendatang.

PEMBAHASAN SINGKAT SEJARAH LAUJE DAN KAUM PENDATANG

Baik kaum 'asli' dan 'campuran' mengakui bahwa pedagang pendatang dahulu, pada abad ke-18, tinggal di daerah yang kini kota pesisir Tinombo. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Tinombo (yang kemudian disebut Siavu) adalah sebuah pemukiman pesisir temporer bagi pedagang keliling dari Sulawesi Selatan yang ingin berdagang dengan penduduk asli Lauje yang tinggal di pelosok sepanjang pesisir Sungai Tinombo, dan di kaki bukit dan puncak Gunung Sojol. Kapal pedagang Bugis dan Makassar berlabuh di pinggir pantai, angkutan mereka berupa porselen, pecah belah, kain dan kuningan. Setelah beberapa bulan menjual dagangan, mereka akan mengisi kembali kapal dengan bahan-bahan mentah dari pegunungan Lauje, seperti damar, rotan, dan organ binatang untuk bahan obat-obatan Cina.

Selama masa menjual dan mengisi kembali, awak kapal berlabuh dan membangun tenda di Siavu. Pada akhir abad ke-19, banyak pedagang pendatang telah membangun komunitas permanen sendiri. Ada kampung Kaili (lokasi pemukiman), kampung Bugis, kampung Mandar dan Kampung Gorontalo. Di kampung-kampung imigran ini, banyak lelaki yang menikah dengan wanita Lauje dari kaki bukit dan mulai menjual barang-barang dari rumah mereka sendiri, meski setelah kapal berlayar ke pelabuhan lain. Akhirnya Siavu berganti nama menjadi Tinombo dan menjadi pemukiman yang lebih permanen sama seperti kantong kantong pendatang yang terdapat di sepanjang pesisir Teluk Tomini, dengan dermaga permanen dan sejumlah gudang milik pedagang imigran.

Umum disepakati bahwa kaum pendatang tinggal di daerah yang kini adalah Tinombo. Para lelaki pendatang yang menikahi wanita Lauje inilah yang kemudian menetap di Tinombo. Wanita-wanita dari lapisan rendah ini biasanya mengadopsi identitas etnik suami dan keturunan mereka menjadi orang Kaili, Bugis atau Mandar, bukan Lauje. Pertanyaannya, apa yang terjadi ketika wanita elit Lauje menikah dengan pria pendatang, dan si pria pindah ke kampung Dusunan Lauje. Pertanyaan tentang silsilah ini ditandai oleh satu peristiwa khusus. Suatu masa di awal abad ke-19, putri atau kemenakan olongian pegunungan, pemimpin asli, bersedia menikah dengan seorang pria muslim. Regalia sakral olongian digunakan untuk mengesahkan perkawinan itu. Setelah Imam melaksanakan upacara ala Islam terhadap benda berhala tersebut, pasangan pengantin baru itu menyatakan bahwa regalia itu pun sudah masuk Islam. Mereka merasa perlu memindahkannya ke sebuah pemukiman baru bernama Dusunan yang terletak dekat pantai di seberang Sungai Tinombo, dekat pemukiman pendatang. Dusunan kemudian menjadi pusat keluarga kerajaan Lauje. Sejak itu, orang-orang daratan rendah Lauje yang tinggal di Dusunan mengidentifikasi diri sebagai Muslim dan kerabat elit para olongian. Mereka yakin bahwa mereka sepenuhnya berbeda dari orang-orang Lauje pegunungan yang tetap animis.  

Kaum 'asli' senang menonjolkan peran kepemimpinan olongian dan silsilah orang orang pegunungan Lauje. Mereka tak pernah terang-terangan mengakui suami olongian yang muslim. Kalangan 'campuran' menganggap bahwa sang suami adalah seorang pendatang. Mereka melihat kerajaan yang baru terbentuk merupakan kepemimpinan ganda (diarchy), olongian berperan sebagai seorang raja atau ratu 'simbolis' dan suaminya yang pendatang, yang disebut seorang tadulako atau toribangka, dipandang sebagai figur pahlawan pembela rakyat. Tadulako atau toribangka memiliki kesaktian spiritual dan mistis untuk melawan bajak laut ganas yang memaksa orang Lauje bermukim di kaki gunung, jauh dari pantai, hingga sekarang.  Karena perempuan olongian telah menikah dengan seorang lelaki pendatang, sebagai tadulako dia dapat melatih kaum pria daratan rendah Lauje untuk melakukan serangan pengayauan (headhunting raids) sehingga Lauje menjadi wilayah aman bagi seluruh warga.

Bagi kaum 'asli' maupun 'campuran' identitas sebagai Muslim dan elit sangat penting untuk membedakan mereka dari kalangan awam di pegunungan. Namun cara mereka mendefinisikan hubungan dengan para imigran berbeda. Kalangan 'asli' lebih senang menekankan independensi kerajaan Lauje dan mengakui olongian sebagai penguasa. Sementara kalangan 'campuran' menggambarkan kerajaan Lauje terdiri atas seorang olongian asli dan seorang pahlawan pendatang. Mereka juga menceritakan kisah pembayaran upeti dari olongian Lauje kepada Raja dan kepada sebelah utara Tinombo di Mautong dan di Gorontalo. Bukti-bukti arsip mendukung argumen kalangan 'campuran' (Hart 1853; van Hoevell; Riedel 1870): olongian Lauje membayar upeti kepada olongian Gorontalo pada abad ke-18 (Ridel 1870).

Cerita rakyat juga menunjukkan hubungan panjang antara Lauje dengan peradaban-peradaban yang lebih superior secara politik dan ekonomi. Olongian Lauje mengirim budak kepada Puange Mautong untuk menambang emas hingga sebelah utara Tinombo. Upeti tenaga kerja ini menunjukkan bahwa olongian Lauje adalah bawahan Puange Bugis di Mautong.  Kerajaan Mautong diciptakan pada suatu masa selama abad ke-19 (tanggal lisan dan dokumen berbeda-beda). Mautong, seperti Dusunan, dibangun oleh pedagang keliling Bugis dan Mandar yang telah menikahi perempuan setempat dan bermukim di wilayah itu. Ketika Belanda datang ke wilayah Moutong untuk mencari penandatangan Kontrak Lang (pada pertengahan hingga akhir abad ke-19), mereka membawa penerjemah yang berasal dari Bugis dan Mandar dari Sulawesi Selatan. 

Ketika si penerjemah bertemu dengan sesama orang Bugis, mereka berhasil meyakinkannya untuk menandatangani perjanjian. Sehingga lahirlah sebuah 'kerajaan' Bugis di tengah tengah Teluk Tomini (Geuns 1906).  Karena orang Bugis dan Mandar secara de facto memegang hegemoni politik dan ekonomi di Teluk Tomini di awal abad ke-19 dan mungkin karena tadulako adalah orang Bugis, mereka bisa meminta ipar mereka, olongian Lauje, mengirim budak ke Mautong untuk menambang emas (Riedel 1870; Nourse 1994; Henley 1996). Namun, kalangan 'asli' menolak mentah-mentah argumen ini. 

Kalangan 'asli' menolak 'darah' pendatang dalam tubuh keluarga kerajaan hingga awal abad ke-19. Mereka berpendapat demikian untuk menekankan pengkhianatan kaum pendatang. Menurut hemat kaum 'asli', penguasa kolonial Belanda baru memperluas kekuasaan ke dalam wilayah Teluk Tomini ini pada awal abad ke-20. Ketimbang berperang melawan pasukan Belanda, kaum bangsawan Lauje sepakat menerima seorang Puange Bugis, pemimpin kerajaan Mautong, sebagai penguasa kerajaan Lauje.  Mereka melakukan itu karena orang Bugis berhasil meyakinkan mereka akan menjadi mitra seimbang dalam pembagian kekuasaan. Orang Lauje sepakat salah seorang dari mereka, putri olongian, kawin dengan Raja Bugis Moutong benama Daeng Malino, dengan harapan anak laki laki dari perkawinan ini akan mewarisi tahta kerajaan. Menurut kalangan 'asli', orang Bugis menipu orang Lauje. Mereka membujuk Belanda untuk memilih sepupu satu kali sang Raja Bugis, ketimbang anak laki-laki yang setengah Bugis/setengah Lauje yang merupakan putra olongian. Belakangan, kata kaum 'asli', setelah Raja kedua turun tahta (pada tahun 1920-an), tahta Lauje lagi-lagi diserahkan ke tangan seorang Mandar bernama Raja Tombolotutu. Dia berkuasa hingga 1964 dan kerabatnya masih tetap menduduki jabatan pemerintahan hingga kiwari.

Kalangan 'asli' memandang bahwa kaum pendatang sejak dulu hingga kini lebih menyukai sesama pendatang ketimbang penduduk lokal. Kaum imigran pun dicap sebagai pengkhianat, sehingga perkawinan kaum elit dengan pendatang, terutama orang Bugis, tidak dibolehkan sejak awai abad ke-20. Argumen golongan 'asli' ini dirancang untuk meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa wilayah Lauje harus menjadi kabupaten tersendiri yang terpisah dari kendali kaum pendatang. Kalangan 'asli' beralasan bahwa jika mereka dapat membuktikan ikatan darah yang terus menerus bertahan antara golongian Lauje dengan penduduk pegunungan Lauje, maka olongian akan dapat berkuasa dimasa kini.

Menurut hemat saya, argumen yang dikemukakan kalangan 'asli' itu sungguh naif, lamunan tak berdasar. Namun mereka tetap menentang perkawinan silang mitologis dengan kaum pendatang untuk membuat pendapat mereka tentang hubungan antar etnik kontemporer lebih simpatik. Jadi ketika kalangan 'asli' berbicara tentang Sawerigading dia adalah turunan asli Lauje.

Namun, kalangan 'campuran', memiliki perspektif yang jauh berbeda. Mereka percaya bahwa secara historis kaum elit Lauje telah melakukan kawin silang dengan pendatang Bugis, Kaili dan Mandar sehingga, seperti kata istri olongian, 'kita telah menjadi berwarna-warni seperti ayam burik'. Istri olongian, seorang wanita kelahiran tahun 1906, mengatakan bahwa ketika ia masih muda, ada sebuah upacara penyembuhan orang Bugis yang dilakukan oleh tadulako. Upacara ini sangat menyerupai Momosoro, tapi tidak boleh dihadiri kaum awam. Ritual ini merupakan persembahan terhadap Sawerigading yang bertahta di singgasana emasnya di tengah hutan. Ia menuturkan bahwa dalam upacara ini si sakit harus melangkah di atas kepala seekor kambing (sama seperti yang dilakukan olongian pada malam terakhir, satu-satunya upacara khas masyarakat Lauje yang masih bertahan, Momosoro. Kemudian mereka harus menyebut nama Puange atau Raja, Sawerigading.  Dialah yang pertama, sebelum semua roh-roh lainnya. Semua yang lainnya dari lautan, pedagang, mereka yang mengendarai ombak, yang merah dan yang hitam (roh yang belakangan), mereka semua datang belakangan. Sawerigading sudah ada sejak pertama kali duduk di singgasana emas.  

Menurut sang istri olongian, hanya orang-orang keturunan Puange, Raja pendatang, yang dibolehkan memanggil Sawerigading. Mereka adalah bangsawan Lauje, keturunan olongian dan tadulako. Dia berkata 'orang-orang pegunungan dan kaum awam tidak tahu tentang Sawerigading'. Dia adalah dewa tertinggi dari roh-roh belakangan yang melayaninya. lstri olongian mengakui bahwa Sawerigading adalah roh yang diperoleh dari ritual orang Bugis, tetapi dia adalah salah satu dari sedikit orang yang berpikiran demikian.  Sebagian besar kalangan 'campuran' melihat Sawerigading sebagai setengah Lauje, setengah lagi dari beberapa suku yang tidak ditetapkan. Mereka lupa bahwa Sawerigading sendiri suatu ketika pernah melakukan sebuah ritual orang Bugis. Namun mereka tetap mengakui Sawerigading dengan menyebutnya dalam satusatunya upacara penyembuhan yang tersisa (Momosoro), yang dipimpin oleh olongian.

SAWERIGADING DAN KESEPAKATANNYA DENGAN BANGSAWAN LAUJE

Seorang ahli naskah memberi tahu saya bahwa setiap tahun, pada upacara Momosoro, Sawerigading, penguasa roh lautan dan sando pertama Lauje, disembah. 'Sebagian dari kami yang tinggal di daratan cenderung mengabaikan leluhur di lautan sehingga ritual ini diadakan untuk menghormatinya'.  Kisah Sawerigading, sama seperti ritualnya, menunjukkan bahwa daratan dan lautan, agama dan adat istiadat, adalah wilayah terpisah. Momosoro menyatukan kembali 'saudara tua' seperti Sawerigading dan adat istiadat, dengan 'saudara muda' seperti Muhammad dan Islam. Setelah tujuh hari menghormati roh lautan seperti Sawerigading dan roh penghuni sungai dan darat, kedua kelompok roh tersebut dikirim kembali ke persemayaman mereka, dengan penuh rasa puas dan terhormat.  Akibatnya kesuburan dan kesehatan pun tercipta. Ritual dan dongeng ini menekankan bahwa agama Muhammad dan hal-hal duniawi lebih penting dalam kehidupan sehari-hari, tetapi Sawerigading lebih utama dalam hal yang lebih permanen dalam kehidupan dan kematian, yang dikaitkan dengan laut (karena roh orang mati konon pergi ke tengah laut dan mengalami reinkamasi di sana).  

Seorang bangsawan memberi tahu saya bahwa 'penduduk biasa hanya mengetahui bahwa pada tempat keramat olongian (ginaling), yang merupakan titik penting dalam Momosoro, terdapat sepotong kayu asli, padahal ada juga potongan potongan kayu lain di dalamnya'.  lni mencakup 'kayu tujuh macam'. Satu kayu untuk 'orang-orang biasa'.  Kayu 'orang-orang biasa' ini adalah perempuan dan bisa digunakan mengobati penyakit penduduk awam. Pasangan laki-lakinya adalah pohon olongian yang hanya dipakai mengobati para bangsawan.  Pohon ini dikenal sebagai 'tongkat atau tombak Sawerigading'. Lelaki itu memberi tahu saya bahwa 'olongian berkuasa di Lauje karena sebuah persekutuan rahasia dengan Sawerigading' sebuah persekutuan yang tidak diketahui orang awam. 'Para bangsawan mengetahui tentang Sawerigading', tuturnya, 'dari orang Kaili dan orang Mandar yang mereka kawini. Orang awam buta tentang Sawerigading karena mereka hanya kawin dengan sesama Lauje.  Meskipun orang ini tidak berkata demikian, komentarnya mengisyaratkan bahwa Sawerigading bagi orang Lauje sebagai tadulako bagi olongian. Sawerigading terlahir sebagai orang asing dan menciptakan persekutuan rahasia dengan olongian sama seperti yang dilakukan tadulako.

Kisah dan ritual tentang Sawerigading sejalan dengan sejarah kaum 'campuran' tentang perkawinan pertama olongian dataran rendah dengan tadulako.  Hubungan antara Sawerigading dan tadulako tidak pernah dinyatakan secara terang-terangan, tetapi tersirat.  Sawerigading, seperti tadulako, dianggap sebagai orang yang menjembatani dua alam. Ini terlihat dalam persembahan utama untuk Sawerigading dalam Momosoro. Persembahan ini mengaitkan Sawerigading dengan berkah kesuburan dari roh-roh lautan. Orang-orang yang menghadiri upacara menggunakan sebutir telur dari spesies langka maleo, yang disebut mamua dalam bahasa Lauje. Jenis telur ini serupa dengan yang digunakan dalam pertandingan antara Sawerigading dan Muhammad. Mamua dikenal sebagai 'kesenangan' Sawerigading. Konon, burung ini bertengger di 'pohon bercabang dua' di gunung tertinggi. Satu cabang menjorok ke arah lautan, satunya lagi ke daratan. Dari sarangnya, sang burung dapat terbang menuju kedua arah. Burung itu meninggalkan sarangnya yang mengarah ke laut terbang menuju pantai untuk menyimpan telurnya. Lalu burung itu kembali ke tempat bertenggemya pada cabang yang mengarah ke daratan.  

Pada zaman dahulu, tujuh telur mamua digunakan sama seperti tujuh telur yang bersusun dalam kisah Sawerigading. Namun, dewasa ini, telur maleo ini kian langka,.. sehingga satu telur dianggap cukup untuk sesajen. 12 Telur maleo ini diletakkan di depan altar olongian untuk diberkati sebelum dikirim dengan sebuah perahu ke tengah laut.  Telur maleo, seperti Sawerigading, menjembatani dua wilayah-laut dan darat. Burung maleo menyimpan telur mereka selama musim kemarau pada akhir musim hujan menjelang musim panen padi.

Pada bulan Agustus dan September, ketika hujan masih sangat kurang atau belum ada sama sekali mereka turun dari daerah pedalaman untuk menggali lubang sedalam tiga atau empat kaki tepat di atas penanda tinggi air di mana burung betina menyimpan satu buah telur besar dalam pasir hitam pantai yang panas.  Si betina datang kembali pada tempat yang sama untuk meletakkan telur yang lain dan setiap burung betina biasanya menaruh enam sampai delapan telur selama musim tersebut (Wallace 1869:272).

Bagi pelaku ritual, telur itu bukan hanya perlambang penting kesuburan dan kesehatan, tetapi cara burung meletakkan telurnya juga tak kalah penting maknanya. Burung maleo hidup di dua alam, laut dan darat. Walhasil, burung ini mewakili penyatuan laut dan darat, dan penyatuan cairan spiritual yang dibutuhkan untuk kesuburan padi. Orang Lauje mengatakan bahwa padi tidak bisa tumbuh kecuali roh laki-laki (Sawerigading) yang bertahta di tengah lautan, mengirimkan air maninya kepada ibu bumi (olongian), wanita raksasa Lauje yang menjelma jadi tanah dan sungai Lauje.  Ketika cairan dari Sawerigading bercampur dengan cairan ibu bumi Lauje, padi tumbuh subur, manusia pun memperoleh makanan, beranak-pinak dan menghuni bumi. Jiwa mereka datang dari tengah lautan untuk menghuni tubuh mereka hingga meninggal, lalu jiwa itu kembali ke rumahnya di tengah lautan. Bagi yang menolak pandangan percampuran dan perkawinan antara olongian Lauje dan tadulako pendatang, ritual yang mempertegas penyatuan dua wilayah laut dan darat, agama dan adat, Muhammad dan Sawerigading ini kian memperkokoh pandangan mereka.

Bagi mereka yang menolak menekankan keaslian Lauje, kisah Sawerigading ditambah dengan telur maleo dapat menjadi bukti keunggulan Lauje. Selain itu, Muhammad adalah saudara muda yang berkuasa di atas wilayah bumi sementara Sawerigading 'yang lenyap' menguasai kehidupan dan mengawasi kematian. Penguasa hal-hal yang lebih abadi adalah Sawerigading.  Dan dia seorang Lauje.

KESIMPULAN

Ringkasnya, orang Lauje telah mengakui Sawerigading sebagai bagian dari mereka, dengan berbagai macam alasan. Salah satu alasan disiratkan oleh istri dari istri olongian dan alasan lain dari kalangan 'campuran' berkaitan dengan hubungan terhadap para penguasa sekarang. Pada satu masa tertentu orang Bugis adalah pemegang tampuk kekuasaan setempat. Bagi orang Lauje yang berusaha meningkatkan status sosialnya cukup layak mempersekutukan diri dengan orang Bugis, untuk menunjukkan hubungannya dengan Sawerigading dan tadulako. Perbuatan ini menandai tingginya status seseorang (lihatAbidin dan Macknight 1974:166).  

Namun, hanya orang-orang tua yang mengklaim status ini. Mungkin ini dikarenakan hanya orang-orang tua yang mengingat Raja Bugis dan kekuasaannya, atau mungkin karena hanya orang-orang tua yang mengingat perkawinan putri olongian dengan Raja Bugis Daeng Malino. Banyak elit Lauje yang samar-samar mengakui benenek moyang Mandar dan Kaili.  Karena raja paling lama berkuasa adalah orang Mandar, klaim mereka terhadap etnis Mandar mungkin berjalinan dengan fakta ini.

Sebagian besar elit yang lebih muda mengakui tentang hubungan darah dengan orang Kaili yang, setelah Indonesia merdeka, cenderung menjadi pemegang kekuasaan di ibu Kota Palu. Seiring dengan perubahan pengakuan mereka tentang identitas etnik, masyarakat juga mengaku bahwa Sawerigading bisa jadi adalah putra anak pertama Lauje yang kawin dengan seorang wanita Kaili atau wanita Mandar atau wanita Bugis. Klaim atas silsilah Sawerigading bergantung pada si pembicara dan cara pandangnya terhadap kekuasaan politik.

Alasan kedua Sawerigading menjadi putera pribumi adalah akibat reaksi kontemporer terhadap hegemoni kaum pendatang. Dalam usaha melawan hegemoni kaum pendatang yang kian terasa, entah itu Mandar, Kaili atau Bugis, kalangan 'asli' telah mengakui Sawerigading sebagai bagian dari mereka. Jika mereka bisa mengatakan Sawerigading adalah orang Lauje maka mereka juga bisa mengklaim pemimpin asli merekalah, bukan orang luar, yang memiliki hak untuk memerintah di kalangan penduduk lokal.

Ada alasan lain yang lebih tajam dan mengesankan tentang mengapa Sawerigading menjadi orang Lauje. Sama seperti Lauje, Sawerigading tidaklah berperan penting di dunia 'nyata'. Islam, Muhammad, Pak Camat, Bupati dan Presiden Suharto lebih penting ketimbang para leluhur yang hidup sebelum 'datangnya Islam'. Sawerigading, pahlawan epik kuno, menjadi ikon sempuma untuk mewakili orang-orang pinggiran yang kepercayaan dan upacara-upacaranya nampak menjadi barang antik. Sepanjang orang Lauje masih marjinal, Sawerigading akan tetap menjadi putra asli Lauje.

Selasa, 15 Desember 2020

PILKADA USAI VISI MISI KEPALA DAERAH TERPILIH MENJADI RUJUKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N.L, S.Pi, M.Si

Pemilihan serentak kepala daerah tahap ke-2 yang puncaknya pada tanggal 09 Desember 2020 menjelang usai. Alat bantu yang dianggap efektif untuk mengetahui lebih cepat pemenang pilkada yaitu hitung cepat (quick count) sudah dijadikan dasar untuk mengklaim kemenangan pasangan kandidat sembari menunggu penghitungan manual secara resmi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).  Tahapan terakhir, KPUD akan menetapkan pemenang pilkada secara resmi sekaligus menyerahkan konsep Visi dan Misi pasangan kepala daerah pemenang kepada daerahnya untuk menjadi rujukan pada perencanaan dan pembangunan daerah 5 (lima) tahun kedepannya.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa visi-misi kandidat terpilih akan menjadi basis rujukan untuk penyusunan rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya baik itu untuk RPJMD, RKPD maupun APBD.  Lebih jelasnya pada Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJMN, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

Oleh sebab itu, visi dan misi kandidat terpilih adalah sangat strategis menentukan arah pembangunan daerah ke depan. Kelemahan yang ada yaitu pada pembuatan visi dan misi kandidat yang dibuat sebagai salah satu dokumen persyaratan pencalonan kepala daerah kepada KPUD yang bertindak sebagai penyelenggara pemilihan umum. Karena visi dan misi sebagai salah satu syarat maka disiapkan oleh tim pemenangan atau tim sukses dengan belum melibatkan partisipasi masyarakat.  Visi dan Misi berupa dokumen tersebut tidak akan diubah lagi selama berada di pihak KPUD sampai diserahkan kepada pihak pemerintah daerah.  Hal ini memang tidak salah karena proses pemilu itu sendiri pada hakikatnya adalah “menjual” atau “menawarkan” ide dalam bentuk visi dan misi yang dianggap akan lebih baik atau mengubah situasi di masa yang akan datang menjadi lebih baik dari masa yang sekarang.

Menurut para ahli manajemen, visi adalah pandangan jauh ke depan tentang apa saja yang akan dicapai atau diraih untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan sedangkan misi adalah langkah-langkah yang harus dilaksanakan atau tindakan bersifat strategis untuk merealisasikan visi.  Adapun dari aspek perencanaan visi yang dimaksud yaitu rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan pembangunan Daerah, sedangkan misi yaitu rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.

Momen masuknya partisipasi masyarakat pada visi dan misi tersebut, harus diselenggarakan dengan tahapan yang sempurna dan efektif untuk menjamin visi dan misi tersebut berdaya guna.  Selama proses pilkada, para kontestan hanya memberikan “informasi” atau mensosialisasikan apa yang hendak mereka ingin ubah di masa-masa mendatang melalui konsep visi dan misi.  Karena visi dan misi bukan lahir dari masyarakat maka terkadang muncul ketidakpedulian dari para konstituen (masyarakat).  Ketertarikan hanya pada figur yang dianggap baik dan tidak baik tanpa melihat  muatan visi dan misinya yang sebenarnya menjadi basis alokasi dan distribusi sumberdaya alam, SDM dan tentunya kebijakan pemanfaatan anggaran daerah.

Masa-masa pilkada hanya terfokus pada aspek kontestasi untuk pemenangan seseorang kandidat dan terkadang mengindahkan aspek alokasi SDA, SDM dan pemanfaatan anggaran serta distribusi sumberdaya infrastruktur.  Memang tidak disangkal bahwa tahapan pilkada hanya sebatas sosialisasi visi misi program para kandidat kepala daerah. Sistem Pemilu dan proses depolitisasi mengkondisikan orang menjadi pemilih perseorangan. Masyarakat berperan sebagai individu pemilih tidak bergerak secara kolektif dengan mengorganisir diri untuk mengidentifikasi beragam kepentingan dan mendeliberasikan agenda kepentingan secara bersama. Di lain pihak, para kontestan pemilu berusaha meraih dukungan suara dengan menawarkan visi dan misi program yang disusun secara sepihak tadi dengan tidak melibatkan masyarakat.   Untuk itulah peran dari tim sukses sangat penting dan harus jeli melihat pada sisi mana kebutuhan dan keinginan masyarakat belum terpenuhi.

Setiap individu masyarakat diharapkan menjadi pemilih cerdas yang harus memilih figur paripurna untuk menjadi kepala daerah sementara para kontestan harus menjadi figur yang dapat diterima dan diharapkan dengan visi-misi program yang sesuai dengan kepentingan masyarakat, padahal visi-misi program tersebut disusun tanpa proses deliberasi dengan warga. Dampaknya, kebijakan pembangunan kepala daerah terpilih tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kebutuhan riil masyarakat.  Hal ini, bisa diantisipasi dengan dibuatkannya “kontrak politik” dengan para kandidat sebagai jaminan agar keinginan dan kepentingan sebagian masyarakat dapat dimasukkan ke dalam rancangan rencana pembangunan daerah apabila para kandidat itu terpilih nantinya.  Tetapi cara ini, terkadang kurang efektif dikarenakan masyarakat yang berinisisasi melakukan kontrak politik hanyalah para golongan masyarakat yang ekslusif dengan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Gap permasalahan tersebut dapat ditutupi dengan tahapan perencanaan pembangunan yang dikenal dengan “musrenbang”, sebagai momen mempertemukan visi-misi kepala daerah terpilih dengan usulan program dan kegiatan dari masyarakat.  Visi-misi kepala daerah terpilih akan menjelma menjadi visi-misi pembangunan daerah yang secara derivatif menghasilkan Prioritas Pembangunan Daerah dan Program Prioritas Daerah.  Prioritas Pembangunan Daerah biasanya tidak banyak yang merupakan gambaran strategi dari rumusan misi sedangkan Program Prioritas Daerah bersifat implementatif yang akan dilaksanakan oleh Perangkat Daerah sebagai pembantu penyelenggaraan pemerintahan.

Tahapan keterpaduan antara Visi-misi kepala daerah terpilih dengan proses perencanaan pembangunan berbasis masyarakat diawali dengan sebuah konsep awal yang disebut Rancangan Teknokratik (RT) RPJMD.  RT RPJMD yaitu rancangan dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan yang disiapkan oleh pemerintah Daerah dengan sepenuhnya menggunakan pendekatan teknokratik sebelum terpilihnya Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah.  Pendekatan teknokratik berkaitan dengan profesionalisme dan keahian dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah.  Berdasarkan definisnya RT RPJMD dibuat paling tidak 6 (bulan) sebelum kepala daerah terpilih dilantik sehingga isi dari RT RPJMD tersebut tidak diketahui oleh kepala daerah terpilih.  Selain pendekatan teknokratik maka pendekatan partisipatif adalah tuntutan berikutnya yang merupakan upaya melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam proses perencanaan pembangunan.

Sesuai dengan Permendagri No. 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian & Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda Tentang RPJPD & RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD & RKPD.  Rancangan Teknokratik disiapkan oleh perangkat daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dengan melibatkan seluruh perangkat daerah yang berperan menyiapkan program-program dan kegiatan-kegiatan prioritas daerah yang juga akan menjadi pendukung tercapainya visi-misi kepala daerah.

Rancangan Teknokratik RPJMD yang dimaksud berisikan tentang analisis gambaran umum kondisi daerah, perumusan gambaran keuangan daerah, perumusan permasalahan pembangunan daerah, penelaahan dokumen perencanaan yang terkait dan perumusan isu strategis.  Substansi RT RPJMD terletak pada 3 (tiga) hal yaitu gambaran kapasitas keuangan daerah, permasalahan pembangunan dan menjaring isu-isu strategis kewilayahan.  Ketiga hal tersebut, harus dijaring dari kabupaten/kota dan seluruh perangkat daerah provinsi melalui Forum Konsultasi.  Kapasitas keuangan daerah merupakan proyeksi kemampuan penganggaran pada masa akan datang dengan memperkirakan sumber-sumber pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah, adapun permasalahan pembangunan yaitu analisis dari semua permasalahan yang ditemui pada periodisasi yang lalu, selanjutnya isu-isu strategis yaitu analisis atau sintesa permasalahan yang diprediksikan akan ditemui pada 5 (lima) tahun mendatang baik secara global (dunia), nasional, regional Sulawesi dan skala daerah Sulawesi Tengah.

Penyusunan RT RPJMD harus disusun dan dibahas oleh tim penyusun Bersama dengan Perangkat Daerah untuk memperoleh masukan dan saran sesuai dengan tugas dan fungsi perangkat daerah.  Masukan dan saran dirumuskan dalam bentuk berita acara kesepakatan dan ditandatangani oleh Kepala Bappeda sebagai ketua tim dan Kepala-Kepala Perangkat Daerah.  Tahapan selanjutnya yaitu mengawinkan antara RT RPJMD dengan visi-misi kepala daerah terpilih melalui asumsi bahwa penyempurnaan RT RPJMD berpedoman pada visi-misi dan program kepala daerah terpilih.

Setelah RT RPJMD disempurnakan dilanjutkan dengan menyusun Rancangan Awal RPJMD yang didalamnya telah termuat visi-misi kepala daerah terpilih.  Rancangan Awal RPJMD akan dikonsultasikan ke Menteri Dalam Negeri dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah untuk memperoleh masukan. Selanjutnya Rancangan Awal RPJMD akan menjadi Rancangan RPJMD yang menjadi bahan pelaksanaan musrenbang.  Musrenbang inilah yang dilaksanakan sebagai bentuk perencanaan dengan pendekatan partisipatif sehingga menjamin adanya keterpaduan (matching) antara visi-misi kepala daerah terpilih dengan kebutuhan dan keinginan para pemangku kepentingan.  Selain itu, musrenbang bertujuan untuk penajaman, penyelerasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan dan program-program pembangunan daerah.  Semoga dengan terpilihnya pemimpin yang baru, perwujudan daerah yang maju dan sejahtera akan segera tercapai.



Rabu, 19 Agustus 2020

Pertumbuhan Ekonomi Mengalami Kontraksi Sudah Saatnya Kerja Extraordinary Bagaimana dengan Sulawesi Tengah?

Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*


Beberapa hari lalu BPS Pusat merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester I tahun 2020 yang menunjukkan angka di luar dugaan.  Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi baik secara kuartal, kumulatif maupun tahunan. Secara kuartal angka kontraksi mencapai minus 4,19 persen (q-to-q), secara kumulatif mengalami kontraksi minus 1,26 persen (c-to-c) dan lebih parah lagi secara tahunan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi minus 5,32 persen (y-on-y).  Kontribusi sektor terbesar dari angka kontraksi tersebut disumbangkan oleh Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan dengan kontraksi pertumbuhan tertinggi mencapai minus 30,84 persen serta Lapangan Usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum mencapai minus 22,02 persen (BRS, 2020).

Kontraksi minus 5,32 persen dianggap sebagai angka yang cukup mengkhawatirkan karena merupakan angka terendah semenjak triwulan I tahun 1999 yang pada saat itu Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 6,13 persen.  Angka kontraksi ini juga meleset dari perkiraan Kemenkeu yang memproyeksi sekitar minus 3,8 persen dan sekaligus menjadi realisasi lebih buruk dari batas bawah yang diprediksi oleh Kemenkeu sebesar 5,1 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang anjlok menyadarkan kepada kita semua bahwa dampak Covid-19 terhadap semua sektor tidak terkecuali ekonomi cukup berat.  Terutama sektor Transportasi dan Pergudangan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam penerapan Work From Home (WFH) untuk mencegah penyebaran covid-19 yang lebih masif selain kebijakan larangan mudik pada idul fitri 1441 H.  Untuk Lapangan Usaha Makan Minum terimbas karena turunnya jumlah wisatawan mancanegara dan domestik serta ditutupnya obyek-obyek wisata, rekreasi dan hiburan yang berpengaruh juga pada sepinya pengunjung hotel dan restoran di seluruh wilayah Indonesia.

Perihal tersebutlah yang kemudian di wanti-wanti oleh Bapak Presiden Jokowi pada rapat terbatas bersama jajaran menterinya di Kabinet Indonesia Maju pada tanggal 18 Juni lalu yang vidionya sempat viral 10 hari kemudian pada tanggal 28 Juni.  Rapat tersebut viral karena bapak presiden sempat marah-marah kepada menterinya karena realisasi pembangunan yang masih minim menunjukkan bahwa kapasitas kerja masih biasa-biasa saja padahal kondisi ekonomi Indonesia kian terasa memburuk.  Pada rapat inilah kemudian terdengar istilah extraordinary, dimana presiden menginginkan agar kerja kita harus extraordinary untuk mengejar segala ketertinggalan yang ada.

Sorotan Presiden adalah pada rendahnya realisasi fisik dan keuangan pemerintah yang rata-rata masih kurang dari 30% padahal sudah memasuki pertengahan tahun, jika realisasi kecil maka kemanfaatan program dan kegiatan kepada masyarakat juga rendah mengakibatkan pemanfaatan fasilitas-fasilitas publik seperti fasilitas jalan, jembatan, pelabuhan, gedung sekolah dan rumah sakit yang memberikan stimulan kepada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat juga akan minim.  Selain itu, rendahnya realisasi akan menahan beredarnya uang di tengah-tengah masyarakat yang memicu pada melemahnya daya beli masyarakat.

Perekonomian yang mengalami kontraksi menunjukkan bahwa ada kontribusi dari lapangan kerja yang memberikan andil negatif atau non produktif dan konsekuensinya pemerintah harus menutupi kelemahan itu, yang kemudian disebut dengan “beban negara”.  Beban negara secara ekonomi akan memaksa pemerintah untuk berutang lagi atas kebutuhan yang diperlukan dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).  Walaupun SUN yang sering digunakan sebagai kebijakan untuk menutupi APBN yang mengalami defisit disamping kebutuhan dan pembangunan yang harus tetap dijalankan tetap dianggap sebagai penambah utang negara yang bisa jadi menjadi beban dikemudian hari. Akumulasi-akumulasi dari defisit anggaran menyebabkan utang negara.

Kata extraordinary dipadankan dengan kata incredible, unbelievable atau unusual dalam Bahasa inggris yang berarti luar biasa, tidak biasanya atau di luar batas sehingga jika ini yang diinginkan maka kerja yang dimaksud adalah jauh lebih hebat dibandingkan sebelum pandemic covid-19, di masa “new normal” ini kerja harus lebih keras dengan speed yang lebih untuk mencapai target-target yang diinginkan.  Tentunya langkah strategis yang dilakukan selain pengendalian penyebaran virus adalah pemulihan ekonomi secara bertahap dengan mematuhi protokol kesehatan yang ada.

Penanggulangan covid jauh lebih penting karena menyangkut nyawa orang banyak.  Olehnya pada tahapan yang memasuki akhir tahun ini, negara dan daerah berupaya keras dalam penanggulangannya di samping secara perlahan memulihkan ekonomi untuk mencegah terjadinya keterpurukan ekonomi yang lebih parah.

Pemerintah pusat telah membuat respon kebijakan dalam menghadapi Covid19 di Indonesia dengan membaginya dalam 4 tahap dan jika kita cermati, maka hanya tahapan pertama yang berorientasi pada penanggulangan covid secara langsung yaitu pada support sektor kesehatan sedangkan selebihnya pada arah pemulihan ekonomi dan keuangan. Adapun tahapan-tahapan itu, adalah sebagai berikut : Tahapan I, yaitu Penguatan Fasilitas Kesehatan yang terdiri atas peningkatan perilaku sehat  dan social distancing; pemenuhan kapasitas laboratorium (reagen, alat  test dan sarana laboratorium) serta penanganan pasien (APD, alkes, sarana dan prasarana  kesehatan).  Tahapan II yaitu Melindungi Kelompok Masyarakat Rentan dan Dunia Usaha, yang terdiri atas perluasan bantuan sosial, listrik gratis, kartu pra kerja; keringanan pajak untuk  dunia usaha dan pekerja, dan  keringanan kredit untuk  dunia usaha serta program pemulihan ekonomi  untuk dunia usaha dan UMKM.  Tahapan III yaitu Mengurangi Tekanan Sektor Keuangan, yang terdiri atas stimulus moneter dan keuangan, bantuan likuiditas terhadap  sektor keuangan serta penurunan suku bunga.  Sedangkan Tahap IV yaitu Program Pemulihan Ekonomi Pasca Covid yaitu memberikan arah pemulihan ekonomi untuk  mengejar target yang telah ditetapkan dalam RPJMN  2020-2024.

Secara regulasi pada tahapan I Pemerintah melalui mendagri mengeluarkan Permendagri No. 20 tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 di Lingkungan Pemerintah Daerah yang pada prinsipnya mengarahkan untuk mengambil langkah antisipasi pengeluaran akibat penanganan Covid-19 yang belum ada anggarannya untuk dibebankan pada Belanja Tidak Terduga yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD.  Apabila belanja tidak  terduga tidak mencukupi,  maka dapat menggunakan dana dari hasil  penjadwalan ulang capaian program dan  kegiatan lainnya serta  pengeluaran pembiayaan  dalam tahun anggaran  berjalan; serta memanfaatkan uang kas yang tersedia.  Jika hal ini ditempuh, maka penjadwalan ulang capaian program dan kegiatan diformulasikan terlebih dahulu dalam perubahan  dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja  perangkat daerah selanjutnya mekanisme pergeseran/perubahan DPA melalui  perubahan penjabaran APBD yang ditetapkan  dalam Perkada dan selanjutnya dimasukkan ke dalam Perda Perubahan APBD.  Regulasi ini ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran & Percepatan  Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Lingkungan Pemerintah Daerah, dimana setiap daerah diwajibkan mengalokasikan anggaran kegiatan tertentu (refocusing) untuk penanganan kesehatan, dampak ekonomi dan penyediaan jaring pengamanan social (social safety net).

 

Bagaimana dengan Sulawesi Tengah?

Ekonomi Sulawesi Tengah berdasarkan rilis BPS Sulawesi Tengah (2020) juga mengalami kontraksi minus 0,06 persen jika dibandingkan antara tri wulan II tahun 2020 dengan tri wulan II tahun 2019 (y-on-y) adapun sektor yang memberikan andil negatif sama dengan kondisi Indonesia umumnya yaitu sektor Transportasi & Pergudangan minus 52,18%; sektor Akomodasi & makan minum mencapai minus 36,67% serta sektor konstruksi sebesar minus 9,25%.  Gejala kontraksi ini tidak begitu parah karena dapat diimbangi oleh tiga sektor yang mengalami pertumbuhan yaitu Industri Pengolahan sebesar 21,11 persen, Informasi dan Komunikasi sebesar 10,40 persen serta Pertambangan dan Penggalian sebesar 9,50 persen.

Melihat keterpurukan ini, maka sejogyanya Sulawesi Tengah juga mengambil peran dan mendukung secara nasional dengan cara kerja yang tidak biasanya atau extraordinary.  Meningkatkan kinerja aparatur pemerintah dan pelayanan publik serta meningkatkan daya serap keuangan daerah yang lebih efektif dan efisien.

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi Sulawesi Tengah sebagai berikut : (i) mengalokasikan program dan kegiatan prioritas penanggulangan dan pemulihan kembali kesehatan masyarakat akibat pandemi covid-19 dan peningkatan sarana dan prasarana pelayanan rumah sakit; (ii) membangkitkan kemampuan perekonomian daerah pasca bencana dan pandemi covid-19 dengan memulihkan & menciptakan lapangan kerja; (iii) peningkatan nilai tambah (add value) sumberdaya alam hasil olahan pada industri hulu berbasis agro, maritim, hasil hutan, mineral dan migas; (iv) mendorong percepatan pertumbuhan kawasan produksi dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lainnya, khususnya UMKM dan Usaha Mikro Rakyat sebagai sumber penggerak utama pertumbuhan dengan menggali potensi unggulan daerah; (v) peningkatan investasi daerah untuk memperluas kesempatan kerja; serta (vi) percepatan pembangunan ekonomi berbasis maritim dengan memanfaatkan sumberdaya dan jasa kemaritiman.

Tentunya kita semua memiliki harapan dan keinginan akan kebangkitan ekonomi itu terwujud. Dan sangat lah mungkin dengan modal SDA yang berlimpah di Sulawesi Tengah asalkan dengan syarat dilaksanakan oleh SDM yang mumpuni, berkinerja dan berpikir extraordinary. Selamat bekerja untuk kita sekalian.


*Kepala Sub Bidang Perencanaan Ekonomi BAPPEDA Provinsi Sulteng

Senin, 09 Desember 2019

APAKAH PERLU PEMERINTAH DAERAH BERINVESTASI?


Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

Ungkapan usang yang sering kita dengar yaitu “menabung pangkal kaya” adalah sangat tidak relevan pada masa milenial ini.  Jangan-jangan justru kita menabung pangkal miskin.  Pasalnya, uang yang kita tabung di Bank memiliki nilai bunga yang lebih rendah dari nilai inflasi,  sehingga nilai uang yang kita butuhkan di masa yang akan datang akan jauh lebih besar dari uang yang tertanam di Bank bahkan terkesan kita juga turut andil memberikan sebagian uang kita kepada bank.  Untuk itu, diperlukan kecerdasan finansial untuk tidak menabung seperti biasanya tetapi harus melakukan yang namanya investasi.  Konsep dasar Investasi yaitu membuat pertumbuhan uang menjadi lebih cepat dan melampaui besaran inflasi sehingga lembaga, organisasi atau individu mampu mencapai tujuan finansialnya dengan lebih efektif.
Demikian juga untuk konsep pembangunan, tidak ada dalam sejarah sebuah Negara dapat membangun hanya dengan mengandalkan pendapatan asli Negara tanpa harus berinvestasi terlebih dahulu dengan pola kerjasama Negara lain atau pihak swasta bahkan Negara adidaya sekalipun seperti Amerika Serikat dan German yang membangun negaranya melalui skema pemberian pinjaman kepada Negara lain dengan jaminan tingkat bunga yang tinggi.  Skema ini juga yang kemudian di tiru oleh Negara China yang dengan strateginya itu banyak “menjerat” Negara-negara Asia dengan tumpukan utang yang menggunung.  Memang cara-cara kapitalis ini, tidak menjadi contoh yang baik dalam membangun terlebih bagi Negara kita yang agamis tetapi sebagai suatu alasan tentang pentingnya berinvestasi dan investasi yang dimaksudkan bisa dengan cara-cara lain yang lebih “baik”, seperti penyertaan modal, bagi hasil dan kerjasama pemerintah dengan badan usaha untuk aset dan sumber daya manusia.
Pada tanggal 12 September 2019 lalu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah.  PP ini menggantikan PP No. 1 tahun 2008 dengan pertimbangan perkembangan kondisi dan kebijakan pemerintah dalam bidang investasi, dan untuk meningkatkan afektivitas pengelolaan Investasi Pemerintah.  Setelah PP ini dikeluarkan, maka diharapkan mekanisme investasi dapat dikuti oleh Pemerintah Daerah dimana sebagai pengelola otonom APBD nya masing-masing.
Selama ini, pemerintah telah menggunakan instrumen fiskal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan memenuhi prinsip keadilan bagi seluruh rakyat.  Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan bernegara yaitu Negara yang maju dan mandiri.  Instrumen fiskal tersebut antara lain melalui pajak dan sumber pendapatan lain yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja pemerintah dan investasi untuk mendapatkan manfaat di masa yang akan datang dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi.
Prinsip pemerintah dan pemerintah daerah terhadap masyarakat adalah berorientasi pada pelayanan (service-oriented) dan bukan orientasi bisnis (business-oriented) apalagi orientasi keuntungan (profit-oriented), tetapi pelayanan yang dimaksud dapat berjalan dengan baik apabila di dukung oleh pembiayaan yang baik pula.  Pelayanan butuh anggaran dan menjadi tanggungjawab pemerintah atau pemerintah daerah untuk mendapatkannya tanpa masyarakat terasa terbebani.  Oleh karena itu, di beberapa Negara termasuk Indonesia untuk mendapatkan tambahan anggaran, pemerintah menggunakan agen sebagai kepanjangan tangan untuk melakukan investasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.  Agen investasi pemerintah tersebut dapat berupa lembaga yang terpisah dari fiskal seperti: BUMN atau lembaga yang dibentuk dengan undang-undang yang berfungsi sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) ataupun bentuk kelembagaan dalam struktur pemerintahan sesuai dengan karakteristik masing-masing negara, yang biasanya menggunakan mekanisme trust fund.
Jika penyelenggaraan pemerintah yang berbasis pelayanan maka tidak mungkin keuntungan akan diperoleh, malah kemungkinan selalu impas atau merugi, untuk itu, dibutuhkan lembaga-lembaga yang memiliki mekanisme sendiri dengan penyelenggaraan pemerintah yang tugas pokoknya melakukan koordinasi dalam hal pengelolaan uang Negara atau daerah untuk diinvestasikan.  Uang atau dana segar diperoleh dari penerimaan Negara melalui Undang-Undang (UU) tentang Perpajakan dan UU PNBP.  Namun sampai saat ini, diperlukan sebuah pengaturan setingkat UU yang mengatur tentang tata kelola investasi pemerintah maupun pengelolaan dana dalam bentuk trust fund.
Trust Fund atau wali amanat adalah sejumlah aset finansial yang dapat berupa properti, uang, sekuritas  atau Trust yang oleh orang atau lembaga berupa Trustor atau Donor atau Grantor yang dititipkan atau diserahkan untuk di kelola dengan baik oleh sebuah lembaga  yang disebut Trustee dan disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan penerima manfaat atau Beneficiaries sesuai dengan maksud dan tujuan yang dimandatkan.  Trust Fund merupakan mekanisme pembiayaan program yang membutuhkan biaya relatif besar secara berkelanjutan dalam jangka menengah dan panjang.  Status Trust Fund tidak dimiliki oleh siapapun dan dikumpulkan dengan tujuan: Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat; pendidikan atau beasiswa; penanggulangan bencana alam; penanggulangan masalah sosial, budaya dan kesehatan; pelestarian sumberdaya alam dan program strategis lainnya.  Sebenarnya trust fund telah diatur di Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.
Kebutuhan regulasi yang tertinggi berupa undang-undang, maka dikeluarkanlah UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang juga terdapat pengaturan terkait investasi pemerintah yang menyatakan pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan atau manfaat lainnya.  Investasi yang dimaksud dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung yang harus diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menindaklanjuti hal tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 63 tahun 2019 di mana ditegaskan bahwa pemerintah dapat berinvestasi dalam berbagai instrumen investasi yaitu saham, surat utang dan investasi langsung berupa pemberian pinjaman, kerja sama investasi, dan investasi langsung lainnya.
Prinsip dasar, mengapa pengelolaan investasi itu dilakukan dikarenakan tantangan pembiayaan pembangunan yang begitu besar sedangkan dana pemerintah memiliki keterbatasan.  Pada saat  ini, kebutuhan investasi pemerintah total berjumlah Rp. 4.457 Trilyun dengan perincian ada pada swasta sebesar Rp. 2.630 Trilyun, BUMN sebesar Rp. 1.381 Trilyun dan APBN/D sebesar Rp. 446 Trilyun yang digunakan untuk membiayai 5 sektor dengan nilai investasi tertinggi ditambah Ultra Mikro pada sektor energi, kelistrikan, jalan, kereta api, kawasan ekonomi dan industri serta sektor ultra mikro.  Investasi pemerintah tersebut dalam bentuk permanen seperti: Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dipisahkan dari APBN tetapi berada pada kendali BUMN dan bentuk Non Permanen seperti Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Hukum Lainnya (BHL).
Tujuan dari pengelolaan investasi pemerintah yaitu selain keinginan mengoptimalkan dana investasi yang berasal dari APBN melalui koordinasi kebijakan investasi pemerintah yang dilakukan oleh berbagai operator dan membangun tata kelola yang dapat meningkatkan value investasi adalah juga untuk mengkolaborasikan dana pemerintah dengan dana private melalui skema-skema investasi yang mampu mencapai tujuan investasi pemerintah sekaligus cukup menarik dari sisi return bagi investor.  Adapun sustansi pelaksanaan investasi bahwa dibentuk operator sebagai agen pemerintah berupa BLU, BUMN dan BHL dan mengintegrasikan kebijakan investasi pemerintah yang dilakukan oleh Komite Investasi Pemerintah (KIP), yang akan membantu tugas Menteri Keuangan untuk menyusun kebijakan investasi sekaligus melakukan pengawasan atas pelaksanaan investasi pemerintah yang dilakukan operator.
Pengelolaan investasi dilakukan dengan best practice untuk menghilangkan gap pengaturan investasi pemerintah dengan investasi di sektor private sehingga investor dapat mengukur risiko investasi apabila akan mengkolaborasikan dananya dengan dana Pemerintah yang dilaksanakan oleh agen-agen.  Agen bekerja untuk mendapatkan return yang lebih tinggi secara ekonomi, melalui proyek-proyek yang tidak hanya memiliki financial return namun juga memberikan multiplier effect yang tinggi bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Pertanyaan penting, Apakah Pemerintah Daerah perlu untuk melakukan investasi? Jika alasan karena tingginya pembiayaan daerah, maka pasti adalah sangat perlu.  Hanya saja, apakah pemerintah daerah mampu meaksanakannya dengan berbagai keterbatasan sebagai berikut: (1) APBD sebagai sumber dana investasi jumlahnya sangat rendah dan memiliki resiko yang sangat tinggi jika dimainkan dalam bentuk investasi; (2) Banyak daerah yang masih tinggi ketergantungannya dengan dana transfer (DAK, DAU, DBH); (3) Pemerintah Daerah kebanyakan belum memiliki operator investasi (agen-agen) yang mapan dari sisi pengelolaan perusahaan, SDM dan peralatan; (4) Masih ada kekhawatiran dari para Investor tentang jaminan penyertaan (sharing) modal dengan pemerintah daerah termasuk mekanisme bagi keuntungan, manajerial dan pengelolaan resiko kerugian serta (5) BUMD masih terkesan selalu merugi sehingga tidak berperan efektif sebagai kepanjangan tangan malah terkesan dihidupkan oleh induknya (pemerintah daerah) sendiri.  Oleh sebab itu, perlu analisis yang lebih mendalam lagi tentang pengembangan dana pemerintah daerah melalui pengelolaan investasi.  Bagaimanapun, kita selalu berpikir bahwa pemerintah daerah yang otonom adalah institusi yang berfokus pada pelayanan publik dengan indikator keberhasilannya yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat karena efektifnya pelayanan.  Sehingga keinginan dari masyarakat adalah bagaimana terlayani mereka dengan baik tanpa ada timbul rasa kekahawatiran terhadap kemungkinan pengelolaan dana pemerintah daerah yang akan crash (macet) akibat resiko pengelolaan investasi.  Sekian.

*Kepala Sub Bidang Perencanaan Ekonomi II Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...