Sabtu, 12 Desember 2015

PENINJAUAN KEMBALI (PK) RTRWN KEPULAUAN TOGEAN JADI TAMAN NASIONAL

Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

Sampai saat ini, status Kepulauan Togean secara de facto masih belum jelas.  Apakah masih berstatus Taman Wisata Alam Laut sesuai dengan PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ataukah berstatus Taman Nasional Laut sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.  Ditambah lagi realisasi penyerahan kewenangan pengelolaan Kepulauan Togean antar kementerian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan belum benar-benar terlaksana.
Secara de jure, sebenarnya status Kepulauan Togean dari Taman Wisata Alam Laut telah diubah menjadi Taman Nasional Laut dengan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.  Oleh karena itu, pada awal Bulan November lalu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN melakukan Konsultasi Publik (KP) untuk meninjau kembali penyusunan RTRWN atau PP No. 26 tahun 2008 tersebut.  Permasalahan yang ditemui yaitu sosialisasi resmi perubahan status ini melalui undang-undang yang telah dikeluarkan semenjak tahun 2014, belum dilakukan, baik kepada pemerintah Kabupaten Tojounauna maupun masyarakat Kepulauan Togean.  Informasi yang diketahui hanya melalui rapat-rapat teknis dan pembahasan yang menyangkut pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga secara substantial perubahan status kemungkinan belum diketahui oleh masyarakat secara luas. 
Pemerintah kabupaten ternyata telah lama menindaklanjuti PP No. 26 tahun 2008 dengan membuat peraturan daerah tentang pengelolaan Kepulauan Togean sebagai Kawasan Wisata Alam Laut sehingga perubahan-perubahan status dikhawatirkan akan memberikan dampak bagi masyarakat Kepulauan Togean terutama terkait perubahan pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung maupun keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kegiatan wisata bahari.  Salah satu point penting dalam sosialisasi adalah bagaimana perbedaan antara status kawasan wisata alam laut dan taman nasional laut.  Jika mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka definisi taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam sedangkan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi.  Dari 2 definisi tersebut, mengandung makna prinsip yang berbeda antara taman wisata alam dan taman nasional yaitu pada peruntukkan kawasan dan pada pengelolaannya. 
Peruntukkan kawasan pada taman wisata alam laut ditujukan khusus hanya satu pemanfaatan atau satu jenis kegiatan yaitu pariwisata atau rekreasi bahari dengan tetap memperhatikan kelestarian dan konservasi sumberdaya alam yang dikenal dengan ekowisata bahari atau wisata dengan pendekatan ekosistem.  Ekowisata bahari juga tetap memperhatikan kesejahteraan penduduk setempat.  Penduduk dapat terlibat langsung dalam kawasan wisata terutama kegiatan-kegiatan yang menunjang pariwisata seperti penyediaan fasilitas cottage, rumah makan, penyewaan alat selam dan boat wisata, pemandu wisata hingga pada pengelolaan kebersihan dan keamanan.  Dengan demikian dapat memberikan dampak positif pada peningkatan pendapatan penduduk sekitar.  Sedangkan taman nasional laut ditujukan untuk beberapa pemanfaatan sesuai dengan fungsional ekosistemnya yang ada, seperti untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.  Antara satu wilayah pemanfaatan dengan lainnya terpisah dan tidak bisa overleaping pemanfaatan untuk melindungi sumberdaya hayati aslinya.
Pada pengelolaannya, taman wisata alam laut tidak dibagi berdasarkan zonasi tetapi berupa satu kawasan pengelolaannya sesuai tujuan pariwisata.  Sedangkan taman nasional laut dalam pengelolaannya dibagi dengan zonasi-zonasi sesuai peruntukkannya seperti zona konservasi, zona wisata, zona pemanfaatan umum, zona inti, zona penangkapan ikan dan lainnya.  Karena pembagian zonasi telah diatur juga dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dimana kewenangan pengelolaan laut 0 – 12 mil laut ada di provinsi maka pembagian zona untuk kabupaten akan diatur dalan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) provinsi.           
Kepulauan Togean sebagai bentang alam yang terbentang sepanjang 90 km memiliki banyak keistimewaan yaitu terdiri atas deretan 6 pulau besar dan pulau-pulau kecil yang berjumlah 56 pulau dan satu gunung vulkanik.  Kepulauan Togean dihuni oleh penduduk suku Bajau dengan profesi sebagai nelayan.  Diantara deretan pulau-pulau terdapat 262 spesies karang, 555 spesies moluska dan 596 spesies ikan karang dimana 2 diantaranya diketahui sebagai ikan endemik yaitu Paraceilinus dan Ecseinus.  Kepulauan Togean juga diketahui sebagai satu-satunya pesisir di Indonesia yang memiliki tiga lingkungan karang yang berbeda yaitu karang atol, karang barier dan karang pantai.  Ada banyak habitat organisme laut dengan biodiversity organisme lautnya.  Disamping itu, Kepulauan Togean memiliki potensi wisata laut yang sangat besar dengan panorama pantai yang indah, pemandangan bawah laut yang menakjubkan serta memiliki air laut yang jernih.  Atas dasar pertimbangan-pertimbangan kepentingan perlindungan hayati dan kelestarian sumberdaya alam yang harus tetap dijaga keaslian dan kelestariannya, maka Kepulauan Togean memang layak untuk dijadikan taman nasional laut dengan pengelolaannya melalui pembagian zona-zona peruntukkan untuk tetap menjamin pemanfaatan tetap memberikan dampak positif kepada penduduk disekitarnya.
Ada yang berpendapat bahwa perubahan status Kepulauan Togean menjadi Taman Nasional Laut akan melarang setiap aktivitas penduduk sekitar termasuk aktivitas mencari nafkah.  Pendapat ini, tidak terlalu tepat karena pelibatan penduduk sekitar tetap ada tetapi dibatasi untuk kepentingan keberlangsungan sumberdaya yang ada.  Aktivitas dalam suatu kawasan yang tumpang tindih akan memberikan dampak saling meniadakan seperti kegiatan snorkeling di daerah terumbu karang akan menyebabkan karang terinjak-injak, jangkar perahu yang dilempar di area terumbu karang akan merusak beberapa habitat organisme, aktivitas wisata yang dapat menganggu kegiatan mencari ikan oleh penduduk, alur kapal penangkap ikan yang melewati kawasan renang dan lain-lain.  Sehingga taman nasional laut yang didesain dengan beberapa zonasi akan mengakomodir setiap aktivitas yang ada.  Pemahaman yang ada didasarkan pada kepentingan untuk menjaga wilayah pesisir dan laut Kepulauan Togean dari kegiatan-kegiatan destructive.  Dengan adanya taman nasional laut menjadikan wilayah pesisir tetap terjaga kelestariannya sehingga pemanfaatan sumberdaya alam dapat terus berlangsung.
Taman nasional laut diarahkan juga untuk kepentingan penduduk disekitarnya terutama untuk menjamin bahwa penduduk dapat mencari ikan dengan aman dan terlindungi dari pihak-pihak lain yang ingin mengeksploitasi alam tanpa bertanggungjawab.  Selain itu, dalam taman nasional laut tetap diperkenankan untuk adanya kegiatan wisata bahari hanya saja faktor-faktor daya dukung (carrying capacity) harus benar-benar menjadi pertimbangan utama.  Untuk zona wisata maka daya dukung yang perlu diperhatikan terdiri atas: pertama daya dukung ruang atau fisik yang menentukan apakah ruang wisata yang ada masih layak menjadi area aktivitas wisata berbanding jumlah wisatawan yang ada, kedua daya dukung ekosistem yang mengukur apakah ekosistem yang ada dapat menjadi obyek wisata yang layak dan kegiatan-kegiatan wisata yang ada tidak menganggu ekosistem tersebut, ketiga daya dukung infrastruktur yang menunjukkan seberapa banyak dan layak infrastruktur yang ada seperti listrik, air bersih, cottage, tranportasi laut dan sarana penunjang wisata lainnya dan yang keempat daya dukung sosial dan budaya untuk menjamin bahwa kegiatan wisatawan tidak menganggu tatanan sosial, budaya dan moral penduduk setempat demikian sebaliknya.  Selain itu, yang menjadi faktor utama adalah dukungan regulasi dari pemerintah kabupaten dan provinsi untuk menindaklanjuti aturan pemerintah yang telah ada termasuk upaya-upaya untuk mensosialisasikan perubahan status Kepulauan Togean menjadi Taman Nasional Laut menuju pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam yang ada dan pemanfaatan kawasan Kepulauan Togean sebagai destinasi utama wisata bahari di Indonesia yang pada akhirnya kesemuanya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.


**Penulis : Kepala Subbid Ekonomi I Bappeda Prov. Sulteng

Senin, 19 Oktober 2015

Food Accessibility: Pemutus Lingkaran Setan Kemiskinan (Memperingati Hari Pangan dan Anti Kemiskinan Dunia)

Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

“Orang itu marah karena dia lapar” atau “hungry man is an angry man” demikian pernyataan yang sering diucapkan oleh guru besar dosen senior Undip Prof. Dr. Lachmuddin Syahrani di kuliah umum pemberdayaan masyarakat pesisir kepada mahasiswanya.  Pernyataan ini sederhana tetapi mengandung makna betapa makanan atau pangan merupakan sesuatu yang paling substansial dalam kehidupan manusia.  Manusia bisa bertindak apa saja secara brutal jika kurang pangan atau akses pangan sangat sulit diperoleh, pikiran untuk memperoleh pangan akan lebih praktis bahkan bersifat destructive seperti merusak sumberdaya disekitarnya yang dianggap sebagai last resort atau tumpuan terakhir untuk menyambung hidupnya.  Kondisi rawan pangan dapat meningkatkan permasalahan sosial yang serius seperti: tindakan kriminal, kemelaratan dan kemiskinan.
Oktober dikenal sebagai bulan pangan karena pada setiap tahunnya tanggal 16 ditetapkan sebagai hari pangan sedunia (HPS) atau World Food Day (WFD) yang diinisiasi melalui resolusi No.179 oleh peserta dari 147 negara termasuk Indonesia pada Konferensi ke-20 FAO tahun 1976 di Roma.  Berdasarkan kepedulian tentang kerawanan pangan yang sering menjadi pemicu permasalahan-permasalahan sosial maka kemudian tema hari pangan sedunia pada tahun ini yaitu “social protection and agricultural: breaking the cycle of rural proverty” yang berarti perlindungan sosial dan pertanian: memutus siklus kemiskinan di pedesaan.  Tema ini dipilih karena ingin menjelaskan betapa pentingnya memberantas kemiskinan di pedesaan dan memperkuat akses pangan atau kemampuan untuk membeli makanan.  Dari tema tersebut, memperlihatkan bahwa ada hubungan kuat antara ketidakberdayaan mengakses pangan dengan kemiskinan dan apakah suatu kebetulan atau tidak ternyata peringatan hari pangan sedunia pada setiap tanggal 16 oktober diikuti dengan peringatan hari anti kemiskinan international pada setiap tanggal 17 oktober.
Salah satu simpul lingkaran setan kemiskinan yaitu tingkat konsumsi pangan rendah yang menyebabkan status gizi masyarakat tidak meningkat, kemudian di susul dengan tingkat kesehatan rendah yang berakibat pada kinerja atau produktifitas yang rendah dan akhirnya produksi rendah atau kemampuan mencari nafkah rendah sehingga daya beli pangan amat terbatas.
Ragnar Nurkse seorang ekonom asal Swedia pertama kali memperkenalkan istilah Lingkaran Setan Kemiskinan atau Vicious Circle of Poverty merupakan konsep yang menggambarkan hubungan-hubungan melingkar di antara variabel penentu di mana variabel sebelumnya akan memberikan efek pada variabel setelahnya dan seterusnya sehingga menempatkan suatu kondisi masyarakat atau Negara tetap dalam kondisi miskin.  Setiap simpul lingkaran ini harus diputuskan untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik dengan sebuah tindakan-tindakan strategis.  Tindakan-tindakan tersebut harus diawali dengan cara pandang dan paradigma yang sama dari setiap pelaku kebijakan terhadap isu-isu permasalahan (sintesa permasalahan) karena objek atau sasarannya adalah masyarakat miskin yang tidak dapat menunggu lebih lama aksi nyata dari sebuah keputusan.
Isu pangan dan kemiskinan merupakan isu sentral yang sering dibahasakan oleh para calon pemimpin di Negara kita dan juga dunia.  Kedua isu ini merupakan isu yang dianggap “layak jual” sebagai marketing topic yang dituangkan dalam visi, misi, strategi dan kegiatannya dan yang dianggap paling menarik untuk dibahas dengan tujuan yaitu kemakmuran rakyat.  Tidak terkecuali di daerah Sulawesi Tengah permasalahan pangan dan kemiskinan masih memerlukan perhatian yang lebih serius, dimana beberapa permasalahan belum tertangani sebagaimana mestinya.  Permasalahan utama bukan pada stok (jumlah) bahkan ada beberapa pangan yang telah surplus tetapi permasalahan justru pada distribusi temasuk penanganan saat distribusinya.

Surplus Ikan dan Beras
Masyarakat Sulawesi Tengah bersyukur dengan potensi alam dan daya dukung lingkungan yang masih terjaga membuat beberapa stok komoditas pangan strategis berada pada keadaan surplus.  Komoditas surplus tersebut yaitu beras, jagung dan ikan.  Pada Triwulan III tahun 2015 komoditas beras Sulawesi Tengah surplus 250.000 ton GKG dan melampaui yang ditargetkan pada tahun 2015.  Tingkat konsumsi pangan beras masih lebih rendah dari produksi yang dihasilkan sehingga mengalami surplus.  Sesuai data terakhir tahun 2014, tingkat konsumsi beras berkisar 393.548 ton sedangkan ketersediaan sebesar 644.077 ton sehingga surplus sekitar 250.529 ton.  Sedangkan jagung memiliki ketersediaan 139.266 ton dengan tingkat konsumsi 3.692 ton yang berarti surplus 135.574 ton.  Demikian juga halnya dengan ikan dimana produksi total 1.487.654 ton tetapi yang terserap oleh dunia industri perikanan dan yang dikonsumsi baru sekitar 99.491 ton dan surplus 1.388.163 ton (BKP Sulteng, 2015).  Jikalau beras dan jagung untuk perimbangan dalam kondisi surplus tidak terlalu mengkhawatirkan karena ada peran Badan Urusan Logistik (Bulog) di daerah yang mengurusi distribusi dan tata niaganya sehingga harga pangan di tingkat masyarakat selalu stabil berbanding dengan ketersediaan dan aksesibilitasnya.  Tetapi bagaimana dengan ikan khususnya ikan segar yang memiliki selisih perimbangan terlalu besar sekitar 1.388.163 ton, kemanakah penyerapan jumlah sebesar itu? Apakah didistribusikan ke luar Sulawesi Tengah sehubungan dengan beberapa kali terjadi bahwa pangan ikan segar menjadi penyumbang terbesar tingkat inflasi di Kota Palu.  Hal ini merupakan ironi sehingga perlu dilakukan langkah-langkah penyelesaian terutama tentang distribusi, penyimpanan dan pengawasanya.
            Memang penanganan ikan segar berbeda dengan penanganan jenis pangan lainnya dimana ikan segar termasuk dalam golongan pangan yang mudah rusak (perishable food) bahkan ketika dibiarkan selama 7 jam menjadi tidak layak konsumsi.  Inilah yang kemudian menyulitkan saat distribusinya dimana fisik ikan harus selalu berada dalam kondisi beku (cold chain), oleh karena itu diperlukan fasilitas pendukung dengan biaya yang tinggi misalnya pembangunan cold storage dengan suplai listrik yang memadai, pabrik es dengan distribusinya yang bisa mencapai daerah-daerah pesisir terisolir, sistem rantai dingin meliputi agent, locker dan pasar ikan.  Selain itu, tentunya pemahaman pelaku hasil ikan terhadap pentingnya menjaga daya awet, keamanan dan higienis pangan hasil ikan. Diperlukan juga, pendataan yang valid tentang jumlah hasil tangkap ikan dari suatu kabupaten dan kebutuhan pangan ikan segar untuk kabupaten lainnya agar pola distribusi jelas dan kebutuhan pangan ikan sebagai sumber protein masyarakat secara merata di Sulawesi Tengah dapat terpenuhi.

Petani dan Nelayan Makmur
            Petani dan nelayan harus makmur sebagai jaminan tersedianya stok pangan bagi daerah.  Semakin rendah tingkat kemakmuran petani atau nelayan maka resiko beralih profesi semakin tinggi, lahan pertanian dikonversi, pengalihan penguasaan lahan pertanian, perahu nelayan beralih fungsi serta penguasaan wilayah atau kampung nelayan oleh pihak lain dsb,  dan keadaan ini menjelaskan fenomena awal berkurangnya stock pangan pada daerah tertentu. 
Nilai Tukar Petani (NTP) gabungan Sulawesi Tengah, selama September 2015 masih sebesar  98,50% atau petani mengalami defisit.  Jika indikator kesejahteraan petani menjadi patokan maka kesejahteraan petani dan nelayan perlu ditingkatkan lagi untuk menyeimbangkan paling tidak antara indeks harga yang diterima oleh petani (It) dan indeks harga yang harus dibayarkan oleh petani (Ib) (BPS, 2015). Tetapi Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) menunjukkan nilai sebesar 105,29% yang menunjukkan bahwa petani surplus dari biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan jumlah produksi yang dihasilkan, sehingga kelihatan lebih jelas bahwa ada hambatan pada pola distribusi atau pasar untuk pangan yang dihasilkan.
Mudah-mudahan pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah baik yang sekarang maupun yang akan datang dapat mempertahankan capaian kualitas dan kuantitas pangan di Sulawesi Tengah dalam rangka mendukung program kedaulatan pangan nasional tahun 2017.  Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan seperti : menciptakan sinergisitas perencanaan dan pembiayaan sektor pertanian dan sub sektornya, meningkatkan akses pemodalan, produksi dan produktivitas yang berorientasi agribisnis, meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk, meningkatkan layanan infrastruktur, mengelola lahan tidur dan menekan laju alih fungsi lahan sawah serta penataan organisasi dan SDM aparat sektor pertanian.  Pada intinya, ketersediaan pangan dan kemudahan aksesibilitasnya merupakan hal yang mutlak untuk mewujudkan SDM berkualitas yang bergizi seimbang, bermakanan sehat dan aman.  SDM yang unggul karena dia bisa makan dengan cukup, mengutip perkataan Virginia Woolf seorang penulis tenar bahwa “seseorang tidak akan bisa berpikir dengan benar, mencintai dengan benar dan tidur dengan baik jika dia belum makan”.*

**Penulis : Inisiator ISPIKANI Sulteng, Ka.Subbid Ekonomi I Bappeda Prov. Sulteng

Minggu, 23 Agustus 2015

NILAI TUKAR PETANI (NTP) SULAWESI TENGAH NAIK KESEJAHTERAAN PETANI MENINGKAT

Oleh : Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si

Nilai tukar petani (NTP) merupakan salah satu indikator dari proxy kesejahteraan masyarakat yang memiliki profesi di bidang usaha pertanian.  NTP merupakan nilai perbandingan antara indeks harga yang diterima oleh petani (It) dengan indeks harga yang dibayar atau yang dikeluarkan oleh petani (Ib) yang dihitung dalam persen (%).  It adalah produksi dari hasil usaha-usaha sektor pertanian atau sub sektor pertanian yang dihasilkan oleh petani dan Ib adalah segala konsumsi Rumah Tangga Petani (RTP), Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM).
Apabila NTP lebih dari 100 maka dapat dikatakan petani mengalami surplus.  Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya atau pendapatan petani naik, lebih besar dari pengeluarannya.  Dan apabila NTP sama dengan 100, berarti petani mengalami impas, kenaikan atau penurunan harga produksinya sama dengan kenaikan atau penurunan harga barang konsumsi, pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.  Sedangkan jika NTP kurang dari 100 berarti petani mengalami defisit, kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya, pendapatan petani turun dan lebih kecil dari pengeluarannya.  NTP digunakan sebagai instrumen untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesejahteraan atau kemampuan daya beli petani dalam satu wilayah yang diukur pada 5 (lima) sub sektor pertanian yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan dan perikanan.

Gambaran Umum Kondisi NTP Sulawesi Tengah
NTP Sulawesi Tengah dari tahun 2008-2014 memberikan nilai yang fluktuatif tetapi mengalami peningkatan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir (gambar 01). 

 Gambar 01. Perkembangan NTP Sulawesi Tengah dan NTP Nasional Tahun 2012-2014, Sumber BPS, 2015

Pada grafik gambar 01 menunjukkan bahwa NTP Sulawesi Tengah semenjak tahun 2012 hingga tahun 2014 masih dibawah 100 tetapi mengalami peningkatan sebesar 102,18% pada tahun 2014 dan melebihi NTP secara nasional sebesar 102,03%.  Hal ini setelah dilakukan penyesuaian tahun dasar perhitungan yang sebelumnya menggunakan tahun dasar 2007 menjadi tahun dasar 2012.  Perhitungan di awali dari bulan Desember 2013 dan NTP Sulawesi Tengah mengalami kenaikan sebesar 4,72%.  Perbandingan antara NTP gabungan bulanan Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2013 dengan tahun 2014 dapat dilihat pada gambar 02 yang memperlihatkan bahwa NTP gabungan bulanan Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2014 telah meningkat dari tahun 2013 yaitu diatas 100 kecuali pada bulan Desember tahun 2014.

Gambar 02. Perkembangan NTP Gabungan Bulanan Sulawesi Tengah Tahun 2013-2014, Sumber : BPS, 2015

Perkembangan NTP gabungan Sulawesi Tengah pada Bulan Desember 2014 hingga Bulan April 2015 menunjukkan nilai yang relatif rendah.  Kondisi ini terjadi karena indeks yang diterima petani atau hasil produksi petani yang terjual cenderung lebih kecil dari indeks yang harus dibayarkan petani dalam memenuhi ongkos produksinya dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.  Misalnya pada Bulan April 2015, Indeks Harga Yang Diterima Petani (It) turun sebesar 1,26%, sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) naik sebesar 0,10% dan mengindikasikan bahwa petani mengalami defisit dalam usaha taninya. 
            Nilai tukar petani Sulawesi Tengah untuk sub sektor pertanian pada bulan April 2015 mengalami variasi dalam perubahannya baik peningkatan maupun penurunan. NTP tertinggi terjadi pada sub sektor hortikultura sebesar 107,25%, sedangkan NTP terendah terjadi pada sub sektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 88,35%. Selanjutnya NTP subsektor tanaman pangan sebesar 91,91%, NTP subsektor peternakan sebesar 106,39% dan subsektor perikanan sebesar 104,61%.  Dengan demikian untuk 3 sub sektor yaitu hortikultura, peternakan dan perikanan memberikan nilai lebih dari 100 yang berarti bahwa petani yang bergerak pada sektor-sektor tersebut mengalami surplus.
            Bagaimanakah dengan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) Sulawesi Tengah? Ternyata NTUP memberikan nilai di atas 100 dan relatif lebih tinggi pada akhir Triwulan I yaitu sebesar 103,97% dan awal Triwulan II yaitu 102,08% di tahun 2015.  NTUP diperoleh dari perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib), tanpa memperhitungkan pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga.  Dengan demikian NTUP menggambarkan bahwa tingkat pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga petani, termasuk peternak dan nelayan di Sulawesi Tengah berperan cukup signifikan dalam menurunkan besaran nilai tukar (Tabel 01).

Tabel 01. Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) Menurut Sub Sektor dan Perkembangannya Maret-April 2015


Nilai NTUP yang lebih dari 100 mengindikasikan bahwa penggantian biaya produksi petani tercukupi dan petani memiliki keuntungan walaupun nilai keuntungan produksinya lebih rendah dari nilai yang harus dibayarkan petani untuk biaya konsumsi dan penambahan barang baru.  Sehingga jika dipertimbangkan nilai untuk penggantian biaya produksi tercukupi maka usaha petani dapat dilakukan berkesinambungan atau dapat menjadi tumpuan mata sumber mata pencaharian keluarga petani atau kemampuan daya tukar hasil produksi rumah tangga petani di Sulawesi Tengah masih lebih tinggi dibandingkan pengeluaran biaya selama proses produksinya.
            Banyaknya nilai yang harus dibayarkan oleh petani atau meningkatknya nilai Ib sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal pasar yang bersifat global.  Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya :
  1. Harga bahan-bahan pokok yang cenderung naik dan tidak stabil yang memicu tingginya tingkat inflasi;
  2. Rantai pemasaran produk yang panjang hingga ke tangan konsumen mengakibatkan terjadinya penambahan harga di setiap mata rantai pemasaran;
  3. Menurunnya tingkat pendapatan atau income perkapita masyarakat secara umum yang disertai dengan daya beli rendah; dan
  4. Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar mengakibatkan sebagian bahan-bahan baku produksi yang berasal dari impor naik.
Upaya Pemerintah Sulawesi Tengah

Pemerintah Sulawesi Tengah periode 2011-2016 telah berupaya untuk meningkatkan NTP semenjak tahun 2012,  dengan berkomitmen menambah anggaran belanja daerah setiap tahunnya untuk mendorong pembangunan sektor pertanian dalam arti luas.  Tahun 2012, alokasi anggaran untuk sub sektor yang tergabung dalam rumpun pertanian meningkat sekitar 200% di banding tahun 2011 demikian juga tahun 2013 dari alokasi anggaran tahun 2012 serta tahun 2015 yang meningkat sekitar 50% dari tahun 2014.  Walaupun dengan dukungan anggaran, peningkatan NTP Sulawesi Tengah masih sangat fluktuatif dan belum mencapai target-target tahunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dikarenakan faktor jumlah penduduk miskin yang masih tinggi terutama yang berasal dari kalangan petani ditambah faktor-faktor eksternal yang memberikan pengaruh luas terhadap kondisi perekonomian Indonesia.
Capaian NTP Gabungan Sulawesi Tengah 2012-2015 belum memenuhi NTP yang diharapkan dalam RPJMD, tetapi NTP sub sektornya pada tahun 2014 seperti sub sektor hortikultura dan peternakan telah melebihi target RPJMD.  Capaian NTP sub sektor hortikultura sebesar 109,81% melebihi target RPJMD sebesar 105,68% dan sub sektor peternakan sebesar 107,75 melebihi target RPJMD sebesar 100,02.  Sedangkan NTP untuk sub sektor perikanan telah melebihi angka 100 yaitu sebesar 101,92 walaupun belum memenuhi target RPJMD sebesar 109,00.  Secara nasional NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Tengah menempati peringkat ke-21 Nasional dan peringkat ke-5 se-Sulawesi.

Analisa Indikator NTP
Indikator NTP dapat dianalisa secara nasional maupun regional (tingkat provinsi).  NTP nasional berasal dari agregasi NTP regional dan sub sektor serta komoditinya.  Selain dapat diketahui NTP nasional dan turunannya, dapat juga diketahui perbandingan tingkat kesejahteraan petani antar regional provinsi, perbandingan tingkat kesejahteraan antar sub sektor dan antar komoditinya.  Sehingga kemudian dikenal NTP menurut provinsi (NTP Aceh, NTP Jambi, NTP Sulawesi Utara dan seterusnya), NTP menurut sub sektor (NTP sub sektor tanaman pangan, NTP sub sektor hortikultura, NTP sub sektor perikanan dan seterusnya) serta NTP komoditas penyusun sub sektornya (NTP padi, NTP sayur-sayuran, NTP unggas dan seterusnya).
NTP dapat juga diperoleh dari masing-masing komponen seperti nilai tukar padi terhadap pupuk, nilai tukar sayuran terhadap sewa lahan, nilai tukar unggas terhadap upah dan seterusnya. Disamping sebagai komponen penyusun NTP, nilai tukar komponen penyusun NTP itu sendiri merupakan parameter penting kebijakan pembangunan pertanian.  Sebagai contoh, nilai tukar padi terhadap pupuk (NTPadi-Pupuk) yang didefinisikan sebagai rasio antara harga padi terhadap harga pupuk atau yang dikenal dengan Rumus Tani merupakan parameter yang digunakan dalam kebijakan pengelolaan harga pangan.  Penurunan NTPadi-Pupuk berarti penurunan daya beli padi terhadap pupuk.  Contoh lainnya, nilai tukar padi terhadap sandang yang merupakan rasio antara harga padi terhadap harga sandang menggambarkan perkembangan daya beli petani padi terhadap sandang.  Setiap nilai tukar komponen NTP dapat dipelajari pembentukan dan prilakunya dan metode ini yang menjadi keunggulan pada konsep NTP.
Konsep NTP dengan metode keunggulannya sebagai rasio harga antara yang diterima petani dan dibayar petani ternyata tidak dapat sepenuhnya menjadi satu-satunya indikator kesejahteraan petani karena perkembangan NTP selalu bertumpu pada perubahan harga (Indeks Laspeyres).  Pada pasar komoditas pertanian yang kompetitif, harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan.  Kenaikan harga bisa saja terjadi karena adanya kekurangan pasokan dibanding permintaan.  Penurunan pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih tinggi dibandingkan penawaran (produksi).  Pada skala nasional atau regional, kenaikan harga produk justru menunjukkan adanya kelangkaan pasokan untuk mengimbangi permintaan dan mendorong terjadinya kenaikan inflasi.  Pada sisi lain, struktur tata niaga produk pertanian yang rumit menyebabkan kenaikan harga produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan petani.  Peningkatan harga produk pertanian yang berakibat NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi yang diinginkan atau kenaikan NTP tidak berarti serta merta terjadi peningkatan pendapatan atau kesejahteraan petani.
Bagaimanapun, berdasarkan pertimbangan bahwa mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah hal yang sulit, maka NTP masih menjadi metode yang realistis.  Karena konsep NTP menggambarkan kemampuan daya beli petani ataupun daya tukar hasil produk pertanian terhadap komoditas lainnya dan menunjukkan apakah tingkat kehidupan petani lebih baik dari tingkat dasar yang digunakan (tahun dasar perhitungan 2012).  NTP tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya indikator untuk membandingkan tingkat kesejahteraan petani pada dua atau lebih wilayah yang berbeda.  Misalnya meskipun NTP provinsi A lebih rendah dari NTP provinsi B, tidak berarti bahwa petani di provinsi A lebih rendah tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan petani di provinsi B karena banyak faktor-faktor lainnya yang dapat dijadikan patokan untuk menilai tingkat kesejahteraan suatu daerah.

Indikator Kesejahteraan Pelengkap NTP
            Beberapa metode tingkat kesejahteraan dalam suatu wilayah atau provinsi dapat menjadi pertimbangan selain metode NTP.  Misalnya untuk provinsi Sulawesi Tengah, tingkat kesejahteraan masyarakatnya termasuk petani dapat dikatakan terus mengalami peningkatan seiring dengan berkurangnya jumlah masyarakat miskin.  Pada tahun terakhir 2014, kemiskinan Sulawesi Tengah sebesar 13,61% atau berhasil diturunkan hingga sebesar 2,43%.  Penurunan angka kemiskinan ini, menjadikan Provinsi Sulawesi Tengah mendapatkan penghargaan terbaik kedua dalam Millenium Development Goals (MDG’s) Tahun 2015 sebagai salah satu daerah tercepat dalam upaya penurunan angka kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan di Indonesia. 
            Selain penurunan angka kemiskinan, Provinsi Sulawesi Tengah juga telah berhasil dalam capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup yang dihitung melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  IPM dihitung berdasarkan data dari 3 komponen yaitu : (1) angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan; (2) angka harapan hidup yang menggambarkan bidang kesehatan; dan (3) kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.  IPM Sulawesi Tengah pada tahun 2013 sebesar 72,54 yang masuk kategori Menengah Atas dan menempati peringkat ke-3 se-Sulawesi.

Upaya Peningkatan NTP
            Nilai Tukar Petani Sulawesi Tengah perlu untuk dipertahankan pada nilai 100 atau lebih walaupun sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor eksternal dan internal yang telah dibahas diatas.  Oleh karena itu, perlu dirumuskan beberapa langkah-langkah upaya untuk peningkatan NTP di Sulawesi Tengah sebagai berikut :

  1. Meningkatkan produktivitas dan produksi hasil komoditi pertanian melalui dukungan sarana dan prasarana pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
  2. Menata rantai pemasaran produk (tata niaga) tingkat daerah dengan menciptakan sasaran pasar yang tepat.
  3. Mengatur dan menyesuaikan standar harga produk pertanian dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir.
  4. Memperlancar distribusi bahan-bahan penunjang produksi pertanian di tingkat daerah seperti: distribusi pupuk, pestisida, benih, pakan ternak dan ikan.
  5. Meningkatkan kapasitas petani, pekebun dan nelayan melalui pelatihan dan bimbingan usaha.
  6. Membentuk dan memaksimalkan fungsi lembaga penjamin mutu dan stock produksi pertanian untuk menghindari kelangkaan komoditi yang dapat memicu inflasi.
  7. Membentuk kelompok tani yang difasilitasi oleh pemerintah daerah untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani, kelompok tani dengan kelompok tani lainnya dan kelompok tani dengan pihak lainnya.
  8. Melakukan analisis kebutuhan usaha dan kebutuhan rumah tangga petani untuk menjadi rujukan kemampuan daya beli rumah tangga berdasarkan kemampuan produksi komoditi pertaniannya.
  9. Melatih dan membimbing penyuluh pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang handal dan berkualitas sebagai jaminan tersampaikannya ilmu dan teknologi pertanian kepada petani.
  10. Memfasilitasi penyediaan atau peminjaman modal usaha dengan pengembalian lunak bagi petani sebagai stimulan (rangsangan) peningkatan nilai produksi.

Peningkatan kesejahteraan petani bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah merupakan serangkaian upaya relevan untuk mendapat perhatian karena beberapa hal yaitu: (a) bahwa kehidupan yang sejahtera merupakan hak dari setiap anggota masyarakat, (b) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mendukung sepenuhnya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) dan (c) kesejahteraan masyarakat menjadi agenda prioritas daerah yang men-support prioritas pembangunan nasional.  Dan akhirnya upaya-upaya peningkatan NTP ini hanya dapat dilakukan dengan baik dan efisien jika melibatkan seluruh peran stakeholder dan meningkatkan koordinasi serta komunikasi antar sektor, kementerian, lembaga, SKPD di Provinsi maupun kabupaten. Semoga NTP Sulawesi Tengah pada tahun-tahun mendatang dapat menjadi lebih baik dan kesejahteraan petani terus meningkat. 




Jumat, 21 Agustus 2015

IKAN SUMBERDAYA FUGITIVE PEMICU INFLASI KOTA PALU

Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

Ikan khususnya ikan laut merupakan sumberdaya yang unik karena sifatnya yang fugitive atau “sumberdaya yang diburu” sehingga memerlukan pengelolaan yang spesifik sesuai karakteristiknya. Sumberdaya ikan terkadang melimpah dan memiliki harga jual lebih rendah tetapi lebih sering kurang ketersediaannya dengan harga jual lebih tinggi dari kelompok makanan lainnya.  Alasan klasik ketersediaan jumlah ikan berkurang karena para nelayan tidak melaut disebabkan cuaca buruk. 
Ketersediaan jumlah ikan segar yang fluktuatif itu ternyata dapat memicu tingkat inflasi daerah karena ikan sebagai sumber pangan utama penyedia protein hewani. Hal inilah yang menarik menjadi pembahasan ternyata untuk beberapa daerah memiliki masyarakat yang sangat tergantung pada pangan ikan segar.  Pada bulan Mei 2015 Kota Palu pernah mencapai inflasi tertinggi di Indonesia yaitu 2,24% dari 81 kota yang mengalami inflasi sedangkan yang terendah berada di Singkawang sebesar 0,03%.  Tingkat inflasi ini diukur berdasarkan perubahan harga rata-rata tertimbang dari barang atau jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga atau masyarakat (consumer price index).  Ikan segar masuk dalam kelompok bahan makanan dengan penyumbang inflasi tertinggi sebesar 11,03% untuk Mei 2015 (BPS Sulteng 2015).  Nilai ini semakin tinggi karena kelompok bahan makanan memiliki bobot paling tinggi (weightage) sebagai pertimbangan kelompok barang yang sangat diperlukan bagi masyarakat.
Kondisi inflasi Kota Palu ini tiba-tiba bisa berbalik begitu cepat hanya dalam waktu sebulan berikutnya yaitu Bulan Juni 2015.  Berdasarkan analisis pengendalian Inflasi Provinsi Sulawesi Tengah Bulan Juni 2015, Kota Palu mengalami inflasi sebesar 0,03% (mtm) atau 6,00% (yoy) dan realisasi inflasi yang terjadi lebih rendah dari realisasi inflasi pada bulan sebelumnya (Mei 2015) yang mencapai 2,24% (mtm) atau 6,96% (yoy).  Tingkat inflasi ini menjadikan Kota Palu sebagai kota dengan tingkat inflasi terendah se-Indonesia.  Dan penyebab turunnya inflasi ini didorong oleh menurunnya harga dari sub-kelompok ikan segar sebesar 8,41% (mtm) sekaligus penyumbang deflasi.  Jenis ikan segar yang dimaksud yaitu ikan layang dengan andil deflasi sebesar 0,17%, ikan cakalang sebesar 0,17%, ikan ekor kuning sebesar 0,12% dan ikan selar (0,11%).
Dari fenomena diatas menunjukkan bahwa ikan segar khususnya di Kota Palu dapat dianggap sebagai salah satu faktor utama bergerak naik atau turunnya tingkat inflasi maka sudah sepantasnya kebijakan-kebijakan yang menyangkut dengan ketersediaan keterjaminan stok ikan segar harus diupayakan.

Kebijakan Ikan
            Kebijakan yang berkenaan dengan ikan atau singkatnya “kebijakan ikan” berkaitan dengan inflasi paling fenomenal pernah dilakukan oleh Presiden Christina Fernandes untuk menanggulangi negaranya dari penyakit ekonomi yaitu inflasi.  Saat itu, mayoritas penduduk Argentina adalah pengkonsumsi daging sedangkan harga daging di Buenos Aires naik mencapai 30% dan memicu inflasi secara umum.  Presiden Wanita ini melakukan langkah yang sangat tidak konvensional dalam memerangi inflasi bukannya dia mengeluarkan kebijakan fiskal atau moneter untuk menekan inflasi tetapi justru menggunakan ikan untuk menekan inflasi dengan slogannya “Now there’s fish for everyone” yang mengandung makna bahwa setiap warga Negara harus beli dan makan ikan lalu dia menggelontorkan program “ikanisasi” yaitu menyediakan ikan murah bagi masyarakat yang dijual dengan truk-truk yang dihiasi warna biru agar lebih menarik.
Walaupun contoh kenyataan ini memiliki komparasi yang sangat berbeda baik dari ketersediaan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusianya dengan Negara dan daerah kita tetapi paling tidak menunjukkan bahwa sektor perikanan dapat memberikan harapan dan peran nyata dalam pembangunan suatu Negara atau daerah dalam hal penyediaan pangan ikan.
            Permasalahan yang kita temui terutama di daerah kawasan timur Indonesia termasuk Sulawesi Tengah adalah ketersediaan ikan yang tidak bisa kontinyu.  Bukan karena ikan di laut menipis (depletion) tetapi karena ketidakmampuan menjaga daya awet ikan lebih panjang atau rendahnya fasilitas diversifikasi pangan yang ada sehingga mengakibatkan nelayan sama susah di saat ikan banyak dan di saat ikan kurang.   Kondisi jumlah ikan yang dipasarkan inilah yang memberikan andil besar pada kondisi inflasi yang labil dan bahkan mungkin bisa mempengaruhi harga-harga barang secara umum.

Sumberdaya Fugitive
Dieksploitasi berdasarkan doktrin res nullius yang dalam bahasa latin berarti obyek yang semestinya bisa dimiliki namun tidak bisa dimiliki oleh individu.  Berdasarkan kaidah inilah kemudian pemilikan menjadi common property (milik bersama).  Sumberdaya ikan bebas dilaut siapa saja bisa mengambilnya asalkan memiliki teknologi penangkapannya.  Pada rentang waktu cuaca membaik dan bisa melaut suatu kawasan fishing ground dapat menjadi ajang rebutan dan beberapa kasus lokasi dapat menjadi tragedy of the common (tragedi kepemilikan bersama) dan memicu over fishing dalam ruang yang lebih sempit karena kemampuan teknologi penangkapan yang sederhana dan hampir seragam dengan sasaran tangkapan jenis ikan yang sama.  Praktek penangkapan ini yang memperjelas ikan sebagai sumberdaya yang fugitive.
Pengelolaan penyediaan stok ikan bagaimanapun harus ditinjau dari aspek ekonomi dengan mengontrol harga serta ketersediaannya karena aspek biologi memandang bahwa eksploitasi berlebih dari suatu sumberdaya terjadi apabila rasio harga sumberdaya itu lebih tinggi dari operasi eksploitasinya termasuk ikan.  Oleh karena itu, kebijakan yang paling baik adalah tetap menjaga stabilitas harga ikan dengan memberikan fasilitas penyimpanan bagi nelayan.
Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2015 akan menetapkan Provinsi Sulawesi Tengah sebagai daerah percontohan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang hampir mirip dengan metode Bulog untuk menjaga stok dan stabilitas harga pangan beras.
Pengembangan SLIN yang berbasis di Pelabuhan Perikanan diharapkan menciptakan stabilitas harga di tingkat nelayan maupun konsumen dan sekaligus dapat menekan laju inflasi serta membuka peluang pengembangan industri olahan. Potensi pengembangan sektor kelautan dan perikanan di Sulawesi Tengah sangat besar mengingat Sulawesi Tengah sebagai provinsi yang memiliki tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu WPP-RI 713 di Selat Makassar, WPP-RI 714 di Teluk Tolo dan WPP-RI 715 di teluk Tomini.
Jenis inflasi yang terjadi akibat kekurangan pangan ikan dapat dikategorikan sebagai inflasi karena kenaikan permintaan (demand pull inflation) sedangkan penawaran tetap.  Kondisi ini terjadi karena permintaan masyarakat meningkat secara bersamaan (aggregate demand) terhadap pangan ikan.  Walaupun inflasi Kota Palu dapat dimaklumi terjadi diantara Bulan Mei sampai dengan Bulan Juni 2015 dimana secara umum permintaan naik karena memasuki Bulan Ramadhan dan Idul Fitri 2015 tetapi khusus untuk pangan ikan segar tetap sebagai faktor terbesar dalam kelompok bahan makanan pemicu inflasi.  Berdasarkan tinjauan lapangan akhir bulan Juli 2015 bahwa harga ikan segar di Palu kembali naik lagi seperti ikan segar yang dijajakan di sekitaran Jembatan IV Palu yang naik rata-rata sekitar 300%.  Ikan yang biasanya Rp. 350 ribu/boknya bisa mencapai Rp.1,5 juta/boksnya atau ikan ekor kuning yang biasanya Rp. 350 ribu/termosnya naik hingga 750 ribu/termosnya (Radar Sulteng, 22 Juli 2015).
Ketersediaan stok ikan yang naik turun selain akan menganggu stabilitas ekonomi (walaupun kadang sesaat) tetapi juga memberikan rasa pesimis dari kalangan pengusaha untuk menanamkan investasi perikanan di daerah dan sekaligus melemahkan posisi daerah sebagai penyanggah kedaulatan pangan secara nasional.  Untuk itu ada beberapa upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas stok pangan ikan segar dan diversifikasinya yaitu (i) meningkatkan dan mengefisienkan fungsi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang dilengkapi dengan sarana chilling room, cold storage atau pabrik es untuk menjamin ketersediaan ikan dan stabilitas harga yang ditempatkan pada kampung-kampung nelayan, (ii) memberikan stimulant (rangsangan) kepada masyarakat untuk menciptakan diversifikasi pangan ikan sebagai bagian upaya menjadikan sektor perikanan penyerap tenaga kerja, (iii) membuat regulasi tentang pengaturan pemasaran hasil ikan dan menciptakan pasar yang baik di dalam daerah untuk mencegah terjadinya stok ikan yang dipasarkan keluar ke daerah lainnya dan (iv) memberikan informasi tentang kondisi cuaca dan daerah fishing ground kepada setiap kelompok nelayan.
Mudah-mudahan melalui upaya pemerintah saat ini dan dilanjutkan dengan pemerintahan daerah di masa mendatang dapat merealisasikan kebijakan-kebijakan yang pro kepada masyarakat berbasis pengelolaan dan pengembangan sektor perikanan khususnya untuk mendukung swasembada pangan Nasional di tahun 2017 dan sekaligus menstabilkan sumbangsih inflasi dari kelompok makanan termasuk ikan segar.

*Penulis : Inisiator ISPIKANI Sulteng, Ka.Subbid Ekonomi I Bappeda Prov. Sulteng

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...