Selasa, 07 April 2009

BERDAYAKAN NELAYAN BERBASIS SOSIO-EKOLOGI DAN KARAKTERISTIK DAERAHNYA

Masyarakat nelayan adalah suatu komunitas yang sebagian besar masih berada dibawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 %) (BPS, 2007) dan sekitar 4,5 juta orang atau 11,54% adalah masyarakat nelayan (DKP, 2006).

Sebelumnya Data Badan Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa prosentase orang miskin pada kelompok nelayan jauh lebih besar dibanding pada rata-rata penduduk Indonesia. Kondisi ini tampak dari Indeks kemiskinan (Poverty Headcount Index, PHI) nelayan sebesar 0,28 yang berarti setiap 28 orang nelayan dari 100 orang nelayan termasuk dalam kategori miskin, jauh lebih tinggi dari PHI nasional sebesar 0,18.

Untuk itu banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, NGO’s maupun swasta untuk mengentaskan kemiskinan yang melekat dalam komunitas nelayan. Diantara upaya-upaya tersebut yaitu dengan mengaplikasikan berbagai model pemberdayaan nelayan seperti pemberian pinjaman dana bergulir (revolving fund), bantuan perahu dan alat tangkap, pendidikan dan pelatihan budidaya, keterampilan diversifikasi usaha dan sebagainya. Penerapan berbagai model pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara dan metode yang sama untuk semua daerah, padahal setiap komunitas nelayan diberbagai tempat memiliki sifat sosial, budaya, ekologi dan karakteristik daerah yang berbeda-beda sehingga seharusnya desain dan metode penerapan model pemberdayaan menyesuaikan dengan aspek-aspek kehidupan dan latar belakang nelayannya, seperti aspek sosial, budaya, ekologi dan karakteristik suatu daerah.
Belajar dari masa sebelumnya, dimana komunitas nelayan kurang diposisikan sebagai subjek pembangunan, tetapi selalu diposisikan sebagai objek. Demikian pula informasi dan data yang tidak akurat mengakibatkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan nelayan kurang tepat sasaran dan tidak menyentuh akar dari permasalahan kemiskinan. Maka kebijakan pembangunan dan program pemberdayaan nelayan hendaknya didasarkan pada pemahaman dan informasi dari nelayan itu sendiri. Mereka harus menjadi sumber informasi berkaitan dengan kemiskinan yang dialami dan bagaimana keluar dari kemiskinan.

Keberhasilan suatu model pemberdayaan nelayan sangat bergantung pada apa yang diinginkan oleh nelayan termasuk peningkatan kesejahteraan hidup yang didukung oleh kemampuan daya dukung sosio-ekologi dan karakteristik daerahnya. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat pada awal perencanaan program merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan penerapan model pemberdayaan kedepan. Disamping itu, pelibatan masyarakat pada tingkat partisipatif akan mewujudkan kesesuaian antara model yang diciptakan dengan kondisi-kondisi pendukung nyata bagi upaya pemberdayaan itu sendiri.

Dari perspektif sosio-ekologi memandang bahwa desakan ekonomi, kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi telah lama diyakini menjadi penyebab kehancuran alam. Sumberdaya alam adalah “last resort” tempat pengaduan terakhir bagi lapisan miskin untuk mempertahankan kehidupan (survival strategy), manakala tidak ada lagi peluang ekonomi apapun yang tersisa di tempat lain bagi mereka (Dharmawan, A.H, 2005). Tetapi pada perspektif positif sosio-ekologi dianggap bahwa masyarakat dapat berdaya dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan lingkungan disekitarnya asalkan tidak berada pada tingkat over exploitation yang melebihi batas daya dukung (carrying capacity) lingkungan. Dengan demikian pada pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi masyarakat diperlukan arahan, bimbingan dan kesepahaman pemanfaatan.

Bagaimanapun model pemberdayaan nelayan melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya merupakan suatu pilihan yang bijaksana karena akan mendidik komunitas nelayan itu sendiri, untuk turut menjaga kelestariannya dengan harapan bahwa sumberdaya dan lingkungan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Bersamaan dengan itu, model pemberdayaan nelayan berbasis sosio-ekologi adalah suatu langkah penyelesaian (solution) terhadap pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan yang tidak bijaksana dan menghindarkan setiap individu dan anggota nelayan untuk tidak memiliki semangat kerakusan (greediness).

Antara prilaku kehidupan nelayan dengan kondisi lingkungannya memiliki hubungan yang sangat erat. Komunitas nelayan dengan lingkungan alam yang memiliki kelimpahan stok sumberdaya akan memiliki prilaku (sosiologi) yang berbeda dengan komunitas nelayan pada kondisi stok sumberdaya alam dan lingkungan yang terbatas. Tetapi kelimpahan dan keterbatasan stok sumberdaya alam dan lingkungan tidak menjamin kesejahteraan hidup nelayan lebih baik. Olehnya itu, diperlukan suatu model pendekatan pemberdayaan nelayan yang lebih terfokus pada kesadaran tentang kondisi lingkungannya atau melihat hubungan yang sangat erat antara perubahan prilaku nelayan (sosiologi nelayan) dengan perubahan-perubahan lingkungan disekitarnya (sosio-ekologi). Keterkaitan antara faktor-faktor ekologi dan proses sosial adalah sangat penting sebagai dasar untuk mendesain model bagi manajemen berkelanjutan komunitas nelayan sebagai kehidupan masyarakat yang masih tradisional.

Model pemberdayaan nelayan, seharusnya juga memperhatikan karakteristik daerah khususnya pada daerah-daerah pesisirnya. Karakteristik daerah meliputi aspek aksesibilitas, kerawanan sandang pangan, landcover, topografi, ekosistem terkait dan lain-lain. Komunitas nelayan yang karena aspek karakteristik daerah sering dianggap sebagai masyarakat terpencil, misalnya daerah pesisir dibalik perbukitan, hutan dan pulau kecil sehingga model pemberdayaan akan dibuat dengan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan yang ada.
Komunitas nelayan dapat juga berperan dalam hal menentukan arah pembangunan bagi desanya sendiri atau dengan kata lain bagaimana seharusnya desanya dibangun sesuai dengan kemauan mereka sehingga membentuk karakteristik sendiri yang dapat mendukung kelangsungan dan kesejahteraan hidup selanjutnya.

Pemerintah melalui kebijakannya mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan pada Pasal 63 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Ini berarti bahwa model-model pemberdayaan akan terus bergulir sehingga penentuan model pemberdayaan yang berbasis sosio-ekologi dan karakteristik daerah nelayan adalah hal yang sangat perlu untuk dilakukan.

Jumat, 06 Februari 2009

TRAGEDY OF THE COMMON (KAITANNYA DGN ILMU MANAGEMENT KELAUTAN)

GARRET HARDIN (1968)

PENDAHULUAN

Di awal tragedy of the common, menjelaskan tentang dua pandangan yang berbeda terhadap langkah penyelesaian suatu permasalahan. Pandangan yang pertama, bahwa suatu permasalahan hanya bisa diselesaikan dengan cara teknis, dan pandangan kedua suatu permasalahan tidak selalu bisa diselesaikan dengan cara teknis bahkan hasilnya justru akan lebih memperburuk situasi, untuk itu cara-cara non teknis akan menjadi langkah penyelesaian yang lebih baik.

Jenis permasalahan yang ditampilkan adalah peningkatan kekuatan militer (persenjataan) yang diikuti dengan melemahnya kekuatan nasional. Langkah penyelesaian dari permasalahan ini tidak bisa ditempuh dengan cara teknis (mis. Senjata dilawan senjata) hal ini yang dimaksudkan justru akan memperburuk situasi keamanan nasional. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara teknis yaitu suatu permasalahan yang hanya membutuhkan langkah penyelesaian secara teknis dan ilmu pengetahuan murni, tanpa cenderung atau tidak sama sekali memperhitungkan nilai-nilai kemanusiaan atau ide-ide secara moralitas.

Untuk itu, penyelesaian secara non teknis adalah langkah penyelesaian yang paling tepat karena pelaku perang adalah manusia yang perlu pendekatan secara manusiawi dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan ide-ide secara moralitas. Contoh sederhana yang diberikan oleh Garret Hardin (1968) yaitu permainan tick-tack toe. Yaitu bagaimana kita dapat memenangkan, jika lawan kita memang adalah lawan yang tangguh, secara teknis kita tidak mungkin menang. Hal ini adalah sebuah permasalahan dan permasalahan ini tudak bisa diselesaikan dengan cara teknis, tetapi bisa diselesaikan dengan masalah non teknis, artinya bahwa kita dapat memenangkan permainan dengan melibatkan semangat, tanpa beban, dan akhirnya mungkin kita dapat memenangkan permainan. Aplikasinya bisa kita kenakan pada permasalahan pertumbuhan penduduk yang penyelesaiannya adalah dengan menggunakan penyelesaian non teknis dan bukan teknis seperti : membuat sawah di laut atau membuat benih gandum terbaru.

KAITANNYA DENGAN MANAJEMEN KELAUTAN

Kaitan dengan ilmu manajemen kelautan terletak pada permasalahan pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Setiap sektor atau institusi dan stakeholder lainnya sama-sama merasa memiliki hak dan kewenangan pada ruang tertentu di pesisir, sehingga aktivitas akan overleaping (tumpang tindih) atau bahkan saling bertentangan, yang bisa berakibat buruk pada keberadaan ruang pesisir tersebut.

Misalnya ekosistem hutan bakau, bagi Dinas Perikanan dan Kelautan akan digunakan sebagai lahan tambak udang dengan konversi lahan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan menjadikannya wilayah konservasi, Dinas Kehutanan ingin rehabilitasi bakau, masyarakat sekitar ingin menjadikannya lahan mencari nafkah. Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara teknis, misalnya pembagian lahan, karena keterbatasan lahan itu sendiri. Tetapi permasalahan ini diselesaikan dengan meningkatkan koordinasi antar sektor untuk menjadikan pesisir sebagai wilayah perencanaan, pengelolaan dan evaluasi secara terpadu (terintegrasi) termasuk didalamnya melibatkan masyarakat.

APA YANG AKAN KITA MAKSIMALKAN ?

Menurut teori Malthus bahwa pertambahan penduduk adalah bersifat alami, dan apabila jumlah akan bertambah terus (eksponensial) maka akan terjadi banyak permasalahan sosial dan kahabisan makanan karena bumi memiliki keterbatasan dalam penyediaan lahan dan makanan.
Keterbatasan bumi hanya dapat mendukung populasi penduduk yang terbatas; oleh karena itu, pertumbuhan populasi penduduk harus pada titik 0. Hal ini menentang teori Bentham yang mengatakan bahwa jika manusia yang banyak pasti akan mampu juga untuk menyediakan setiap kebutuhannya. Dengan alasan bahwa sumberdaya di bumi adalah bersifat habis dan terbatas, eksploitasi yang berlebihan bahkan akan mengakibatkan punahnya sumberdaya itu. Untuk itu, lonjakan pertumbuhan penduduk dapat diatasi dengan pengontrolan kepentingan individunya dan akan menghasilkan pertumbuhan penduduk yang optimum.

KAITANNYA DENGAN MANAJEMEN KELAUTAN

Kaitannya terletak pada pandangan kita pada sumberdaya ikan di laut, yang mungkin anggapan sebagian orang sebagai sumberdaya yang tidak terbatas jumlahnya. Eksploitasi yang berlebihan adalah dipicu dengan permintaan akan ikan yang tinggi, berhubungan dengan pertambahan penduduk atau berkurangnya sumber daya di daratan.

Dilematis antara peningkatan teknologi alat tangkap untuk tujuan meningkatkan produksi hasil tangkap dengan sumberdaya ikan yang semakin habis. Salah satu upaya non teknis untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan pengontrolan kepentingan individu atau kelompok terhadap sumber daya agar mengambil pada standar-standar yang wajar. Hal ini juga, bisa dipertegas dengan beberapa aturan pemerintah.

TRAGEDI KEBEBASAN DALAM KEPEMILIKAN BERSAMA

“Tragedy of the common (tragedi kepemilikan bersama)” menggunakan kata tragedi sebagai pandangan para filosofi yang sering menggunakannya. “Inti dari drama tragedi ini tidaklah bahagia. Ketidakbahagiaannya terletak pada kekejaman dalam bekerja untuk merebut sesuatu.
Tragedy of the common terjadi seperti gambaran sebuah padang rumput yang terbuka untuk semua. Tanpa pengecualian setiap pengembala dapat menjaga beberapa lembunya pada wilayah yang dianggap milik bersama itu. Seperti pekerjaan yang dilakukan atas alasan memenuhi kepuasan yang tertunda selama berabad-abad karena perang suku, perburuan liar dan penyakit bagi manusia serta hewan liar yang sangat tergantung pada daya dukung-ketersediaan lahan. Akhirnya, bagaimanapun, tiba saatnya perhitungan-perhitungan dengan tujuan memenuhi nafsu untuk keutuhan sosial menjadi kenyataan. Pada point ini, logika yang melekat pada “milik bersama” adalah kekejaman, kerakusan yang menghasilkan sebuah tragedi.

Secara rasional, setiap penggembala akan mencari keuntungan yang maksimal. Secara eksplisit atau implisit, sadar atau tidak, ia berkata, “Apa manfaatnya untuk saya jika menambah satu atau lebih penggembalaan saya?” Anggapan ini mempunyai hal yang positif dan negatif.

1. Hal yang positif adalah bertambahnya jumlah hewan gembalaan. Setelah penggembala menerima semua hasil dari penjualan penambahan hewan gembalaan tersebut, manfaat positif + 1.
2. Hal yang negatif adalah bertambahnya pemanfaatan rumput (overgrazing).

Kira-kira secara logika, milik bersama telah dipahami sejak lama, mungkin sejak ditemukannya pertanian atau penyediaan lahan (tanah) pribadi untuk real estate. Tetapi ia dipahami hanya untuk kasus-kasus khusus yang tidak cukup untuk diambil pelajarannya bagi generasi berikutnya. Bahkan pada akhir sekarang ini, penyewaan lahan peternakan di tanah Negara di Western menunjukkan tidak lebih dari sebuah pemahaman yang bertentangan, antara kebijakan pemerintah federal untuk meningkatkan pendapatan Negara dengan terjadinya overgrazing yang memicu erosi dan dominasi tumbuhnya rumput liar.

KAITANNYA DENGAN MANAJEMEN KELAUTAN

Sumber daya Pesisir dan Laut di dunia terus dieksploitasi sehingga mengganggu keberlanjutannya. Hal ini terjadi akibat philosopi (pemahaman) yang salah tentang Milik Bersama. Negara-negara maritim merespon dengan baik semboyan dari “kebebasan di laut”. Dan menyatakan pemahaman bahwa “lautan memiliki sumberdaya yang tidak terbatas” mengambil spesies-spesies lainnya setelah ikan dan paus mendekati kepunahan.
Pesisir dan laut dianggap sebagai milik bersama, dengan menganggap bahwa siapa saja dapat dengan bebas mengeksploitasi hanya dengan syarat memiliki peralatan yang memadai untuk mengeksploitasinya, sehingga hal ini mengakibatkan perlombaan yang tidak sehat, berdampak pada kerusakan dan kepunahan sumberdaya ikan di laut.


POLUSI

Pada kasus lain, Tragedy of the Common diperlihatkan pada permasalahan polusi. Seperti limbah, bahan-bahan kimia, radioaktif, dan limbah panas yang masuk ke perairan; gas beracun dan asap berbahaya yang mencemari udara; dan mengacaukan serta menghalangi rambu-rambu dari pandangan.

Perhitungan manusia secara rasional bahwa biaya limbah jika dibuang ke area milik bersama (common) adalah lebih rendah dari biaya pengolahan limbah sebelum dibuang. Semenjak pendapat ini benar untuk setiap orang, kita telah terperangkap dalam suatu sistem “kecurangan dalam Sarang kita sendiri,” selanjutnya kita hanya bersikap seakan-akan tidak bersalah, rasional dan bertindak seperti pengusaha yang bebas berbuat apa saja.

Kita tidak memiliki langkah-langkah maju sejauh ini menemukan solusi permasalahan polusi. Permasalahan polusi adalah konsekuensi dari pertambahan populasi penduduk. Saya tidak tahu apa-apa bagaimana orang-orang Amerika di perbatasan membuang sampahnya. “Biar air yang membersihkannya sendiri,” kakek saya selalu mengatakannya begitu, dan mitos ini cukup kuat kebenarannya saat ia masih anak-anak, selama belum banyak orang-orang. Tetapi populasi penduduk menjadi tumbuh pesat, bahan-bahan kimia dan biologi yang mengalami proses recycling menjadi bertambah, hak kepemilikan harus didefinisikan kembali.

KAITANNYA DENGAN MANAJEMEN KELAUTAN
Polusi adalah juga permasalahan di pesisir. Pesisir yang merupakan daerah peralihan antara daratan dan lautan sangat rentan terhadap pengaruh polusi, karena segala aktivitas di daratan (upland) akan berujung di pesisir seperti limbah pabrik, sedimentasi, bahan-bahan organik dan non organik serta sampah manusia (waste).
Hal ini bisa terjadi karena kita menganggap pesisir dan laut adalah milik bersama (common) sehingga siapa saja dapat membuang limbahnya ke pesisir dan laut. Inilah kemudian yang dimaksudkan bahwa pesisir dan laut sebagai “keranjang sampah”.

BAGAIMANA MENGATUR KESEDERHANAAN?

Analisis permasalahan polusi adalah salah satu fungsi menganalisis kepadatan penduduk yang tidak secara bersama menggunakan prinsip-prinsip moralitas, yang dinamakan: Moralitas dari sebuah tindakan adalah sebuah fungsi yang diatur oleh Negara atau sistem yang dibentuk pada suatu waktu tertentu. Menggunakan barang milik bersama seperti sebuah sumur tidak berbahaya secara bersama bagi masyarakat asalkan masih dibawah kondisi-kondisi yang wajar, tetapi karena ini adalah bukan untuk publik; prilaku yang sama terjadi di perkotaan tidak dapat terhindarkan. Seratus lima puluh tahun lalu seorang pengembara dapat membunuh seekor bison Amerika, hanya dengan memotong lidahnya untuk makan malam, dan membuang sisanya untuk hewan lain. Ia merasa tidak begitu penting dengan sifat pemborosannya itu. Tapi hari ini, hanya beberapa bison yang tertinggal, kami akan merasa khawatir dengan prilaku-prilaku seperti itu.

Moralitas adalah sistem yang sensitif untuk memahami prilaku etika pada masa lalu. “Halaman Keakuan pada Tragedi of The Commons, oleh Garret Hardin 1968) halaman 5 sampai 13 http://dieoff.org/page95.htm%203/26/2008 tidak akan...” adalah bentuk etika tradisional yang ditunjukkan dengan tidak diizinkannya mengambil barang-barang tertentu pada lingkungan sekitarnya.

Aturan-aturan sosial kami mengikuti pola-pola etika zaman purbakala dan oleh karena itu kurang cocok untuk mengatur sesuatu yang kompleks, keramaian, perubahan-perubahan didunia yang terus berlanjut. Penyelesaian-penyelesaian tradisional kami digunakan untuk digabungkan dengan undang-undang administrasi menjadi status perundang-undangan yang resmi. Semenjak cara-cara praktis tidak mungkin lagi digunakan untuk menanggulangi ledakan sampah saat ini atau menangani kendaraan bermotor tanpa pengawasan asap, dengan undang-undang yang diturunkan secara detail kepada jajaran birokrasi (pelaksana undang-undang).

KAITANNYA DENGAN MANAJEMEN KELAUTAN

Pemborosan sumberdaya yang terjadi pada zaman purbakala memang belum begitu merisaukan karena jumlah sumberdaya yang melimpah, tetapi seiring dengan pertambahan penduduk maka akan terjadi over eksploitasi. Untuk itu diperlukan moralitas termasuk kemampuan memahami kondisi zaman dulu, yang sangat berbeda dengan kondisi sekarang.
Pesisir dan laut terdiri atas beberapa ekosistem penting bagi habitat biota perairan yang kondisinya semakin memperihatinkan. Maka kemudian sangat diperlukan kesadaran dan moralitas yang tinggi didalam pemanfaatannya. Selain itu perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan laut dapat juga dilakukan dengan pembuatan peraturan larangan.

KEBEBASAN MELAHIRKAN PENDERITAAN YANG AMAT BERAT

Tragedy of the Common melibatkan masalah populasi penduduk pada sisi yang lain. Banyak anak-anak dari sebuah keluarga tidak diperhatikan. Orang tua yang memeliharanya begitu gembira apabila mempunyai keturunan-keturunan (anak-cucu) yang lebih sedikit, tidak lebih, karena mereka tidak mampu untuk mendidik secukupnya. David Lack dan lainnya telah menemukan bahwa seperti sebuah umpan balik negatif yang ditunjukkan oleh kesuburan burung-burung. Tetapi manusia bukanlah burung, dan tidak bertindak seperti burung-burung itu untuk masa seribu tahun.

Jika setiap keluarga tergantung hanya pada sumberdaya; jika anak-anak dari orang tua pemboros menderita dan menuju kematian; jika demikian, pemeliharaan dengan cara berlebihan (boros) akan membawa “hukuman” nya ke penyakit karena kekurangan sumberdaya—kemudian tidak akan ada keinginan masyarakat luas untuk mengontrol keluarga-keluarga seperti itu. Tetapi masyarakat kita begitu dalam komitmennya untuk kemakmuran Negara, dan oleh sebab itu tragedy of the common diperhadapkan dengan aspek lainnya.

KAITANNYA DENGAN MANAJEMEN KELAUTAN

Kebebasan yang dimaksudkan disini adalah sifat tanpa beban dan tidak bertanggungjawab dalam pemanfaatan sumberdaya. sehingga lebih mengarah pada tindakan pemborosan. Bagaimanapun pemborosan adalah sifat yang merugikan. Apabila kita menerapkan sifat yang boros, maka kemungkinan besar anak-cucu kita tidak akan bisa menikmati sumberdaya yang ada sekarang ini.

Sumberdaya perikanan dan kelautan adalah sumberdaya masa depan, atau bisa dikatakan cadangan suplai makanan dikemudian hari dikala jumlah sumberdaya daratan sudah semakin terbatas jumlahnya. Tetapi jika pemanfaatannya tidak bijaksana maka justru akan menjadi bencana karena keseimbangan lingkungan terganggu. Untuk itu, sangat diperlukan pola hidup yang hemat sesuai dengan kebutuhan kita.

SUARA HATI NURANI ADALAH MENGHAPUSKAN PERMASALAHAN.

Adalah sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa kita dapat mengontrol penambahan umat manusia dalam jangka panjang melalui sebuah permohonan dari hati nurani. Charles Galton Darwin membuat point ini saat ia berbicara pada perayaan ulang tahun ke-seratus dari publikasi bukunya “kehebatan seorang kakek”. Argumennya adalah membeberkan teori Darwin ke depannya dan para pengikutnya.

Orang itu banyak macam dan berubah-ubah. Diperhadapkan dengan suara hati untuk membatasi keturunan, beberapa orang niscaya-nya akan menanggapinya lebih daripada lainnya. Mereka yang mempunyai banyak anak akan menghasilkan perpecahan yang besar pada generasi berikutnya daripada yang menerima hati nuraninya. Perbedaan-perbedaan ini akan menjadi terus mencuat dari generasi ke generasi.

KAITANNYA DENGAN MANAJEMEN KELAUTAN

Terkadang untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat manusia (keserakahan, apatis dan kemarahan) adalah dengan memohon melalui hati nurani. Ketika logika dan perdebatan tidak bisa merubah sikap seseorang, maka hati nurani diharapkan bisa berbicara.

Dalam manajemen kelautan, hal ini dapat dicontohkan dengan izin-izin pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Dimana seseorang atau badan hukum yang diberikan izin atau diberikan kewenangan tidaklah kemudian menjadikan kewenangannya itu dengan semena-mena, mengeksploitasi diluar yang diizinkan bahkan mungkin mengorbankan masyarakat sekitar. Jika hal ini terjadi, maka penyelesaiannya tidak lain adalah memohon untuk mengutamakan hati nurani.

K E S I M P U L A N

1. Tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan teknis tetapi terkadang membutuhkan suatu penyelesaian non teknis. Misalnya perebutan pemanfaatan ruang pesisir antara berbagai instansi, masyarakat dan stakeholder lainnya, dapat diselesaikan dengan konsep non teknis pengelolaan terpadu.

2. Tragedy of The Common dapat terjadi dilautan, apabila setiap orang menganggap bahwa laut adalah milik bersama. Dan secara beramai-ramai meningkatkan kapasitas dan kemampuan alat tangkapnya untuk meningkatkan hasil produksinya, dimana setiap orang beranggapan bahwa sumberdaya ikan adalah tetap ada dan tersedia.

3. Tragedy of The Common dapat juga terjadi pada permasalahan polusi. Dengan menganggap bahwa laut dan pesisir adalah milik bersama dan menjadikannya seperti keranjang sampah, dimana setiap orang bebas membuang limbah dan sampahnya tanpa memperdulikan akan akibat polusi yang akan diterima.

4. Tragedy of The Common dapat diselesaikan dengan menggunakan moralitas dan hati nurani, dikala perdebatan menemui jalan buntu maka akan dikembalikan kepada kesadaran pribadi. Seseorang yang tidak bisa menggunakan hati nuraninya dianggap sebagai seseorang yang memiliki penyakit jiwa.

5. Kebebasan yang tidak bertanggungjawab hanyalah mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan. Awalnya memang masih dianggap baik, tetapi dikala jumlah populasi penduduk meningkat, maka permasalahannya akan segera muncul.

6. Terkadang untuk menghindari tragedi pada barang kepemilikan umum harus ditempuh dengan cara pemaksaan seperti : pembuatan peraturan tentang larangan-larangan, pajak dan aturan-aturan non formal yang disepakati bersama oleh unsur masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...