Rabu, 19 Agustus 2020

Pertumbuhan Ekonomi Mengalami Kontraksi Sudah Saatnya Kerja Extraordinary Bagaimana dengan Sulawesi Tengah?

Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*


Beberapa hari lalu BPS Pusat merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester I tahun 2020 yang menunjukkan angka di luar dugaan.  Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi baik secara kuartal, kumulatif maupun tahunan. Secara kuartal angka kontraksi mencapai minus 4,19 persen (q-to-q), secara kumulatif mengalami kontraksi minus 1,26 persen (c-to-c) dan lebih parah lagi secara tahunan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi minus 5,32 persen (y-on-y).  Kontribusi sektor terbesar dari angka kontraksi tersebut disumbangkan oleh Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan dengan kontraksi pertumbuhan tertinggi mencapai minus 30,84 persen serta Lapangan Usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum mencapai minus 22,02 persen (BRS, 2020).

Kontraksi minus 5,32 persen dianggap sebagai angka yang cukup mengkhawatirkan karena merupakan angka terendah semenjak triwulan I tahun 1999 yang pada saat itu Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 6,13 persen.  Angka kontraksi ini juga meleset dari perkiraan Kemenkeu yang memproyeksi sekitar minus 3,8 persen dan sekaligus menjadi realisasi lebih buruk dari batas bawah yang diprediksi oleh Kemenkeu sebesar 5,1 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang anjlok menyadarkan kepada kita semua bahwa dampak Covid-19 terhadap semua sektor tidak terkecuali ekonomi cukup berat.  Terutama sektor Transportasi dan Pergudangan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam penerapan Work From Home (WFH) untuk mencegah penyebaran covid-19 yang lebih masif selain kebijakan larangan mudik pada idul fitri 1441 H.  Untuk Lapangan Usaha Makan Minum terimbas karena turunnya jumlah wisatawan mancanegara dan domestik serta ditutupnya obyek-obyek wisata, rekreasi dan hiburan yang berpengaruh juga pada sepinya pengunjung hotel dan restoran di seluruh wilayah Indonesia.

Perihal tersebutlah yang kemudian di wanti-wanti oleh Bapak Presiden Jokowi pada rapat terbatas bersama jajaran menterinya di Kabinet Indonesia Maju pada tanggal 18 Juni lalu yang vidionya sempat viral 10 hari kemudian pada tanggal 28 Juni.  Rapat tersebut viral karena bapak presiden sempat marah-marah kepada menterinya karena realisasi pembangunan yang masih minim menunjukkan bahwa kapasitas kerja masih biasa-biasa saja padahal kondisi ekonomi Indonesia kian terasa memburuk.  Pada rapat inilah kemudian terdengar istilah extraordinary, dimana presiden menginginkan agar kerja kita harus extraordinary untuk mengejar segala ketertinggalan yang ada.

Sorotan Presiden adalah pada rendahnya realisasi fisik dan keuangan pemerintah yang rata-rata masih kurang dari 30% padahal sudah memasuki pertengahan tahun, jika realisasi kecil maka kemanfaatan program dan kegiatan kepada masyarakat juga rendah mengakibatkan pemanfaatan fasilitas-fasilitas publik seperti fasilitas jalan, jembatan, pelabuhan, gedung sekolah dan rumah sakit yang memberikan stimulan kepada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat juga akan minim.  Selain itu, rendahnya realisasi akan menahan beredarnya uang di tengah-tengah masyarakat yang memicu pada melemahnya daya beli masyarakat.

Perekonomian yang mengalami kontraksi menunjukkan bahwa ada kontribusi dari lapangan kerja yang memberikan andil negatif atau non produktif dan konsekuensinya pemerintah harus menutupi kelemahan itu, yang kemudian disebut dengan “beban negara”.  Beban negara secara ekonomi akan memaksa pemerintah untuk berutang lagi atas kebutuhan yang diperlukan dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).  Walaupun SUN yang sering digunakan sebagai kebijakan untuk menutupi APBN yang mengalami defisit disamping kebutuhan dan pembangunan yang harus tetap dijalankan tetap dianggap sebagai penambah utang negara yang bisa jadi menjadi beban dikemudian hari. Akumulasi-akumulasi dari defisit anggaran menyebabkan utang negara.

Kata extraordinary dipadankan dengan kata incredible, unbelievable atau unusual dalam Bahasa inggris yang berarti luar biasa, tidak biasanya atau di luar batas sehingga jika ini yang diinginkan maka kerja yang dimaksud adalah jauh lebih hebat dibandingkan sebelum pandemic covid-19, di masa “new normal” ini kerja harus lebih keras dengan speed yang lebih untuk mencapai target-target yang diinginkan.  Tentunya langkah strategis yang dilakukan selain pengendalian penyebaran virus adalah pemulihan ekonomi secara bertahap dengan mematuhi protokol kesehatan yang ada.

Penanggulangan covid jauh lebih penting karena menyangkut nyawa orang banyak.  Olehnya pada tahapan yang memasuki akhir tahun ini, negara dan daerah berupaya keras dalam penanggulangannya di samping secara perlahan memulihkan ekonomi untuk mencegah terjadinya keterpurukan ekonomi yang lebih parah.

Pemerintah pusat telah membuat respon kebijakan dalam menghadapi Covid19 di Indonesia dengan membaginya dalam 4 tahap dan jika kita cermati, maka hanya tahapan pertama yang berorientasi pada penanggulangan covid secara langsung yaitu pada support sektor kesehatan sedangkan selebihnya pada arah pemulihan ekonomi dan keuangan. Adapun tahapan-tahapan itu, adalah sebagai berikut : Tahapan I, yaitu Penguatan Fasilitas Kesehatan yang terdiri atas peningkatan perilaku sehat  dan social distancing; pemenuhan kapasitas laboratorium (reagen, alat  test dan sarana laboratorium) serta penanganan pasien (APD, alkes, sarana dan prasarana  kesehatan).  Tahapan II yaitu Melindungi Kelompok Masyarakat Rentan dan Dunia Usaha, yang terdiri atas perluasan bantuan sosial, listrik gratis, kartu pra kerja; keringanan pajak untuk  dunia usaha dan pekerja, dan  keringanan kredit untuk  dunia usaha serta program pemulihan ekonomi  untuk dunia usaha dan UMKM.  Tahapan III yaitu Mengurangi Tekanan Sektor Keuangan, yang terdiri atas stimulus moneter dan keuangan, bantuan likuiditas terhadap  sektor keuangan serta penurunan suku bunga.  Sedangkan Tahap IV yaitu Program Pemulihan Ekonomi Pasca Covid yaitu memberikan arah pemulihan ekonomi untuk  mengejar target yang telah ditetapkan dalam RPJMN  2020-2024.

Secara regulasi pada tahapan I Pemerintah melalui mendagri mengeluarkan Permendagri No. 20 tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 di Lingkungan Pemerintah Daerah yang pada prinsipnya mengarahkan untuk mengambil langkah antisipasi pengeluaran akibat penanganan Covid-19 yang belum ada anggarannya untuk dibebankan pada Belanja Tidak Terduga yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD.  Apabila belanja tidak  terduga tidak mencukupi,  maka dapat menggunakan dana dari hasil  penjadwalan ulang capaian program dan  kegiatan lainnya serta  pengeluaran pembiayaan  dalam tahun anggaran  berjalan; serta memanfaatkan uang kas yang tersedia.  Jika hal ini ditempuh, maka penjadwalan ulang capaian program dan kegiatan diformulasikan terlebih dahulu dalam perubahan  dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja  perangkat daerah selanjutnya mekanisme pergeseran/perubahan DPA melalui  perubahan penjabaran APBD yang ditetapkan  dalam Perkada dan selanjutnya dimasukkan ke dalam Perda Perubahan APBD.  Regulasi ini ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran & Percepatan  Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Lingkungan Pemerintah Daerah, dimana setiap daerah diwajibkan mengalokasikan anggaran kegiatan tertentu (refocusing) untuk penanganan kesehatan, dampak ekonomi dan penyediaan jaring pengamanan social (social safety net).

 

Bagaimana dengan Sulawesi Tengah?

Ekonomi Sulawesi Tengah berdasarkan rilis BPS Sulawesi Tengah (2020) juga mengalami kontraksi minus 0,06 persen jika dibandingkan antara tri wulan II tahun 2020 dengan tri wulan II tahun 2019 (y-on-y) adapun sektor yang memberikan andil negatif sama dengan kondisi Indonesia umumnya yaitu sektor Transportasi & Pergudangan minus 52,18%; sektor Akomodasi & makan minum mencapai minus 36,67% serta sektor konstruksi sebesar minus 9,25%.  Gejala kontraksi ini tidak begitu parah karena dapat diimbangi oleh tiga sektor yang mengalami pertumbuhan yaitu Industri Pengolahan sebesar 21,11 persen, Informasi dan Komunikasi sebesar 10,40 persen serta Pertambangan dan Penggalian sebesar 9,50 persen.

Melihat keterpurukan ini, maka sejogyanya Sulawesi Tengah juga mengambil peran dan mendukung secara nasional dengan cara kerja yang tidak biasanya atau extraordinary.  Meningkatkan kinerja aparatur pemerintah dan pelayanan publik serta meningkatkan daya serap keuangan daerah yang lebih efektif dan efisien.

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi Sulawesi Tengah sebagai berikut : (i) mengalokasikan program dan kegiatan prioritas penanggulangan dan pemulihan kembali kesehatan masyarakat akibat pandemi covid-19 dan peningkatan sarana dan prasarana pelayanan rumah sakit; (ii) membangkitkan kemampuan perekonomian daerah pasca bencana dan pandemi covid-19 dengan memulihkan & menciptakan lapangan kerja; (iii) peningkatan nilai tambah (add value) sumberdaya alam hasil olahan pada industri hulu berbasis agro, maritim, hasil hutan, mineral dan migas; (iv) mendorong percepatan pertumbuhan kawasan produksi dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lainnya, khususnya UMKM dan Usaha Mikro Rakyat sebagai sumber penggerak utama pertumbuhan dengan menggali potensi unggulan daerah; (v) peningkatan investasi daerah untuk memperluas kesempatan kerja; serta (vi) percepatan pembangunan ekonomi berbasis maritim dengan memanfaatkan sumberdaya dan jasa kemaritiman.

Tentunya kita semua memiliki harapan dan keinginan akan kebangkitan ekonomi itu terwujud. Dan sangat lah mungkin dengan modal SDA yang berlimpah di Sulawesi Tengah asalkan dengan syarat dilaksanakan oleh SDM yang mumpuni, berkinerja dan berpikir extraordinary. Selamat bekerja untuk kita sekalian.


*Kepala Sub Bidang Perencanaan Ekonomi BAPPEDA Provinsi Sulteng

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...