Oleh.
Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*
Ikan khususnya ikan laut merupakan sumberdaya yang unik karena sifatnya
yang fugitive atau “sumberdaya yang
diburu” sehingga memerlukan pengelolaan yang spesifik sesuai karakteristiknya.
Sumberdaya ikan terkadang melimpah dan memiliki harga jual lebih rendah tetapi
lebih sering kurang ketersediaannya dengan harga jual lebih tinggi dari
kelompok makanan lainnya. Alasan klasik
ketersediaan jumlah ikan berkurang karena para nelayan tidak melaut disebabkan
cuaca buruk.
Ketersediaan jumlah ikan segar yang fluktuatif itu ternyata dapat memicu
tingkat inflasi daerah karena ikan sebagai sumber pangan utama penyedia protein
hewani. Hal inilah yang menarik menjadi pembahasan ternyata untuk beberapa
daerah memiliki masyarakat yang sangat tergantung pada pangan ikan segar. Pada bulan Mei 2015 Kota Palu pernah mencapai
inflasi tertinggi di Indonesia yaitu 2,24% dari 81 kota yang mengalami inflasi
sedangkan yang terendah berada di Singkawang sebesar 0,03%. Tingkat inflasi ini diukur berdasarkan perubahan
harga rata-rata tertimbang dari barang atau jasa yang dikonsumsi oleh rumah
tangga atau masyarakat (consumer price
index). Ikan segar masuk dalam
kelompok bahan makanan dengan penyumbang inflasi tertinggi sebesar 11,03% untuk
Mei 2015 (BPS Sulteng 2015). Nilai ini
semakin tinggi karena kelompok bahan makanan memiliki bobot paling tinggi (weightage) sebagai pertimbangan kelompok
barang yang sangat diperlukan bagi masyarakat.
Kondisi inflasi Kota Palu ini tiba-tiba bisa berbalik begitu cepat hanya
dalam waktu sebulan berikutnya yaitu Bulan Juni 2015. Berdasarkan analisis pengendalian Inflasi
Provinsi Sulawesi Tengah Bulan Juni 2015, Kota Palu mengalami inflasi sebesar
0,03% (mtm) atau 6,00% (yoy) dan realisasi inflasi yang terjadi lebih rendah
dari realisasi inflasi pada bulan sebelumnya (Mei 2015) yang mencapai 2,24%
(mtm) atau 6,96% (yoy). Tingkat inflasi
ini menjadikan Kota Palu sebagai kota dengan tingkat inflasi terendah
se-Indonesia. Dan penyebab turunnya
inflasi ini didorong oleh menurunnya harga dari sub-kelompok ikan segar sebesar
8,41% (mtm) sekaligus penyumbang deflasi.
Jenis ikan segar yang dimaksud yaitu ikan layang dengan andil deflasi
sebesar 0,17%, ikan cakalang sebesar 0,17%, ikan ekor kuning sebesar 0,12% dan
ikan selar (0,11%).
Dari fenomena diatas menunjukkan bahwa ikan segar khususnya di Kota Palu
dapat dianggap sebagai salah satu faktor utama bergerak naik atau turunnya
tingkat inflasi maka sudah sepantasnya kebijakan-kebijakan yang menyangkut
dengan ketersediaan keterjaminan stok ikan segar harus diupayakan.
Kebijakan Ikan
Kebijakan yang berkenaan dengan ikan atau singkatnya “kebijakan
ikan” berkaitan dengan inflasi paling fenomenal pernah dilakukan oleh Presiden
Christina Fernandes untuk menanggulangi negaranya dari penyakit ekonomi yaitu
inflasi. Saat itu, mayoritas penduduk
Argentina adalah pengkonsumsi daging sedangkan harga daging di Buenos Aires
naik mencapai 30% dan memicu inflasi secara umum. Presiden Wanita ini melakukan langkah yang
sangat tidak konvensional dalam memerangi inflasi bukannya dia mengeluarkan
kebijakan fiskal atau moneter untuk menekan inflasi tetapi justru menggunakan
ikan untuk menekan inflasi dengan slogannya
“Now there’s fish for everyone” yang mengandung makna bahwa setiap warga
Negara harus beli dan makan ikan lalu dia menggelontorkan program “ikanisasi”
yaitu menyediakan ikan murah bagi masyarakat yang dijual dengan truk-truk yang
dihiasi warna biru agar lebih menarik.
Walaupun contoh kenyataan ini memiliki komparasi yang sangat berbeda baik dari
ketersediaan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusianya dengan Negara dan
daerah kita tetapi paling tidak menunjukkan bahwa sektor perikanan dapat
memberikan harapan dan peran nyata dalam pembangunan suatu Negara atau daerah
dalam hal penyediaan pangan ikan.
Permasalahan yang kita temui
terutama di daerah kawasan timur Indonesia termasuk Sulawesi Tengah adalah
ketersediaan ikan yang tidak bisa kontinyu.
Bukan karena ikan di laut menipis (depletion)
tetapi karena ketidakmampuan menjaga daya awet ikan lebih panjang atau
rendahnya fasilitas diversifikasi pangan yang ada sehingga mengakibatkan
nelayan sama susah di saat ikan banyak dan di saat ikan kurang. Kondisi jumlah ikan yang dipasarkan inilah
yang memberikan andil besar pada kondisi inflasi yang labil dan bahkan mungkin
bisa mempengaruhi harga-harga barang secara umum.
Sumberdaya
Fugitive
Dieksploitasi berdasarkan doktrin res
nullius yang dalam bahasa latin berarti obyek yang semestinya bisa dimiliki
namun tidak bisa dimiliki oleh individu.
Berdasarkan kaidah inilah kemudian pemilikan menjadi common property (milik bersama). Sumberdaya ikan bebas dilaut siapa saja bisa
mengambilnya asalkan memiliki teknologi penangkapannya. Pada rentang waktu cuaca membaik dan bisa
melaut suatu kawasan fishing ground
dapat menjadi ajang rebutan dan beberapa kasus lokasi dapat menjadi tragedy of the common (tragedi
kepemilikan bersama) dan memicu over
fishing dalam ruang yang lebih sempit karena kemampuan teknologi
penangkapan yang sederhana dan hampir seragam dengan sasaran tangkapan jenis
ikan yang sama. Praktek penangkapan ini
yang memperjelas ikan sebagai sumberdaya yang fugitive.
Pengelolaan penyediaan stok ikan bagaimanapun harus ditinjau dari aspek
ekonomi dengan mengontrol harga serta ketersediaannya karena aspek biologi
memandang bahwa eksploitasi berlebih dari suatu sumberdaya terjadi apabila
rasio harga sumberdaya itu lebih tinggi dari operasi eksploitasinya termasuk
ikan. Oleh karena itu, kebijakan yang
paling baik adalah tetap menjaga stabilitas harga ikan dengan memberikan
fasilitas penyimpanan bagi nelayan.
Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2015 akan menetapkan Provinsi Sulawesi Tengah
sebagai daerah percontohan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang hampir
mirip dengan metode Bulog untuk menjaga stok dan stabilitas harga pangan beras.
Pengembangan SLIN yang berbasis di Pelabuhan
Perikanan diharapkan menciptakan stabilitas harga di tingkat nelayan maupun
konsumen dan sekaligus dapat menekan laju inflasi serta membuka peluang
pengembangan industri olahan. Potensi pengembangan sektor kelautan dan
perikanan di Sulawesi Tengah sangat besar mengingat Sulawesi Tengah sebagai
provinsi yang memiliki tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu WPP-RI
713 di Selat Makassar, WPP-RI 714 di Teluk Tolo dan WPP-RI 715 di teluk Tomini.
Jenis inflasi yang terjadi akibat kekurangan pangan ikan dapat
dikategorikan sebagai inflasi karena kenaikan permintaan (demand pull inflation)
sedangkan penawaran tetap. Kondisi ini terjadi karena permintaan
masyarakat meningkat secara bersamaan (aggregate
demand) terhadap pangan ikan.
Walaupun inflasi Kota Palu dapat dimaklumi terjadi diantara Bulan Mei
sampai dengan Bulan Juni 2015 dimana secara umum permintaan naik karena
memasuki Bulan Ramadhan dan Idul Fitri 2015 tetapi khusus untuk pangan ikan
segar tetap sebagai faktor terbesar dalam kelompok bahan makanan pemicu
inflasi. Berdasarkan tinjauan lapangan
akhir bulan Juli 2015 bahwa harga ikan segar di Palu kembali naik lagi seperti
ikan segar yang dijajakan di sekitaran Jembatan IV Palu yang naik rata-rata sekitar
300%. Ikan yang biasanya Rp. 350 ribu/boknya
bisa mencapai Rp.1,5 juta/boksnya atau ikan ekor kuning yang biasanya Rp. 350
ribu/termosnya naik hingga 750 ribu/termosnya (Radar Sulteng, 22 Juli 2015).
Ketersediaan stok ikan yang naik turun selain akan menganggu stabilitas
ekonomi (walaupun kadang sesaat) tetapi juga memberikan rasa pesimis dari
kalangan pengusaha untuk menanamkan investasi perikanan di daerah dan sekaligus
melemahkan posisi daerah sebagai penyanggah kedaulatan pangan secara nasional. Untuk itu ada beberapa upaya yang mungkin
dapat dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas stok pangan ikan segar dan
diversifikasinya yaitu (i) meningkatkan dan mengefisienkan fungsi Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) yang dilengkapi dengan sarana chilling room, cold storage atau pabrik es untuk menjamin
ketersediaan ikan dan stabilitas harga yang ditempatkan pada kampung-kampung
nelayan, (ii) memberikan stimulant (rangsangan) kepada masyarakat untuk
menciptakan diversifikasi pangan ikan sebagai bagian upaya menjadikan sektor
perikanan penyerap tenaga kerja, (iii) membuat regulasi tentang pengaturan
pemasaran hasil ikan dan menciptakan pasar yang baik di dalam daerah untuk
mencegah terjadinya stok ikan yang dipasarkan keluar ke daerah lainnya dan (iv)
memberikan informasi tentang kondisi cuaca dan daerah fishing ground kepada setiap kelompok nelayan.
Mudah-mudahan melalui upaya
pemerintah saat ini dan dilanjutkan dengan pemerintahan daerah di masa
mendatang dapat merealisasikan kebijakan-kebijakan yang pro kepada masyarakat
berbasis pengelolaan dan pengembangan sektor perikanan khususnya untuk mendukung
swasembada pangan Nasional di tahun 2017 dan sekaligus menstabilkan sumbangsih
inflasi dari kelompok makanan termasuk ikan segar.
*Penulis
: Inisiator ISPIKANI Sulteng, Ka.Subbid Ekonomi I Bappeda Prov. Sulteng