Senin, 05 Mei 2008

KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS PULAU PULAU TERLUAR

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau (DKP, 2005) dan memiliki pantai sepanjang 81.290 kilometer (Dishidros TNI-AL, 2003 dalam DKP 2005). Sejak ditetapkan pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda dan dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 4 PrP tahun 1960, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang RI nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, serta diakui secara internasional melalui Undang-Undang Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, maka perairan Indonesia menjadi suatu wilayah yang utuh, dimana batas lautnya diukur dari titik pulau-pulau terluarnya.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki pantai dan bercirikan nusantara, batas-batas lautnya meliputi Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Batas Landas Kontinen (BLK), Batas Zona Tambahan (BZT) dan Batas Zona Perikanan Khusus (Special Fisheries Zone/SFZ). Berbagai jenis garis batas ini, belum seluruhnya terdeposit di UNCLOS atau dalam perjanjian perbatasan antarnegara, baik bilateral maupun multilateral. Sampai saat ini proses pengukuran, perjanjian maupun pemecahan permasalahan-permasalahan yang menyangkut batas negara khususnya batas laut masih terus dilakukan.

Indonesia memiliki kurang lebih 17.506 pulau termasuk pulau-pulau kecil terluar yang langsung berbatasan dengan wilayah perairan negara lain (DKP, 2006). Negara-negara tersebut adalah negara tetangga yang terdiri atas :

1. India di ujung utara Sumatera (dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, dimana pulau terluarnya yaitu Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Benggala, Pulau Rondo);
2. Malaysia disepanjang Selat Malaka (berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), dengan pulau yang merupakan titik terluar adalah Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Anambas di Provinsi Riau, Pulau Sebatik di Provinsi Kalimantan Timur);
3. Singapura disepanjang Selat Philip, dimana pulau terluarnya adalah Pulau Nipa (Provinsi Riau);
4. Thailand dibagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman (pulau terluarnya adalah Pulau Rondo (Provinsi NAD);
5. Vietnam didaerah Laut Cina Selatan dengan pulau terluarnya adalah Pulau Sekatung (Provinsi Riau Kepulauan, Kabupaten Natuna);
6. Philipina di daerah utara Selat Makasar, dengan pulau-pulau terluarnya adalah Pulau Marore dan Miangas yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara;
7. Republik Palau di daerah utara Laut Halmahera, dimana pulau terluarnya adalah Pulau Fani, Fanildo dan Bras (Provinsi Papua);
8. Australia disekitar selatan Pulau Timor dan Pulau Jawa;
9. Timor Leste disekitar wilayah Maluku dan NTT dengan pulau terluarnya adalah Pulau Asutubun (Provinsi Maluku), Pulau Batek (Provinsi NTT), Pulau Wetar (Provinsi Maluku);
Di dalam Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil terluar pada Lampiran I mencantumkan ada 92 pulau terluar yang langsung berbatasan dengan Negara tetangga.

Dengan panjang garis perbatasan laut, serta banyaknya pulau-pulau terluar yang potensial untuk dikembangkan, tetapi pada saat yang sama juga memiliki potensi konflik, ditambah dengan banyaknya negara yang berbatasan, maka penyusunan suatu kebijakan yang menyeluruh dari aspek perencanaan, pengembangan, dan pengawasan kawasan perbatasan laut merupakan sebuah kebutuhan. Hingga saat ini, pengembangan perbatasan laut belum dilakukan secara optimal, sebagai akibat belum adanya kebijakan yang komprehensif sehingga sulit untuk diimplementasikan (DKP, 2005).

Konflik-konflik perbatasan seperti yang terjadi pada kasus tenaga kerja Indonesia di Nunukan kurang dapat ditangani secara cepat, karena perangkat aturan pelaksanaannya belum tersedia. Pemerintah daerah yang seharusnya dapat cepat bertindak, tidak dapat melakukan apa-apa akibat keterbatasan kewenangan yang dimiliki. Untuk itu diperlukan penyusunan kebijakan kawasan perbatasan, khususnya perbatasan laut, maka peran masing-masing instansi secara bersinergi dapat diidentifikasi dan ditentukan dalam konteks pembangunan kawasan perbatasan laut Indonesia.

INVENTARISASI PULAU TERLUAR

Yang dimaksudkan dengan Pulau Terluar yaitu pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan nasional (Perpres No. 78 Tahun 2005).
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dishidros TNI-AL pada tahun 2003, terdapat 92 pulau kecil terluar yang tersebar di 17 provinsi dimana keberadaannya mempengaruhi luas wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sbb :

1. Kepulauan Riau, Jumlah Pulau : 18
Nama Pulau : Sentut, Tokong Malang Biru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Senua, Subi Kecil, Kepala, Sekatung, Karimun Kecil, Nipah, Pelampong, Batu Berhanti, Nongsa.
2. Kalimantan Timur, Jumlah Pulau : 4
Nama Pulau : Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit
3. Sulawesi Tengah, Jumlah Pulau : 3
Nama Pulau : Lingian, Salando, Dolangan.
4. Sulawesi Utara, Jumlah Pulau : 11
Nama Pulau : Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio, Marore, Batubawaikang, Miangas, Marampit, Intata
5. Maluku, Jumlah Pulau : 17
Nama Pulau : Jiew, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang, Enu, Batugoyang, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela, Meatimarang, Leti, Kisar, Wetar, Liran
6. NTT, Jumlah Pulau : 6
Nama Pulau : Alor, Batek, Dana (besar), Dana (kecil), Mangudu, Sophialouisa
7. Jawa Timur, Jumlah Pulau: 3
Nama Pulau : Barung, Sekel, Panehan
8. Jawa Tengah, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Nusakambangan
9. Jawa Barat, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Manuk
10. Banten, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Deli
11. Lampung, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Batu Kecil
12. Bengkulu, Jumlah Pulau : 2
Nama Pulau : Enggano, Mega
13. Sumatera Barat, Jumlah Pulau :2
Nama Pulau : Sibarubaru, Sinyaunyau
14. Sumatera Utara, Jumlah Pulau : 3
Nama Pulau : Simuk, Wunga, Berhala,
15. Nanggroe Aceh Darusalam, Jumlah Pulau : 6
Nama Pulau : Simeulucut, Selaut Besar, Pulau Raya, Pulau Rusa, Benggala, Rondo
16. Riau, Jumlah Pulau : 2
Nama Pulau : Batu Mandi, Iyu Kecil
17. Papua, Jumlah Pulau : 11
Nama Pulau : Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Brass, Bepondi, Liki, Kolepon, Laag, Ararkula, Karaweira
Sumber: Dishidros TNI-AL dalam DKP 2005.
ARTI STRATEGIS PULAU-PULAU TERLUAR

Selain sebagai bukti kuat batas wilayah negara, pulau-pulau dan karang-karang tersebut juga mempunyai prospek yang menjanjikan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Ini berarti penanganannya tidak hanya dibebankan kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan, TNI, Kepolisian, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Departemen Luar Negeri saja tetapi juga terkait dengan departemen lain seperti Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Oleh sebab itu perlu adanya sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau dan karang terluar Indonesia melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru.

Banyak sekali pulau-pulau kecil yang mempunyai panorama pantai sangat indah dan alami, sehingga merupakan aset yang sangat berharga dalam pengembangan pariwisata Indonesia, khususnya pariwisata bahari. Departemen Pariwisata dan Kebudayaan bekerjasama dengan instansi terkait dapat mempromosikan keberadaan pulau-pulau indah tersebut untuk wisatawan domestik maupun mancanegara.

Pulau-pulau terluar serta kelanjutan pulaunya di laut (landas kontinen) memiliki SD Laut hayati dan non hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pendapatan Negara dan kesejahteraan masyarakat seperti hutan mangrove, terumbu karang, berbagai jenis ikan dan sebagai lokasi pembudidayaan rumput laut serta lokasi penambangan minyak mentah, pasir laut dan sebagainya, sehingga dari aspek ekonomi teramat penting.
Pulau terluar adalah sangat menentukan luas perairan suatu Negara dengan mengukur lebar laut teritorial dari garis pangkal lurus kepulauan hal ini dijelaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) dan diperjelas pada PP No. 38 Tahun 2002 pasal 3 yang menyatakan bahwa di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan.
Pulau-pulau terluar merupakan kawasan strategis dan memiliki potensi sangat penting, karena di pulau-pulau tersebut terdapat Titik Dasar (TD) dan Titik Referensi (TR) yang digunakan untuk menarik garis pangkal batas wilayah atau teritorial RI (Berita Antara, 2007).
Dari aspek demografi (kependudukan) sebenarnya pulau-pulau terluar adalah tempat yang teramat baik bagi pemerataan jumlah penduduk. Selama ini program perpindahan penduduk dari Jawa, Madura dan Bali biasanya menuju pulau-pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) dan berorientasi ke arah pertanian. Program tersebut akan lebih baik jika dikombinasikan dengan perpindahan penduduk ke pulau-pulau kecil terluar Indonesia. Dengan demikian, pemerataan distribusi penduduk Indonesia secara geografis tetap tercapai, bahkan tercapainya tujuan lain seperti pertahanan dan keamanan. Aktivitas penduduknya pun tidak hanya berorientasi pada pertanian saja tetapi juga perikanan.
Dengan adanya penduduk di pulau-pulau terluar tersebut, maka tidak mungkin akan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.
Akibat posisinya yang sangat strategis maka banyak sengketa wilayah laut yang terjadi di beberapa negara di dunia yang memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya bahkan sampai menimbulkan perang, seperti antara Inggris dan Argentina yang memperebutkan Kepulauan Malvinas. Kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia, merupakan pengalaman buruk Indonesia. Di sini terlihat, Indonesia belum bisa mengelola dengan baik keberadaan pulau-pulau kecil termasuk karang-karang yang ada pada terluar wilayah Indonesia (Wikantika, K. 2005).
Pengakuan kepemilikan suatu pulau oleh Negara lain dapat terjadi karena 3 alasan yaitu :
(1) Pulau tersebut telah lama didiami oleh mayoritas penduduk dari Negara lain.
(2) Penguasaan efektif pulau dari aspek perdagangan, distribusi sandang-pangan dan pemeliharaan kesehatan.
(3) Perlindungan serta pelestarian ekologis.
Hal ini ditunjukkan saat Indonesia kalah dengan Malaysia pada perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan (Harian Kompas, 2005).
Dari 92 pulau terluar di Indonesia, 67 pulau (28 pulau berpenduduk dan 39 pulau belum berpenduduk) berbatasan langsung dengan negara tetangga dan 12 pulau di antaranya rawan penguasaan efektif oleh negara lain.
Dari buku Profil Pulau-pulau Kecil Terluar di Indonesia yang disusun Alex SW Retraubun dan Sri Atmini, Departemen Kelautan dan Perikanan (Harian Kompas, 2005). Profil ke-12 pulau tersebut yang rawan penguasaan oleh Negara lain yaitu :
1) Pulau Rondo Kelurahan Ujung Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Terletak di ujung utara Pulau Weh, merupakan pulau terluar strategis di ujung barat Indonesia yang menjadi jalur pelayaran internasional, berbatasan dengan India, tidak dihuni tetap dan hanya dihuni oleh petugas jaga mercusuar. Kekayaan alam berupa perikanan dan terumbu karang, rawan pencurian ikan (illegal fishing).
2) Pulau Sekatung, Desa Air Payang, Kelurahan Pulau Laut, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau. Terletak di utara Kepulauan Natuna, masuk Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Vietnam, termasuk gugusan Pulau Natuna selain Pulau Sedanau, Bunguran, dan Midai, luasnya sekitar 0,3 kilometer persegi. Tidak berpenghuni, sering digunakan sebagai persinggahan nelayan lokal dan asing, potensi berupa perikanan dan terumbu karang, rawan illegal fishing.
3) Pulau Nipa, Desa Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Riau. Pulau kecil tak berpenghuni yang berbatasan dengan Singapura, 80 persen merupakan batuan karang mati dan 20 persen batuan berpasir. Luas dataran lonjong ini sekitar 60 hektar, di sekitar pulau ini dijadikan penambangan pasir. Akibatnya, terjadi abrasi yang mengancam tenggelamnya pulau di tengah pelayaran lalu lintas internasional yang frekuensinya tinggi.
4) Pulau Berhala, Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Berada di Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia, tak berpenghuni, luas sekitar 2,5 kilometer persegi dan dikelilingi hamparan terumbu karang. Memiliki kekayaan alam berupa keindahan terumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
5) Pulau Marore, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Salah satu pulau kecil di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan Filipina. Berada di kepulauan berpenduduk sekitar 640 jiwa, luas sekitar 214,49 ha, termasuk gugusan Pulau Kawio, merupakan wilayah khusus di perbatasan Filipina yang disebut check point border crossing area, rawan illegal fishing.
6) Pulau Miangas, Desa Miangas, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Salah satu gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina, luas sekitar 3,15 kilometer persegi. Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Ada penduduknya yang mayoritas Suku Talaud, perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi. Dilaporkan mata uang yang mereka gunakan adalah peso, jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 678 jiwa, sudah ada listrik dari PLTD 10 KVA. Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677, sejauh ini Filipina yang sejak tahun 1891 memasukkan Miangas dalam wilayahnya sudah menerima Pulau Miangas sebagai wilayah Indonesia berdasarkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional. Rawan terorisme dan penyelundupan.
7) Pulau Marampit, Kecamatan Pulau Karatung, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Salah satu pulau di Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Filipina, berpenghuni dengan jumlah penduduk sekitar 1.436 jiwa, luas pulau 12 kilometer persegi, pulau terluar yang dibatasi Samudra Pasifik di sebelah utara dan timur. Sarana navigasi pelayaran dan dermaga hingga kini belum terpasang, rawan abrasi karena berhadapan dengan laut lepas, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
8) Pulau Batek, Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Merupakan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, berada di perbatasan antara wilayah Kabupaten Kupang, NTT, dan Oekusi, Timor Leste, luas sekitar 25 ha. Menjadi tempat bertelur penyu-penyu serta lokasi migrasi lumba-lumba. Untuk mencapainya cukup mudah karena perairan di sebelah utaranya merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) jalur 3 yang menjadi jalur pelayaran internasional, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
9) Pulau Dana, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Terletak di sebelah selatan Pulau Rote yang merupakan pulau terluar berbatasan dengan Australia. Letaknya strategis karena menjadi pintu masuk jalur pelayaran internasional (ALKI jalur 3), tidak berpenghuni, jarak dengan Kota Kupang 120 kilometer dan dengan Pulau Rote 4 kilometer. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan perahu motor, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
10) Pulau Fani, Kecamatan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua. Pulau terluar yang berbatasan dengan Republik Palau, termasuk gugusan Pulau-pulau Asia. Ada penghuninya, luas wilayah sekitar sembilan kilometer persegi. Jarak ke Kota Sorong 220 kilometer dan dapat dicapai dengan kapal motor selama 35 jam. Penduduknya lebih sering berinteraksi dengan negara tetangga, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
11) Pulau Fanildo, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Salah satu gugusan Pulau Mapia, pulau tak berpenghuni yang berbatasan dengan Republik Palau, luas sekitar 0,1 kilometer persegi yang sekelilingnya merupakan pantai berpasir dan hamparan terumbu karang. Jarak dengan ibu kota Biak Numfor 280 kilometer. Untuk mencapai pulau ini bisa dengan menggunakan pesawat udara dan kapal laut rute Jakarta-Biak-Mapia, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
12) Pulau Bras, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 37). Terletak di ujung utara Pulau-pulau Mapia, berbatasan dengan Republik Palau, luasnya 3,375 kilometer persegi, jarak Pulau Bras dengan Kabupaten Biak Numfor 280 kilometer dan dengan Pulau Supiori 240 kilometer yang dapat dicapai dengan perahu motor. Dihuni sekitar 50 jiwa penduduk, potensial untuk wisata terumbu karang, mata pencaharian nelayan dan membuat kopra, rawan abrasi dan rawan illegal fishing serta effective occupation dari negara tetangga.
Oleh karena itu, sangat penting Indonesia mencapai kesepakatan dengan 10 negara berbatasan darat atau laut dengan Indonesia. Yaitu Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, Australia, India, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Indonesia, seperti tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2000, memiliki 194 pulau menjadi titik-titik terluar dipakai sebagai garis pangkal kepulauan dan batas wilayah Indonesia.
Sejalan dengan telah merdekanya Timor Leste menjadi negara berdaulat serta jatuhnya keputusan Mahkamah Internasional bahwa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan milik Malaysia, pemerintah Indonesia sedang menggodok peraturan baru yang akan mengubah isi PP Nomor 38 tahun 2000.
Indonesia telah mendaftarkan data nama ribuan pulaunya, keuntungan yang diperoleh yaitu kepastian data yang menyatakan bahwa Indonesia telah secara turun temurun mengurus pulau-pulau tersebut. Selain itu melalui pendataan terhadap pulau, Indonesia akan memiliki pengetahuan apakah suatu pulau misalnya memiliki cadangan air atau sumber daya alam (Waspada Online, 2007).

TUJUAN DAN SASARAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN LAUT DAN PULAU PULAU TERLUAR

Perbatasan laut yang masuk dalam tinjauan suatu kebijakan meliputi wilayah perairan di kawasan perbatasan, serta pulau-pulau terluarnya. Wilayah perairan menyangkut kawasan teritorial maupun ZEE yang terkait dengan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam, termasuk pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan perbatasan dan monitoring serta pengamanan terhadap keberadaan kapal-kapal asing, sedangkan pulau-pulau terluar menyangkut berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan, baik yang berpenghuni maupun tidak.
Kebijakan khusus di bidang pengelolaan laut dan pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan ini, memiliki kekhasan penting karena menyangkut interaksi dengan dunia internasional terutama menyangkut hukum-hukum dan perjanjian yang berlaku secara universal maupun perjanjian dengan negara-negara tetangga yang berdekatan.
Tujuan dari penyusunan kebijakan ini adalah untuk memberikan landasan atau kerangka berpikir dalam penyusunan kebijakan nasional yang menyeluruh dan terpadu mengenai penanganan kawasan perbatasan laut, baik yang bersifat umum untuk seluruh kawasan perbatasan maupun yang bersifat khusus bagi masing-masing kawasan perbatasan yang spesifik. Adapun sasaran yang hendak dicapai dari kebijakan pengembangan kawasan perbatasan laut dan pulau-pulau terluar adalah:
1) Teridentifikasinya permasalahan, peluang, dan potensi pengembangan kawasan perbatasan laut;
2) Terpadunya konsep-konsep kebijakan penanganan kawasan perbatasan laut yang bersifat sektoral maupun regional;
3) Tersusunnya landasan konsep bagi kebijakan nasional penanganan kawasan perbatasan laut dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat perbatasan pulau-pulau terluar, menjaga kedaulatan negara dan meningkatkan rasa kebangsaan, serta memantapkan penerapan dan penegakan hukum nasional.
Apabila diperhatikan secara sekilas, telah terdapat kebijakan persesuaian antara Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 dengan konsepsi Sistem Pertahanan Nusantara. Dan sesungguhnya secara hukum perairan di Indonesia telah diatur penataannya dalam sebuah tata ruang melalui Undang-undang Nomor 6 tahun 1996. Namun Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 hanya mengatur perairan yang digolongkan sebagai perairan yurisdiksi Indonesia. Artinya, masalah ZEE, zona tambahan dan Pulau-Pulau Terluar tidak tercakup dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996.
Dari kepentingan pertahanan negara, perlu ditetapkan wilayah perairan mana saja yang dikategorikan sebagai zona pertahanan maritim. Penetapan ini sesungguhnya bukan saja penting, namun juga ada baiknya dilakukan dalam waktu secepatnya setelah mendalami berbagai aspek yang mempengaruhinya, yaitu aspek hukum, aspek diplomasi politik dan aspek operasional. Dengan penetapan zona pertahanan maritim, maka secara operasional terbuka kesempatan bagi TNI-AL dan TNI-AU untuk menggelar latihan gabungan secara rutin di berbagai kawasan perairan yang dikategorikan sebagai zona pertahanan maritim. Hal ini akan berguna karena setiap perairan memiliki karakteristik yang berbeda-beda bagi digelarnya operasi pertahanan secara gabungan.
Untuk itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, aspek hukum. Menurut UNCLOS 1982 yang diratifikasi oleh melalui Undang-undang Nomor 17 tahun 1985, setiap negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 memiliki kewenangan untuk mengatur zonasi perairan yurisdiksinya sesuai kepentingan nasionalnya masing-masing. Sedangkan pada ZEE dan zona tambahan, dari aspek pertahanan setiap negara berhak mengambil tindakan yang dianggap perlu bila ada hostile intention dan hostile act dari lawan. Dikaitkan dengan zonasi untuk kepentingan pertahanan, sesungguhnya Indonesia secara sepihak dapat mendeklarasikan kepada dunia internasional bahwa ZEE dan zona tambahan di sekitar perairan yurisdiksi Indonesia termasuk dalam zonasi Sistem Pertahanan Nusantara.
Deklarasi secara sepihak tersebut akan terkait aspek kedua, yaitu aspek diplomasi politik. Deklarasi ini harus ditindaklanjuti oleh perjuangan diplomasi politik di tingkat internasional. Karena hampir sudah pasti akan muncul tekanan dari dunia internasional guna membatalkan deklarasi tersebut, khususnya dengan negara-negara yang berkepentingan dengan perairan di sekitar Nusantara. Tekanan tersebut muncul karena adanya kepentingan politik sekaligus ekonomi mereka yang akan terganggu dengan deklarasi Indonesia itu.
Tekanan yang dilakukan juga terkait dengan aspek ketiga, yaitu aspek operasional. Seiring dengan tekanan diplomatik, akan pula digelar show of force dari kekuatan angkatan laut negara-negara tersebut di perairan sekitar Nusantara. Dan apabila setelah deklarasi tersebut Indonesia menindaklanjutinya dengan penutupan temporer zona tersebut bagi kepentingan pertahanan Nusantara, misalnya bagi penggelaran latihan gabungan TNI-AL dan TNI-AU, bisa jadi akan terjadi peningkatan eskalasi baik pada aspek diplomasi politik maupun aspek operasional.
Pada aspek operasional, sangat terbuka peluang bagi negara-negara dimaksud untuk menggunakan kekuatan senjata terhadap Indonesia agar perairan tersebut dibuka kembali bagi kepentingan navigasi internasional. Asumsinya berangkat bahwa penutupan tersebut berbenturan dengan kepentingan nasional mereka, baik politik keamanan maupun ekonomi. Sebab wilayah perairan yang menjadi bagian dari zona pertahanan maritim Nusantara itu merupakan jalur pendekat bagi navigasi internasional untuk memasuki ALKI.
Dalam penetapan zona pertahanan maritim, yang dibutuhkan Indonesia adalah keberanian secara diplomatik politik yang ditunjang oleh perangkat hukum dan kesiapan aspek operasional yang juga ditunjang oleh perangkat hukum pula. Secara diplomatik politik, dibutuhkan sebuah kebijakan tunggal mengenai masalah penetapan zona pertahanan maritim yang harus diperjuangkan di forum internasional. Oleh karena itu, institusi seperti Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Keuangan dan Departemen Pertahanan, termasuk TNI-AL di dalamnya harus duduk bersama untuk menggodok masalah ini dan mengenyampingkan egoisme sektoral (Ali, H.A, 2003).

ALTERNATIF PEMBENAHAN PULAU-PULAU TERLUAR

Melihat sifat yang sangat penting dan segera dilakukan untuk membenahi pulau-pulau terluar diupayakan kebijakan sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dan memberikan Nama Pulau-Pulau Terluar.
Identifikasi pulau-pulau terluar meliputi penyusunan data khusus tentang pulau dan lingkungannya, kedalaman laut di sekitarnya, jarak dengan pulau utama hingga kondisi penduduk yang mendiaminya. Banyaknya pulau di Indonesia yang mencapai belasan ribu, ternyata yang baru terdaftar dan memiliki nama 4.981 pulau. Hal itu terungkap ketika Indonesia melakukan pendaftaran data nama 4.981 pulau di Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (Waspada Online, 2007). Oleh karena itu, pendaftaran data dan nama-nama pulau Indonesia, termasuk pulau-pulau terluar, menjadi modal Indonesia memperkuat posisi jika terjadi sengketa dengan negara lain.
b. Memperbaharui Peta Laut Indonesia (PLI).
Lepasnya Timor Timur serta sengketa perbatasan dengan negara lain, baik yang sudah diselesaikan atau belum, mempengaruhi PLI. Oleh karena itu, pemetaan kembali harus segera dilakukan. Bila tidak, Indonesia akan mengalami banyak kerugian, di antaranya potensi kehilangan landas kontinen sejauh 150 mil. Peta Laut Indonesia yang terakhir dibuat periode 1988-1995 dan hingga kini belum diperbarui lagi. Sedangkan garis batas dengan Timor Leste harus diperbarui. Selain itu, landas kontinen sejauh 350 mil laut sudah disampaikan oleh TNI Angkatan Laut kepada Departemen Luar Negeri untuk diklaim. Bila Indonesia terlambat mengklaim landas kontinen tersebut, maka bisa jadi Indonesia akan kehilangan landas kontinen sejauh 150 mil. Sesuai aturan Batas waktu untuk mengklaim landas kontinen paling lambat tahun 2009. Bila lewat dari batas waktu, Indonesia tidak berhak mengklaim lagi (Kuswandari E. 2006).
c. Pengamanan Pulau-Pulau Terluar.
Untuk pengamanan pulau-pulau terluar, saat ini TNI AL sudah membuat pola pengamanan berupa penempatan kapal dan pasukan setingkat peleton untuk melakukan patroli secara rutin. Saat ini, sudah enam pulau terluar yang terdistribusi pola pengamanan tersebut. Pengamanan laut Indonesia secara ideal membutuhkan 275 kapal berbagai jenis untuk kawasan barat, timur, dan tengah. Saat ini, baru tersedia 114 kapal. Selain melakukan patroli perlu penempatan pasukan marinir di pulau-pulau terluar. Hal ini dilakukan jika pulau-pulau tersebut tidak berpenghuni seperti hanya berupa pulau karang.

d. Distribusi Penduduk dari Pulau yang padat ke Pulau-Pulau Terluar
Sudah waktunya pemerintah menerapkan program transmigrasi yang mengarahkan perpindahan penduduk ke pulau-pulau terluar dengan orientasi pengembangan usaha perikanan. Hal ini sangat penting untuk menghindari occupation dari Negara lain dan dalam upaya untuk menumbuhkan pusat-pusat perekonomian baru.
RUJUKAN :

Ali, H.A. 2003. Penataan Zona Pertahanan Maritim. Sinar Harapan. (On Line), (http://www.sinarharapan.go.id/).
Berita Antara, 2007. Pulau Terluar Rawan Konflik di Inventarisasi. (On Line), (http://www.antara.co.id/).
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara di Indonesia. Buku Ketiga (On Line) (http://www.dkp.go.id/).
Harian Kompas, 2005. Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan. (On Line), (http://www.kompas.go.id/).
Kuswandari, E. 2006. Peta Laut Indonesia Perlu Diperbaharui. Sinar Harapan. (On Line), (http://www.sinarharapan.go.id/).
Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005. Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil terluar. Sekretariat Kabinet Bidang Hukum RI. Jakarta.
Undang-Undang RI No. 17 Tahun 1985. Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Sekretariat Negara RI. Jakarta.
Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996. Tentang Perairan Indonesia. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
Waspada, 2007. Indonesia Cuma Punya 4.981 Pulau. (On Line), (http://www.waspada.go.id/).
Wikantika, K. 2005. Citra Satelit Kurangi Biaya Survey. Departemen Teknik Geodesi ITB. Disadur dari Harian Pikiran Rakyat. (On Line), (http://www.pikiran-rakyat.com/).

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...