Kamis, 26 Juli 2012

World Ocean Day: Kelautan Mainstream Pembangunan Nasional Oleh. M. Saleh N. Lubis

Tulisan ini telah di muat dalam KOLOM WACANA SUARA MERDEKA KORAN SEMARANG JAWA TENGAH tgl. 8 Juni 2012


Setiap tahunnya pada tanggal 8 Juni diperingati sebagai Hari Kelautan Dunia (World Ocean Day).  Penetapan ini secara resmi dilakukan oleh PBB setelah mendapat usulan dalam Earth Summit (Konferensi Bumi) di Rio de Jainairo, Brasil pada tanggal 8 Juni 1992.  Adapun negara yang memberikan ide pertama kali adalah Kanada, kemudian telah diperingati untuk setiap tahunnya baik secara resmi maupun tidak resmi.


The Ocean Project dan the World Ocean Network dengan didukung oleh the global Forum on Oceans, Coasts and Islands sejak tahun 2003 telah mengadakan peringatan Hari Kelautan Dunia setiap tanggal 8 Juni.  Jean Michel Constean, Ketua Ocean Future Society dan Ketua World Ocean Network Committee of Honorer telah mengawali mengenalkan Hari Kelautan Dunia ini ke PBB pada tahun 2003.  Semua Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) tersebut telah berusaha untuk memperjuangkan masuknya kelautan sebagai faktor penting dalam pertemuan UNCCCP di Copenhagen, Denmark pada tahun 2009.

Pada peringatan pertama Hari Kelautan Dunia, Sekretaris Jenderal PBB, Bam Ki-Moon, menyerukan ajakan untuk memperhatikan laut yang telah berperan positif terhadap kehidupan umat manusia.  Kita harus memahami pula tantangan yang dihadapi untuk memelihara kemampuannya dalam “mengatur” iklim dunia, mendukung berfungsinya ekosistem dan menyajikan mata pencaharian secara berkelanjutan, serta lokasi rekreasi yang aman.  Seruan ajakan itu, didasari pada kondisi berbagai kegiatan manusia yang sudah mengarah pada perusakan ekosistem laut, kegiatan over fishing (tangkap lebih), pencemaran terhadap laut, dan kondisi kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta kehidupan di laut yang terancam oleh dampak perubahan iklim, seperti peningkatan suhu, naiknya permukaan laut serta pengasaman di laut.

            Lautan juga tidak terlepas dari kegiatan kejahatan seperti bajak laut dan perampokan bersenjata yang mengancam keamanan angkutan kapal internasional padahal transportasi arus barang didunia 90% adalah melalui laut.  Penyelundupan narkoba atau ‘penyelundupan manusia’ sebagai bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan, kedamaian dan keamanan di laut.
            Dengan melihat kompleksitas masalah di laut PBB telah menghasilkan landasan hukum atau konvensi untuk mengatur kelautan diantaranya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU RI Nomor 17 tahun 1985.  Berdasarkan UNCLOS tersebut maka secara fisik wilayah Indonesia didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih 75%.
            Pada tahun 2012 ini, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tema peringatan Hari Kelautan Indonesia yaitu “pandangan politis terhadap bidang kelautan sebagai mainstream pembangunan nasional”.  Topik ini dipilih karena dirasakan bahwa bidang kelautan masih diposisikan sebagai “pinggiran” (peryphery) dan belum menjadi prioritas pada aspek pemanfaatan dan fokus pembangunan.  Sehingga potensinya yang begitu besar belum maksimal dimanfaatkan karena belum menjadi “mainstream” dalam pembangunan nasional.  Sebagai negara Kepulauan Terbesar di dunia dengan sebagian besar wilayahnya adalah perairan, maka pembangunan kelautan harus ditempatkan sebagai mainstream pembangunan ekonomi nasional untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia sebagai negara maritim.  Sumber-sumber ekonomi kelautan seperti sumberdaya ikan, non ikan (rumput laut, teripang), ekosistem (terumbu karang, mangrove, padang lamun), pariwisata bahari dan hasil tambang (minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral) dapat menjadi sumber utama ekonomi nasional.
Perlu mendapat perhatian bahwa alokasi dana pembangunan bidang kelautan masih terkecil dibanding lainnya yaitu hanya 6,944 trilyun atau 0,49 % dari total APBN tahun 2012 sebesar 1.418 trilyun itupun terbagi untuk pembangunan perikanan darat dan perikanan laut (kelautan).  Hal ini masih sangat kecil untuk mengelola panjang pantai Indonesia 81.000 km, jumlah pulau 17.506 buah dan luas perairan sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8 juta km2 perairan nusantara).
            Menurut pandangan penulis pembangunan bidang kelautan yang harus diprioritaskan dan menjadi mainstream pada pembangunan nasional yaitu peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat pesisir termasuk para nelayan tangkap, pembudidaya dan pengolah hasil laut.  Mengapa demikian, karena jumlah yang cukup besar penduduk di Indonesia yang bermukim di pinggiran pantai dan pulau-pulau kecil pada kenyataannya adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.  Menurut data BPS tahun 2010 bahwa dari 31,02 juta (13,33%) penduduk miskin, ada sekitar 7,87 juta (25,37%) adalah masyarakat yang justru menggantungkan hidupnya di laut.  Hal ini merupakan sesuatu yang ‘ironis’ jika dipandang dengan segala potensi sumberdaya bidang kelautan yang ada.
            Padahal masyarakat pesisir memegang peranan yang sangat penting di bidang kelautan karena mereka yang melakukan eksploitasi langsung terhadap sumberdaya pesisir dan laut dan keberadaan mereka dari aspek Hankamnas merupakan wujud penegasan pengakuan NKRI terutama bagi mereka yang mendiami pulau-pulau kecil terdepan.  Menurut teori sosio-ekologi bahwa orang miskin akan melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang ada dan menjadikannya sebagai “last resort” (upaya terakhir) dalam pemenuhan kebutuhannya dan untuk mempertahankan kehidupan (survival strategy) dikala tidak ada lagi peluang ekonomi yang dapat mereka akses.  Dan sayangnya tindakan yang mereka lakukan tidak ramah lingkungan karena tidak didasari oleh knowledge  (pengetahuan) tentang keberlanjutan lingkungan.  Tindakan ini sangat mengkhawatirkan jika terjadi pada penduduk yang mendiami pulau-pulau terdepan kita, karena ketika sumberdaya habis dieksploitasi mereka akan berpindah ke tempat lain dan kondisi pulau akan kosong dan sangat rentan terhadap occupation (perampasan) dari negara lain.
Oleh karena itu, pada saat ini tugas pemerintah seyogyanya terus menciptakan program-program unggulan yang berorientasi pada pemberdayaan dan peningkatan masyarakat pesisir yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan.  Fokus pola pemberdayaan berupa pemberian kemampuan agar masyarakat pesisir dapat mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dengan bijaksana dan dapat memberikan keberlanjutan kesejahteraan dan keseimbangan lingkungan.  Asumsi ini timbul dengan pemikiran bahwa masyarakat pesisir dapat sejahtera dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan lautnya yang berlimpah sebagai karunia terbesar dari Tuhan Yang Maha Kuasa.


Jumat, 13 April 2012

Ketimpangan Jurnal Ilmiah (Sebuah Desakan Bagi Institusi Pendidikan?)


Pada tanggal 27 Januari 2012 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Dirjen Pendidikan Tingginya telah mengeluarkan sebuah surat edaran yang ditujukan kepada seluruh rektor dan pimpinan PTN dan PTS seluruh Indonesia.  Surat edaran yang bernomor 152/E/T/2012 perihal publikasi karya ilmiah ini ternyata dalam implementasinya dianggap dapat menimbulkan kontroversi dikalangan mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi di Indonesia.
            Kontroversi itu berasal dari ketentuan yang diberikan melalui surat edaran tersebut dimana mengharuskan kepada seluruh mahasiswa yang akan lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi dikti dan untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.  Ketentuan yang mulai diberlakukan bagi calon wisudawan yang lulus setelah bulan Agustus 2012 ini dipandang memberatkan karena banyaknya kendala yang harus dihadapi nantinya.
Dasar pembuatan surat memang berasal dari ‘keprihatinan’ tentang jumlah karya ilmiah dari PT Indonesia yang masih teramat rendah.  Dicontohkan bahwa jumlah karya ilmiah Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia hanya sekitar sepertujuh.  Lalu apakah dengan strategi ini akan mendorong banyak mahasiswa untuk melakukan penelitian dan menghasilkan karya-karya ilmiah atau justru menjadi hambatan bagi prasyarat jumlah kelulusan PT atau malah menjadi syarat administrasi belaka yang menghasilkan karya-karya ilmiah yang tidak memandang kualitas.

Hambatan
Hambatan yang ditemui dikala ketentuan diterapkan yaitu ketersediaan media jurnal ilmiah yang memenuhi syarat dan dapat menampung karya ilmiah dari seluruh mahasiswa Indonesia PTN/PTS, karena setiap perguruan tinggi  di propinsi, kabupaten dan kota rata-rata hanya memiliki 1 buah jurnal terakreditasi nasional untuk setiap fakultasnya sedangkan jumlah lulusan yang akan dihasilkan melebihi dari kapasitas jumlah halaman jurnal ilmiah.  Hambatan lainnya yaitu kemauan dan kemampuan menulis mahasiswa masih sangat rendah karena keterampilan untuk menulis ilmiah memang tidak diajarkan khusus disamping harus menyiapkan tugas akhir seperti skripsi, tesis ataupun disertasi sehingga dianggap akan menjadi hambatan pada pencapaian target tahun penyelesaian studi.  Selain itu, proses dalam pemuatan hasil karya ilmiah dalam sebuah jurnal memerlukan waktu yang lama karena setiap penerbitan memerlukan proses yang disebut peer review dimana apabila dalam proses review tersebut ditemukan kesalahan penulisan atau dianggap plagiat maka dapat dikembalikan untuk diperbaiki kembali sampai kesempurnaannya.  Khusus untuk jurnal internasional dipandang lebih memberatkan lagi karena mengharuskan karya ilmiah untuk dituliskan dalam Bahasa Inggris.  Gaya penulisan dengan bahasa inggris tentunya berbeda dengan berbahasa Indonesia sehingga diperlukan lagi tata cara penulisannya yang diajarkan di kampus tentunya dalam meningkatkan kualitas mahasiswanya setara dengan mahasiswa skala dunia.
Memang dibenarkan bahwa budaya penelitian dan menulis seharusnya tumbuh dan merupakan akar dari dunia kampus, tetapi pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa munculnya permasalahan ini akibat dari rendahnya hasil penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh para dosen sebagai komponen inti dunia kampus.  Dan dengan adanya ketentuan ini, maka tugas dosen selaku pengajar dimunculkan lagi yaitu bagaimana mendorong dan mengarahkan setiap mahasiswa bimbingannya untuk dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah disamping dirinya untuk melakukannya.  Kemampuan dari mahasiswa amat tergantung dari kemampuan dosennya.

Perhatian Dikti dan Universitas
            Sedikit kritis kita mengatakan bahwa pemenuhan jurnal ilmiah seyogyanya dilakukan oleh para staf pengajar di perguruan tinggi yang notabene secara rutin mengadakan dan menampung hasil-hasil penelitian secara aktif sebagai bukti pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.  Dimana dosen wajib untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU  Nomor  14  Tahun  2005  tentang  Guru  dan Dosen pada Bab  1 Pasal  1 ayat  2 yang menyatakan bahwa Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.   Realitanya dari tiga tugas pokok tersebut maka kegiatan penelitian adalah paling sulit untuk dilaksanakan, dan mengakibatkan kemampuan mahasiswa juga akan rendah.  Dua kelemahan yang sering dimiliki oleh mahasiswa umumnya yaitu kemampuan research method (metode penelitian) dan kemampuan berbahasa asing yang ternyata merupakan modal utama untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah.
            Perbedaan pola pendidikan di Indonesia dan di luar negeri adalah pada pembagian tugas dosen untuk pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi tersebut.  Jika di luar negeri maka dosen tugas pengabdian akan berbeda dengan dosen tugas pendidikan demikian juga dengan dosen tugas penelitian, sharing ilmu akan dilakukan di forum diskusi untuk saling melengkapi.  Hal ini berbeda dengan di Indonesia dimana dosen menerima beban untuk sekaligus melakukan tiga aktivitas tersebut ditambah dengan kecenderungan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di luar kampus seperti di swasta dan pemerintahan.  Alhasil tugas pokok akan terbengkalai apalagi ingin memberikan perhatian, memotivasi dan membimbing mahasiswa dalam menghasilkan sebuah karya ilmiah.
            Untuk itu, diperlukan perhatian dari Kemendikbud lewat dikti untuk menetapkan sebuah sistem yang bersifat penyeimbang dalam menyelesaikan ketertinggalan kita tentang karya ilmiah ini dan memang hendaknya apabila sebuah kebijakan diterapkan maka harus diikuti dengan perubahan sistem dari yang mengeluarkan kebijakan itu karena menjadi patokan dan ukuran untuk terselesaikannya permasalahan yang ada.
            Demikian juga perhatian dari PT untuk menerapkan sistem yang lebih disiplin kepada setiap staf pengajarnya untuk melakukan tugas pokoknya atau beban kerja dosen dan mengevaluasi pelaksanaan tri dharma perguruan tingginya.  Yang menarik dan patut untuk dicontohi yaitu pola pendidikan yang diterapkan di institusi pendidikan AS yang memandang tentang pentingnya suatu hasil penelitian dari kalangan kampus oleh karena itu PT menerapkan aturan yang disebut “publish or perish” terbitkan atau binasakan.  Seorang dosen atau professor harus mampu mengajar dan juga mempublikasikan karya ilmiah pada waktu tertentu dan jika kualitas itu tidak terpenuhi maka pihak PT dapat memberhentikan pengajar tersebut kapan saja (Mutohar, A.  2012).

Kegunaan Karya Ilmiah
            Bagaimanapun kita menyambut positif, kebijakan yang dikeluarkan oleh Dikti sebagai suatu stimulant (perangsang) bagi tumbuhnya minat dan budaya menulis di kalangan dosen dan seluruh mahasiswa di Indonesia.  Paling tidak ini dapat berfungsi sebagai “jaring” yang selektif untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang berkualitas dan mumpuni di dalam bidangnya dan menghindari bentuk pola pendidikan yang tidak berasaskan pada keilmuan dan teknologi.
            Hasil karya ilmiah yang memiliki kegunaan metodologis dan pengembangan pembangunan dan masyarakat ternyata sangat berdampak pada kemajuan ekonomi suatu bangsa, dari data UNESCO dan OECD menyebutkan bahwa budaya penelitian sebuah Negara berbanding lurus terhadap kemajuan ekonomi sebuah Negara.  Dan memberikan dampak pada perluasan jutaan lapangan kerja.  Ini terjadi apabila karya ilmiah yang dihasilkan adalah berkualitas dan menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan.  Sebagai contoh, The University of Texas at Austin  dari hasil penelitian dan inisiatif pihak universitas untuk membuka pusat penelitian dan pabrik baru yang bisa membuka jutaan lapangan kerja dapat memberikan dampak 7,4 miliar dolar amerika terhadap ekonomi lokal dan nasional (Mutohar, A.  2012).

Rewards
            Untuk memacu motivasi meneliti  dan menulis dikalangan mahasiswa hendaknya tidak terbatas pada prasyarat kelulusan saja tetapi dapat diberikan rewards atau penghargaan terhadap apa yang sudah dilakukan misalnya dengan memasukkanya keberhasilan karya ilmiah sebagai kategori untuk menjadi mahasiswa berprestasi.  Bahkan jika bisa pihak universitas dapat memfasilitasi pengurusan royalti sebagai bentuk HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) atas hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasi dan bernilai terapan dan teknologi tepat guna.  
            Demikian juga untuk para staf pengajar yang memiliki produktifitas tinggi dalam menghasilkan karya-karya ilmiah hendaknya menjadi perhatian pihak PT dengan memberikan fasilitas penelitian dan penghargaan-penghargaan yang bersifat lebih memotivasi dan bahkan mendorong tingkat kesejahteraan para staf pengajar tersebut.
            Atas dasar tersebut, semoga ratusan perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta dapat melakukan berbagai penelitian dan menghasilkan karya-karya ilmiah yang berkualitas dan dapat menjadi pijakan rekomendasi teknologi dan kebijakan untuk pengembangan pembangunan di Negeri Indonesia tercinta ini yang tepat sasaran menjawab semua kebutuhan masyarakat.  

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...