Setiap tahunnya pada
tanggal 8 Juni diperingati sebagai Hari Kelautan Dunia (World Ocean Day). Penetapan
ini secara resmi dilakukan oleh PBB setelah mendapat usulan dalam Earth Summit (Konferensi Bumi) di Rio de
Jainairo, Brasil pada tanggal 8 Juni 1992.
Adapun negara yang memberikan ide pertama kali adalah Kanada, kemudian telah
diperingati untuk setiap tahunnya baik secara resmi maupun tidak resmi.
The Ocean Project dan the World Ocean Network dengan didukung oleh the global Forum on Oceans, Coasts and Islands sejak tahun 2003 telah mengadakan peringatan Hari Kelautan Dunia setiap tanggal 8 Juni. Jean Michel Constean, Ketua Ocean Future Society dan Ketua World Ocean Network Committee of Honorer telah mengawali mengenalkan Hari Kelautan Dunia ini ke PBB pada tahun 2003. Semua Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) tersebut telah berusaha untuk memperjuangkan masuknya kelautan sebagai faktor penting dalam pertemuan UNCCCP di Copenhagen, Denmark pada tahun 2009.
The Ocean Project dan the World Ocean Network dengan didukung oleh the global Forum on Oceans, Coasts and Islands sejak tahun 2003 telah mengadakan peringatan Hari Kelautan Dunia setiap tanggal 8 Juni. Jean Michel Constean, Ketua Ocean Future Society dan Ketua World Ocean Network Committee of Honorer telah mengawali mengenalkan Hari Kelautan Dunia ini ke PBB pada tahun 2003. Semua Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) tersebut telah berusaha untuk memperjuangkan masuknya kelautan sebagai faktor penting dalam pertemuan UNCCCP di Copenhagen, Denmark pada tahun 2009.
Pada peringatan pertama Hari Kelautan Dunia, Sekretaris
Jenderal PBB, Bam Ki-Moon, menyerukan ajakan untuk memperhatikan laut yang
telah berperan positif terhadap kehidupan umat manusia. Kita harus memahami pula tantangan yang
dihadapi untuk memelihara kemampuannya dalam “mengatur” iklim dunia, mendukung
berfungsinya ekosistem dan menyajikan mata pencaharian secara berkelanjutan,
serta lokasi rekreasi yang aman. Seruan
ajakan itu, didasari pada kondisi berbagai kegiatan manusia yang sudah mengarah
pada perusakan ekosistem laut, kegiatan over
fishing (tangkap lebih), pencemaran terhadap laut, dan kondisi
kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta kehidupan di laut
yang terancam oleh dampak perubahan iklim, seperti peningkatan suhu, naiknya
permukaan laut serta pengasaman di laut.
Lautan juga tidak terlepas dari kegiatan kejahatan seperti
bajak laut dan perampokan bersenjata yang mengancam keamanan angkutan kapal
internasional padahal transportasi arus barang didunia 90% adalah melalui
laut. Penyelundupan narkoba atau
‘penyelundupan manusia’ sebagai bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan,
kedamaian dan keamanan di laut.
Dengan melihat kompleksitas masalah di laut PBB telah
menghasilkan landasan hukum atau konvensi untuk mengatur kelautan diantaranya
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang telah
diratifikasi Indonesia melalui UU RI Nomor 17 tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS tersebut maka secara fisik
wilayah Indonesia didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih 75%.
Pada tahun 2012 ini, melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI tema peringatan Hari Kelautan Indonesia yaitu “pandangan politis terhadap bidang kelautan sebagai mainstream
pembangunan nasional”. Topik ini
dipilih karena dirasakan bahwa bidang kelautan masih diposisikan sebagai
“pinggiran” (peryphery) dan belum
menjadi prioritas pada aspek pemanfaatan dan fokus pembangunan. Sehingga potensinya yang begitu besar belum
maksimal dimanfaatkan karena belum menjadi “mainstream” dalam pembangunan
nasional. Sebagai negara Kepulauan
Terbesar di dunia dengan sebagian besar wilayahnya adalah perairan, maka
pembangunan kelautan harus ditempatkan sebagai mainstream pembangunan ekonomi
nasional untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia sebagai negara maritim. Sumber-sumber ekonomi kelautan seperti
sumberdaya ikan, non ikan (rumput laut, teripang), ekosistem (terumbu karang,
mangrove, padang lamun), pariwisata bahari dan hasil tambang (minyak dan gas,
bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral) dapat menjadi sumber utama
ekonomi nasional.
Perlu
mendapat perhatian bahwa alokasi dana pembangunan bidang kelautan masih
terkecil dibanding lainnya yaitu hanya 6,944 trilyun atau 0,49 % dari total
APBN tahun 2012 sebesar 1.418 trilyun itupun terbagi untuk pembangunan
perikanan darat dan perikanan laut (kelautan).
Hal ini masih sangat kecil untuk mengelola panjang pantai Indonesia
81.000 km, jumlah pulau 17.506 buah dan luas perairan sekitar 3,1 juta km2
(0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8 juta km2
perairan nusantara).
Menurut pandangan penulis pembangunan bidang kelautan yang
harus diprioritaskan dan menjadi mainstream
pada pembangunan nasional yaitu peningkatan kapasitas dan pemberdayaan
masyarakat pesisir termasuk para nelayan tangkap, pembudidaya dan pengolah
hasil laut. Mengapa demikian, karena jumlah
yang cukup besar penduduk di Indonesia yang bermukim di pinggiran pantai dan
pulau-pulau kecil pada kenyataannya adalah mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Menurut data BPS tahun 2010
bahwa dari 31,02 juta (13,33%) penduduk miskin, ada sekitar 7,87 juta (25,37%)
adalah masyarakat yang justru menggantungkan hidupnya di laut. Hal ini merupakan sesuatu yang ‘ironis’ jika
dipandang dengan segala potensi sumberdaya bidang kelautan yang ada.
Padahal masyarakat pesisir memegang peranan yang sangat
penting di bidang kelautan karena mereka yang melakukan eksploitasi langsung terhadap
sumberdaya pesisir dan laut dan keberadaan mereka dari aspek Hankamnas
merupakan wujud penegasan pengakuan NKRI terutama bagi mereka yang mendiami
pulau-pulau kecil terdepan. Menurut
teori sosio-ekologi bahwa orang miskin akan melakukan eksploitasi terhadap
sumberdaya alam yang ada dan menjadikannya sebagai “last resort” (upaya terakhir) dalam pemenuhan kebutuhannya dan
untuk mempertahankan kehidupan (survival
strategy) dikala tidak ada lagi peluang ekonomi yang dapat mereka
akses. Dan sayangnya tindakan yang
mereka lakukan tidak ramah lingkungan karena tidak didasari oleh knowledge (pengetahuan) tentang keberlanjutan
lingkungan. Tindakan ini sangat
mengkhawatirkan jika terjadi pada penduduk yang mendiami pulau-pulau terdepan
kita, karena ketika sumberdaya habis dieksploitasi mereka akan berpindah ke
tempat lain dan kondisi pulau akan kosong dan sangat rentan terhadap occupation (perampasan) dari negara
lain.
Oleh karena itu, pada saat
ini tugas pemerintah seyogyanya terus menciptakan program-program unggulan yang
berorientasi pada pemberdayaan dan peningkatan masyarakat pesisir yang tepat
sasaran dan sesuai dengan kebutuhan.
Fokus pola pemberdayaan berupa pemberian kemampuan agar masyarakat
pesisir dapat mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dengan bijaksana dan
dapat memberikan keberlanjutan kesejahteraan dan keseimbangan lingkungan. Asumsi ini timbul dengan pemikiran bahwa
masyarakat pesisir dapat sejahtera dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan
lautnya yang berlimpah sebagai karunia terbesar dari Tuhan Yang Maha Kuasa.