Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*
Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini diperingati beberapa perihal penting tentang kesejahteraan, diantaranya hari pengentasan kemiskinan internasional, Hari Pangan Sedunia (HPS), hari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lainnya. Pada opini ini, akan membahas tentang upaya pengentasan kemiskinan pada skala nasional dan daerah yang ada hubungannya juga dengan ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan serta kepatuhan dan ketaatan sebagai kunci keberhasilan dalam penghapusan kemiskinan.
Sampai saat ini, upaya pengentasan kemiskinan baik skala nasional maupun skala daerah masih terus dilakukan dengan berbagai konsep, model, teori dan skema. Kita bisa sebut model-model pengentasan kemiskinan berbasis masyarakat, berbasis keluarga, berbasis kearifan lokal (local wisdom), berbasis pertanian, berbasis masyarakat pesisir, berbasis gender, berbasis institusi lokal, berbasis partisipasi masyarakat, berbasis ekonomi lokal (UMKM) dan sebagainya yang disertai dengan program-program unggulan seperti : program keluarga harapan (PKH), bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan siswa miskin, PNPM, Jamkesmas, Raskin, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan sebagainya.
Walaupun demikian, penurunan kemiskinan belum terlihat signifikan padahal sudah dilakukan ikhtiar yang maksimal. Data BPS terakhir pada Bulan Maret tahun 2022, kemiskinan nasional masih sebesar 9,54 persen atau ada sekitar 26,16 juta orang yang miskin, walaupun mengalami penurunan sebesar 0,17 persen (1,38 juta orang) persentase ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan rentang target penurunan nasional tahun 2024 sebesar 6,5 s.d 7,0 persen karena waktu yang dibutuhkan kurang dari 2 tahun lagi, termasuk untuk target kemiskinan ekstrem (desil 1) adalah 0% pada tahun 2024. Demikian juga, untuk data bersumber BPS Sulteng bahwa persentase kemiskinan maret tahun 2022 di Sulawesi Tengah yaitu 12,33 persen atau terdapat 388,35 ribu orang miskin, kondisi ini lebih tinggi dari September 2021 sebesar 12,18 persen atau ada ketambahan orang miskin di Sulawesi Tengah sebesar 7,14 ribu orang dalam rentang waktu 6 bulan. Pada data tersebut menunjukkan juga adanya peningkatan jumlah penduduk miskin di perkotaan sebesar 3,59 ribu orang dan di pedesaan naik sebesar 3,55 ribu orang di Sulawesi Tengah. Sedangkan untuk persentase penduduk miskin Sulawesi Tengah sebesar 12,33 persen berada pada urutan kedua tertinggi se-Pulau Sulawesi setelah Gorontalo sebesar 15,42 persen. Angka 2 digit persen kemiskinan Sulawesi Tengah ini, akan memerlukan upaya keras karena harus diturunkan menjadi 1 digit atau sebesar 7,9 persen pada tahun 2026.
Angka kemiskinan secara nasional dan lokal Sulawesi Tengah memiliki komposisi Garis Kemiskinan Makanan yang lebih tinggi dari Non-makanan. Garis kemiskinan nasional maret 2022 yang sebesar Rp. 505.469/kapita/bulan terdiri atas garis kemiskinan makanan sebesar 74,08 persen (Rp. 374.455) sedangkan garis kemiskinan non makanan hanya sebesar 25,92 persen (Rp. 131.014). Demikian juga untuk daerah Sulawesi Tengah dimana Garis Kemiskinan Maret 2022 tercatat sebesar Rp. 530.251/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar 76,20 persen (Rp. 404.034), dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar 23,80 (Rp. 126.217). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk memenuhi kecukupan pangan adalah sangat menentukan status seseorang itu dikatakan miskin atau non miskin karena mempengaruhi jumlah besarnya pengeluaran dari masyarakat yang dinilai total sebagai jumlah batas garis kemiskinan. Dari data yang dirilis oleh BPS Sulteng sumbangan terbesar pada garis kemiskinan diperkotaan dan di pedesaan pada umumnya sama. Pada kelompok makanan andil terbesar yaitu Beras sebesar 20,02 persen di perkotaan dan 23,90 persen di perdesaan, diikuti rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap garis kemiskinan, sebesar 17,07 persen di perkotaan dan 17,22 persen di perdesaan. Selanjutnya adalah ikan tongkol, telur ayam ras, dan mie instan. Sementara itu, untuk komoditi bukan makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan perkotaan dan perdesaan adalah perumahan (11,43 persen di perkotaan, dan 9,17 persen di perdesaan), diikuti bensin dan listrik.
Dari data tersebut diatas, dapat dipahami bahwa biaya untuk kebutuhan pangan adalah faktor terpenting yang mempengaruhi naik dan turunnya angka kemiskinan baik itu untuk masyarakat yang memang telah berada dibawah garis kemiskinan maupun masyarakat yang berada pada kelompok rentan atau hampir miskin (near poor). Untuk keadaan sekarang, sangat memungkinkan jika angka kemiskinan kembali bergerak naik karena dipengaruhi oleh imbasnya naiknya bahan bakar minyak yang selanjutnya berpengaruh pada proses produksi, distribusi dan pemasaran pangan. Yang jelas bahwa, salah satu strategi untuk menekan angka kemiskinan yaitu dengan melakukan intervensi terhadap harga kebutuhan pangan. seperti : menghindari ketergantungan terhadap pangan impor, mengatur dan mengawasi distribusi pangan antar pulau, antar provinsi serta melakukan operasi pasar. Intervensi pangan hanya merupakan contoh dari salah satu intervensi disamping masih banyak lagi yang harus dilakukan dan saling terkait satu dengan lainnya, seperti : intervensi pada peningkatan nilai tukar petani, tingkat pengangguran terbuka, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, jaringan listrik dan air bersih, jaringan internet, sarana dan prasarana kesehatan serta karakteristik masyarakat sesuai tempat tinggal (pesisir, pegunungan, pulau-pulau kecil).
Tugas pengentasan kemiskinan ini teramat mulia karena menyangkut kepentingan menyelamatkan kehidupan masyarakat dari buruk menjadi lebih baik tetapi memang sangat berat karena meliputi hampir semua aspek yang terkait. Pertanyaan selanjutnya, kalau demikian siapa yang harus mengkoordinirnya. Selama ini pemerintah, melalui Perpres No. 15 tahun 2010 telah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan untuk daerah adalah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD). Hal prinsip yang merupakan tugas dari tim ini adalah menetapkan target nasional dan daerah penurunan kemiskinan berdasarkan basis data terpadu dan meningkatkan efisiensi dan koordinasi program pengentasan kemiskinan untuk menjangkau sasaran (penerima manfaat).
Prinsipnya, tugas teramat penting tetapi dirasakan sampai saat ini belum terlaksana dengan begitu baik, tim koordinasi yang dibentuk memiiki tugas tetapi belum diberikan power (kekuatan) sebagaimana mestinya karena memang status dari tim koordinasi yang terkesan kurang kuat dan terabaikan apalagi terdiri atas beberapa perangkat OPD yang lebih fokus pada pelaksanaan tugas fungsinya masing-masing. Kita ambil contoh saja, tentang patokan data yang digunakan sebagai dasar sasaran kemiskinan, dari Perpres tersebut sudah dijelaskan bahwa yang berhak mengeluarkan data terpadu adalah TNP2K dan kelanjutannya di daerah adalah TKPKD tetapi kenyataannya setiap kementerian mengeluarkan datanya masing-masing dan mempertahankan bahwa metode dan cara sampling yang mereka gunakan adalah lebih tepat. Katakanlah seperti: Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) oleh Kemensos, Keluarga Beresiko Stunting oleh BKKBN, Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh kemenkes, Data Kemiskinan Agregat oleh BPS yang sebenarnya memiliki indikator yang kurang lebih sama yaitu sasaran pada masyarakat miskin, akibatnya implementasi di lapangan akan tumpang tindih sasaran atau ada sasaran yang seharusnya tetapi tidak mendapat intervensi. Baru-baru ini, TNP2K merilis Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (Data P3Ke) yang diharapkan bisa menjadi data terpadu tetapi belum ada penegasan bahwa data P3Ke menjadi rujukan wajib untuk setiap Lembaga/instansi/pemprov/pemkab-kota, apalagi rilis Data P3Ke dikatakan lambat dibandingkan dengan data-data kementerian/Lembaga lainnya yang selama ini sudah melakukan implementasi program dan kegiatan bantuan berbasis data masing-masing.
Menurut hemat penulis, bahwa sudah saatnya TKPKD ditingkatkan statusnya dalam tanda kutip, bahwa ada komitmen bersama dari semua pihak terkait untuk patuh dan taat pada setiap langkah-langkah yang diarahkan oleh tim koordinasi pengentasan kemiskinan yang ditunjuk. Terlihat pada setiap rapat koordinasi, hal yang disampaikan oleh setiap anggota tim yang berasal dari OPD hanyalah semacam laporan tentang apa yang mereka lakukan secara ego sektoral terhadap sasaran yang berbeda dengan kesepakatan atau arahan TKPKD terutama dalam hal penentuan lokasi kantong kemiskinan dan jenis bantuan yang disesuaikan dengan kriteria kemiskinan (desil 1, 2, 3 dan 4).
Kepatuhan dan ketaatan terhadap komitmen yang dibangun bersama, seperti: kepatuhan berpedoman pada satu data sasaran (penerima manfaat) yang disiapkan dalam bentuk data P3Ke kemudian dilakukan pemutahiran data dengan nama dan alamat (by name by address) yang diambil dari hasil musyawarah desa/kelurahan dengan terlampir berita acara yang oleh kepala daerah menetapkan data tersebut berdasarkan berita acara. Inilah data yang kemudian menjadi rujukan bagi perangkat OPD dan stakeholder terkait lainnya (Inpres No. 4 tahun 2022).
Selanjutnya mematuhi jenis bantuan atau program-program pemberdayaan yang diberikan adalah sesuai dengan klaster kriteria kemiskinan. Untuk kemiskinan klaster I atau Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) adalah program-program yang memberikan bantuan tunai dengan tujuan untuk mengurangi beban kepala keluarga melalui peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi diantaranya seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan operasional sekolah (BOS), program Jamkesmas, dan RASKIN. Untuk kemiskinan klaster II dilakukan penghapusan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan sasaran adalah RTM seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Percepatan pembangunan daerah tertinggal dan program-program pemberdayaan lainnya yang bersifat inovatif, sesuai karakteristik daerah bersumber pembiayaan APBD. Selanjutnya untuk kemiskinan klister III dilakukan dengan memberdayakan UMKM yang bertujuan memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil dengan cara memberikan bantuan modal dan pelatihan keterampilan berusaha seperti kredit usaha rakyat (KUR) dan kredit usaha Bersama (KUBE).
Jika kepatuhan dan ketaatan telah dibangun dari hasil komitmen bersama khususnya dalam rujukan satu data sasaran miskin dan memberikan bantuan sesuai kriteria kemiskinan ditambah lagi dengan intervensi yang tepat, maka dapat dipastikan upaya penghapusan kemiskinan akan segera memberikan hasil sesuai target yang diinginkan.
*Penulis adalah ASN Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar