Oleh. Dr. Mohammad Saleh N.L, S.Pi, M.Si
Pemilihan serentak kepala daerah tahap ke-2 yang puncaknya pada tanggal 09 Desember 2020 menjelang usai. Alat bantu yang dianggap efektif untuk mengetahui lebih cepat pemenang pilkada yaitu hitung cepat (quick count) sudah dijadikan dasar untuk mengklaim kemenangan pasangan kandidat sembari menunggu penghitungan manual secara resmi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Tahapan terakhir, KPUD akan menetapkan pemenang pilkada secara resmi sekaligus menyerahkan konsep Visi dan Misi pasangan kepala daerah pemenang kepada daerahnya untuk menjadi rujukan pada perencanaan dan pembangunan daerah 5 (lima) tahun kedepannya.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa visi-misi kandidat terpilih akan menjadi basis rujukan untuk penyusunan rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya baik itu untuk RPJMD, RKPD maupun APBD. Lebih jelasnya pada Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJMN, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Oleh sebab itu, visi dan misi kandidat terpilih adalah sangat strategis menentukan arah pembangunan daerah ke depan. Kelemahan yang ada yaitu pada pembuatan visi dan misi kandidat yang dibuat sebagai salah satu dokumen persyaratan pencalonan kepala daerah kepada KPUD yang bertindak sebagai penyelenggara pemilihan umum. Karena visi dan misi sebagai salah satu syarat maka disiapkan oleh tim pemenangan atau tim sukses dengan belum melibatkan partisipasi masyarakat. Visi dan Misi berupa dokumen tersebut tidak akan diubah lagi selama berada di pihak KPUD sampai diserahkan kepada pihak pemerintah daerah. Hal ini memang tidak salah karena proses pemilu itu sendiri pada hakikatnya adalah “menjual” atau “menawarkan” ide dalam bentuk visi dan misi yang dianggap akan lebih baik atau mengubah situasi di masa yang akan datang menjadi lebih baik dari masa yang sekarang.
Menurut para ahli manajemen, visi adalah pandangan jauh ke depan tentang apa saja yang akan dicapai atau diraih untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan sedangkan misi adalah langkah-langkah yang harus dilaksanakan atau tindakan bersifat strategis untuk merealisasikan visi. Adapun dari aspek perencanaan visi yang dimaksud yaitu rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan pembangunan Daerah, sedangkan misi yaitu rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.
Momen masuknya partisipasi masyarakat pada visi dan misi tersebut, harus diselenggarakan dengan tahapan yang sempurna dan efektif untuk menjamin visi dan misi tersebut berdaya guna. Selama proses pilkada, para kontestan hanya memberikan “informasi” atau mensosialisasikan apa yang hendak mereka ingin ubah di masa-masa mendatang melalui konsep visi dan misi. Karena visi dan misi bukan lahir dari masyarakat maka terkadang muncul ketidakpedulian dari para konstituen (masyarakat). Ketertarikan hanya pada figur yang dianggap baik dan tidak baik tanpa melihat muatan visi dan misinya yang sebenarnya menjadi basis alokasi dan distribusi sumberdaya alam, SDM dan tentunya kebijakan pemanfaatan anggaran daerah.
Masa-masa pilkada hanya terfokus pada aspek kontestasi untuk pemenangan seseorang kandidat dan terkadang mengindahkan aspek alokasi SDA, SDM dan pemanfaatan anggaran serta distribusi sumberdaya infrastruktur. Memang tidak disangkal bahwa tahapan pilkada hanya sebatas sosialisasi visi misi program para kandidat kepala daerah. Sistem Pemilu dan proses depolitisasi mengkondisikan orang menjadi pemilih perseorangan. Masyarakat berperan sebagai individu pemilih tidak bergerak secara kolektif dengan mengorganisir diri untuk mengidentifikasi beragam kepentingan dan mendeliberasikan agenda kepentingan secara bersama. Di lain pihak, para kontestan pemilu berusaha meraih dukungan suara dengan menawarkan visi dan misi program yang disusun secara sepihak tadi dengan tidak melibatkan masyarakat. Untuk itulah peran dari tim sukses sangat penting dan harus jeli melihat pada sisi mana kebutuhan dan keinginan masyarakat belum terpenuhi.
Setiap individu masyarakat diharapkan menjadi pemilih cerdas yang harus memilih figur paripurna untuk menjadi kepala daerah sementara para kontestan harus menjadi figur yang dapat diterima dan diharapkan dengan visi-misi program yang sesuai dengan kepentingan masyarakat, padahal visi-misi program tersebut disusun tanpa proses deliberasi dengan warga. Dampaknya, kebijakan pembangunan kepala daerah terpilih tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kebutuhan riil masyarakat. Hal ini, bisa diantisipasi dengan dibuatkannya “kontrak politik” dengan para kandidat sebagai jaminan agar keinginan dan kepentingan sebagian masyarakat dapat dimasukkan ke dalam rancangan rencana pembangunan daerah apabila para kandidat itu terpilih nantinya. Tetapi cara ini, terkadang kurang efektif dikarenakan masyarakat yang berinisisasi melakukan kontrak politik hanyalah para golongan masyarakat yang ekslusif dengan memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Gap permasalahan tersebut dapat ditutupi dengan tahapan perencanaan pembangunan yang dikenal dengan “musrenbang”, sebagai momen mempertemukan visi-misi kepala daerah terpilih dengan usulan program dan kegiatan dari masyarakat. Visi-misi kepala daerah terpilih akan menjelma menjadi visi-misi pembangunan daerah yang secara derivatif menghasilkan Prioritas Pembangunan Daerah dan Program Prioritas Daerah. Prioritas Pembangunan Daerah biasanya tidak banyak yang merupakan gambaran strategi dari rumusan misi sedangkan Program Prioritas Daerah bersifat implementatif yang akan dilaksanakan oleh Perangkat Daerah sebagai pembantu penyelenggaraan pemerintahan.
Tahapan keterpaduan antara Visi-misi kepala daerah terpilih dengan proses perencanaan pembangunan berbasis masyarakat diawali dengan sebuah konsep awal yang disebut Rancangan Teknokratik (RT) RPJMD. RT RPJMD yaitu rancangan dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan yang disiapkan oleh pemerintah Daerah dengan sepenuhnya menggunakan pendekatan teknokratik sebelum terpilihnya Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. Pendekatan teknokratik berkaitan dengan profesionalisme dan keahian dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah. Berdasarkan definisnya RT RPJMD dibuat paling tidak 6 (bulan) sebelum kepala daerah terpilih dilantik sehingga isi dari RT RPJMD tersebut tidak diketahui oleh kepala daerah terpilih. Selain pendekatan teknokratik maka pendekatan partisipatif adalah tuntutan berikutnya yang merupakan upaya melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam proses perencanaan pembangunan.
Sesuai dengan Permendagri No. 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian & Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Perda Tentang RPJPD & RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD & RKPD. Rancangan Teknokratik disiapkan oleh perangkat daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dengan melibatkan seluruh perangkat daerah yang berperan menyiapkan program-program dan kegiatan-kegiatan prioritas daerah yang juga akan menjadi pendukung tercapainya visi-misi kepala daerah.
Rancangan Teknokratik RPJMD yang dimaksud berisikan tentang analisis gambaran umum kondisi daerah, perumusan gambaran keuangan daerah, perumusan permasalahan pembangunan daerah, penelaahan dokumen perencanaan yang terkait dan perumusan isu strategis. Substansi RT RPJMD terletak pada 3 (tiga) hal yaitu gambaran kapasitas keuangan daerah, permasalahan pembangunan dan menjaring isu-isu strategis kewilayahan. Ketiga hal tersebut, harus dijaring dari kabupaten/kota dan seluruh perangkat daerah provinsi melalui Forum Konsultasi. Kapasitas keuangan daerah merupakan proyeksi kemampuan penganggaran pada masa akan datang dengan memperkirakan sumber-sumber pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah, adapun permasalahan pembangunan yaitu analisis dari semua permasalahan yang ditemui pada periodisasi yang lalu, selanjutnya isu-isu strategis yaitu analisis atau sintesa permasalahan yang diprediksikan akan ditemui pada 5 (lima) tahun mendatang baik secara global (dunia), nasional, regional Sulawesi dan skala daerah Sulawesi Tengah.
Penyusunan RT RPJMD harus disusun dan dibahas oleh tim penyusun Bersama dengan Perangkat Daerah untuk memperoleh masukan dan saran sesuai dengan tugas dan fungsi perangkat daerah. Masukan dan saran dirumuskan dalam bentuk berita acara kesepakatan dan ditandatangani oleh Kepala Bappeda sebagai ketua tim dan Kepala-Kepala Perangkat Daerah. Tahapan selanjutnya yaitu mengawinkan antara RT RPJMD dengan visi-misi kepala daerah terpilih melalui asumsi bahwa penyempurnaan RT RPJMD berpedoman pada visi-misi dan program kepala daerah terpilih.
Setelah RT RPJMD disempurnakan dilanjutkan dengan menyusun Rancangan Awal RPJMD yang didalamnya telah termuat visi-misi kepala daerah terpilih. Rancangan Awal RPJMD akan dikonsultasikan ke Menteri Dalam Negeri dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah untuk memperoleh masukan. Selanjutnya Rancangan Awal RPJMD akan menjadi Rancangan RPJMD yang menjadi bahan pelaksanaan musrenbang. Musrenbang inilah yang dilaksanakan sebagai bentuk perencanaan dengan pendekatan partisipatif sehingga menjamin adanya keterpaduan (matching) antara visi-misi kepala daerah terpilih dengan kebutuhan dan keinginan para pemangku kepentingan. Selain itu, musrenbang bertujuan untuk penajaman, penyelerasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan dan program-program pembangunan daerah. Semoga dengan terpilihnya pemimpin yang baru, perwujudan daerah yang maju dan sejahtera akan segera tercapai.