Jumat, 21 Agustus 2015

IKAN SUMBERDAYA FUGITIVE PEMICU INFLASI KOTA PALU

Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

Ikan khususnya ikan laut merupakan sumberdaya yang unik karena sifatnya yang fugitive atau “sumberdaya yang diburu” sehingga memerlukan pengelolaan yang spesifik sesuai karakteristiknya. Sumberdaya ikan terkadang melimpah dan memiliki harga jual lebih rendah tetapi lebih sering kurang ketersediaannya dengan harga jual lebih tinggi dari kelompok makanan lainnya.  Alasan klasik ketersediaan jumlah ikan berkurang karena para nelayan tidak melaut disebabkan cuaca buruk. 
Ketersediaan jumlah ikan segar yang fluktuatif itu ternyata dapat memicu tingkat inflasi daerah karena ikan sebagai sumber pangan utama penyedia protein hewani. Hal inilah yang menarik menjadi pembahasan ternyata untuk beberapa daerah memiliki masyarakat yang sangat tergantung pada pangan ikan segar.  Pada bulan Mei 2015 Kota Palu pernah mencapai inflasi tertinggi di Indonesia yaitu 2,24% dari 81 kota yang mengalami inflasi sedangkan yang terendah berada di Singkawang sebesar 0,03%.  Tingkat inflasi ini diukur berdasarkan perubahan harga rata-rata tertimbang dari barang atau jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga atau masyarakat (consumer price index).  Ikan segar masuk dalam kelompok bahan makanan dengan penyumbang inflasi tertinggi sebesar 11,03% untuk Mei 2015 (BPS Sulteng 2015).  Nilai ini semakin tinggi karena kelompok bahan makanan memiliki bobot paling tinggi (weightage) sebagai pertimbangan kelompok barang yang sangat diperlukan bagi masyarakat.
Kondisi inflasi Kota Palu ini tiba-tiba bisa berbalik begitu cepat hanya dalam waktu sebulan berikutnya yaitu Bulan Juni 2015.  Berdasarkan analisis pengendalian Inflasi Provinsi Sulawesi Tengah Bulan Juni 2015, Kota Palu mengalami inflasi sebesar 0,03% (mtm) atau 6,00% (yoy) dan realisasi inflasi yang terjadi lebih rendah dari realisasi inflasi pada bulan sebelumnya (Mei 2015) yang mencapai 2,24% (mtm) atau 6,96% (yoy).  Tingkat inflasi ini menjadikan Kota Palu sebagai kota dengan tingkat inflasi terendah se-Indonesia.  Dan penyebab turunnya inflasi ini didorong oleh menurunnya harga dari sub-kelompok ikan segar sebesar 8,41% (mtm) sekaligus penyumbang deflasi.  Jenis ikan segar yang dimaksud yaitu ikan layang dengan andil deflasi sebesar 0,17%, ikan cakalang sebesar 0,17%, ikan ekor kuning sebesar 0,12% dan ikan selar (0,11%).
Dari fenomena diatas menunjukkan bahwa ikan segar khususnya di Kota Palu dapat dianggap sebagai salah satu faktor utama bergerak naik atau turunnya tingkat inflasi maka sudah sepantasnya kebijakan-kebijakan yang menyangkut dengan ketersediaan keterjaminan stok ikan segar harus diupayakan.

Kebijakan Ikan
            Kebijakan yang berkenaan dengan ikan atau singkatnya “kebijakan ikan” berkaitan dengan inflasi paling fenomenal pernah dilakukan oleh Presiden Christina Fernandes untuk menanggulangi negaranya dari penyakit ekonomi yaitu inflasi.  Saat itu, mayoritas penduduk Argentina adalah pengkonsumsi daging sedangkan harga daging di Buenos Aires naik mencapai 30% dan memicu inflasi secara umum.  Presiden Wanita ini melakukan langkah yang sangat tidak konvensional dalam memerangi inflasi bukannya dia mengeluarkan kebijakan fiskal atau moneter untuk menekan inflasi tetapi justru menggunakan ikan untuk menekan inflasi dengan slogannya “Now there’s fish for everyone” yang mengandung makna bahwa setiap warga Negara harus beli dan makan ikan lalu dia menggelontorkan program “ikanisasi” yaitu menyediakan ikan murah bagi masyarakat yang dijual dengan truk-truk yang dihiasi warna biru agar lebih menarik.
Walaupun contoh kenyataan ini memiliki komparasi yang sangat berbeda baik dari ketersediaan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusianya dengan Negara dan daerah kita tetapi paling tidak menunjukkan bahwa sektor perikanan dapat memberikan harapan dan peran nyata dalam pembangunan suatu Negara atau daerah dalam hal penyediaan pangan ikan.
            Permasalahan yang kita temui terutama di daerah kawasan timur Indonesia termasuk Sulawesi Tengah adalah ketersediaan ikan yang tidak bisa kontinyu.  Bukan karena ikan di laut menipis (depletion) tetapi karena ketidakmampuan menjaga daya awet ikan lebih panjang atau rendahnya fasilitas diversifikasi pangan yang ada sehingga mengakibatkan nelayan sama susah di saat ikan banyak dan di saat ikan kurang.   Kondisi jumlah ikan yang dipasarkan inilah yang memberikan andil besar pada kondisi inflasi yang labil dan bahkan mungkin bisa mempengaruhi harga-harga barang secara umum.

Sumberdaya Fugitive
Dieksploitasi berdasarkan doktrin res nullius yang dalam bahasa latin berarti obyek yang semestinya bisa dimiliki namun tidak bisa dimiliki oleh individu.  Berdasarkan kaidah inilah kemudian pemilikan menjadi common property (milik bersama).  Sumberdaya ikan bebas dilaut siapa saja bisa mengambilnya asalkan memiliki teknologi penangkapannya.  Pada rentang waktu cuaca membaik dan bisa melaut suatu kawasan fishing ground dapat menjadi ajang rebutan dan beberapa kasus lokasi dapat menjadi tragedy of the common (tragedi kepemilikan bersama) dan memicu over fishing dalam ruang yang lebih sempit karena kemampuan teknologi penangkapan yang sederhana dan hampir seragam dengan sasaran tangkapan jenis ikan yang sama.  Praktek penangkapan ini yang memperjelas ikan sebagai sumberdaya yang fugitive.
Pengelolaan penyediaan stok ikan bagaimanapun harus ditinjau dari aspek ekonomi dengan mengontrol harga serta ketersediaannya karena aspek biologi memandang bahwa eksploitasi berlebih dari suatu sumberdaya terjadi apabila rasio harga sumberdaya itu lebih tinggi dari operasi eksploitasinya termasuk ikan.  Oleh karena itu, kebijakan yang paling baik adalah tetap menjaga stabilitas harga ikan dengan memberikan fasilitas penyimpanan bagi nelayan.
Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2015 akan menetapkan Provinsi Sulawesi Tengah sebagai daerah percontohan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang hampir mirip dengan metode Bulog untuk menjaga stok dan stabilitas harga pangan beras.
Pengembangan SLIN yang berbasis di Pelabuhan Perikanan diharapkan menciptakan stabilitas harga di tingkat nelayan maupun konsumen dan sekaligus dapat menekan laju inflasi serta membuka peluang pengembangan industri olahan. Potensi pengembangan sektor kelautan dan perikanan di Sulawesi Tengah sangat besar mengingat Sulawesi Tengah sebagai provinsi yang memiliki tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu WPP-RI 713 di Selat Makassar, WPP-RI 714 di Teluk Tolo dan WPP-RI 715 di teluk Tomini.
Jenis inflasi yang terjadi akibat kekurangan pangan ikan dapat dikategorikan sebagai inflasi karena kenaikan permintaan (demand pull inflation) sedangkan penawaran tetap.  Kondisi ini terjadi karena permintaan masyarakat meningkat secara bersamaan (aggregate demand) terhadap pangan ikan.  Walaupun inflasi Kota Palu dapat dimaklumi terjadi diantara Bulan Mei sampai dengan Bulan Juni 2015 dimana secara umum permintaan naik karena memasuki Bulan Ramadhan dan Idul Fitri 2015 tetapi khusus untuk pangan ikan segar tetap sebagai faktor terbesar dalam kelompok bahan makanan pemicu inflasi.  Berdasarkan tinjauan lapangan akhir bulan Juli 2015 bahwa harga ikan segar di Palu kembali naik lagi seperti ikan segar yang dijajakan di sekitaran Jembatan IV Palu yang naik rata-rata sekitar 300%.  Ikan yang biasanya Rp. 350 ribu/boknya bisa mencapai Rp.1,5 juta/boksnya atau ikan ekor kuning yang biasanya Rp. 350 ribu/termosnya naik hingga 750 ribu/termosnya (Radar Sulteng, 22 Juli 2015).
Ketersediaan stok ikan yang naik turun selain akan menganggu stabilitas ekonomi (walaupun kadang sesaat) tetapi juga memberikan rasa pesimis dari kalangan pengusaha untuk menanamkan investasi perikanan di daerah dan sekaligus melemahkan posisi daerah sebagai penyanggah kedaulatan pangan secara nasional.  Untuk itu ada beberapa upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas stok pangan ikan segar dan diversifikasinya yaitu (i) meningkatkan dan mengefisienkan fungsi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang dilengkapi dengan sarana chilling room, cold storage atau pabrik es untuk menjamin ketersediaan ikan dan stabilitas harga yang ditempatkan pada kampung-kampung nelayan, (ii) memberikan stimulant (rangsangan) kepada masyarakat untuk menciptakan diversifikasi pangan ikan sebagai bagian upaya menjadikan sektor perikanan penyerap tenaga kerja, (iii) membuat regulasi tentang pengaturan pemasaran hasil ikan dan menciptakan pasar yang baik di dalam daerah untuk mencegah terjadinya stok ikan yang dipasarkan keluar ke daerah lainnya dan (iv) memberikan informasi tentang kondisi cuaca dan daerah fishing ground kepada setiap kelompok nelayan.
Mudah-mudahan melalui upaya pemerintah saat ini dan dilanjutkan dengan pemerintahan daerah di masa mendatang dapat merealisasikan kebijakan-kebijakan yang pro kepada masyarakat berbasis pengelolaan dan pengembangan sektor perikanan khususnya untuk mendukung swasembada pangan Nasional di tahun 2017 dan sekaligus menstabilkan sumbangsih inflasi dari kelompok makanan termasuk ikan segar.

*Penulis : Inisiator ISPIKANI Sulteng, Ka.Subbid Ekonomi I Bappeda Prov. Sulteng

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...