Senin, 19 Oktober 2015

Food Accessibility: Pemutus Lingkaran Setan Kemiskinan (Memperingati Hari Pangan dan Anti Kemiskinan Dunia)

Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

“Orang itu marah karena dia lapar” atau “hungry man is an angry man” demikian pernyataan yang sering diucapkan oleh guru besar dosen senior Undip Prof. Dr. Lachmuddin Syahrani di kuliah umum pemberdayaan masyarakat pesisir kepada mahasiswanya.  Pernyataan ini sederhana tetapi mengandung makna betapa makanan atau pangan merupakan sesuatu yang paling substansial dalam kehidupan manusia.  Manusia bisa bertindak apa saja secara brutal jika kurang pangan atau akses pangan sangat sulit diperoleh, pikiran untuk memperoleh pangan akan lebih praktis bahkan bersifat destructive seperti merusak sumberdaya disekitarnya yang dianggap sebagai last resort atau tumpuan terakhir untuk menyambung hidupnya.  Kondisi rawan pangan dapat meningkatkan permasalahan sosial yang serius seperti: tindakan kriminal, kemelaratan dan kemiskinan.
Oktober dikenal sebagai bulan pangan karena pada setiap tahunnya tanggal 16 ditetapkan sebagai hari pangan sedunia (HPS) atau World Food Day (WFD) yang diinisiasi melalui resolusi No.179 oleh peserta dari 147 negara termasuk Indonesia pada Konferensi ke-20 FAO tahun 1976 di Roma.  Berdasarkan kepedulian tentang kerawanan pangan yang sering menjadi pemicu permasalahan-permasalahan sosial maka kemudian tema hari pangan sedunia pada tahun ini yaitu “social protection and agricultural: breaking the cycle of rural proverty” yang berarti perlindungan sosial dan pertanian: memutus siklus kemiskinan di pedesaan.  Tema ini dipilih karena ingin menjelaskan betapa pentingnya memberantas kemiskinan di pedesaan dan memperkuat akses pangan atau kemampuan untuk membeli makanan.  Dari tema tersebut, memperlihatkan bahwa ada hubungan kuat antara ketidakberdayaan mengakses pangan dengan kemiskinan dan apakah suatu kebetulan atau tidak ternyata peringatan hari pangan sedunia pada setiap tanggal 16 oktober diikuti dengan peringatan hari anti kemiskinan international pada setiap tanggal 17 oktober.
Salah satu simpul lingkaran setan kemiskinan yaitu tingkat konsumsi pangan rendah yang menyebabkan status gizi masyarakat tidak meningkat, kemudian di susul dengan tingkat kesehatan rendah yang berakibat pada kinerja atau produktifitas yang rendah dan akhirnya produksi rendah atau kemampuan mencari nafkah rendah sehingga daya beli pangan amat terbatas.
Ragnar Nurkse seorang ekonom asal Swedia pertama kali memperkenalkan istilah Lingkaran Setan Kemiskinan atau Vicious Circle of Poverty merupakan konsep yang menggambarkan hubungan-hubungan melingkar di antara variabel penentu di mana variabel sebelumnya akan memberikan efek pada variabel setelahnya dan seterusnya sehingga menempatkan suatu kondisi masyarakat atau Negara tetap dalam kondisi miskin.  Setiap simpul lingkaran ini harus diputuskan untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik dengan sebuah tindakan-tindakan strategis.  Tindakan-tindakan tersebut harus diawali dengan cara pandang dan paradigma yang sama dari setiap pelaku kebijakan terhadap isu-isu permasalahan (sintesa permasalahan) karena objek atau sasarannya adalah masyarakat miskin yang tidak dapat menunggu lebih lama aksi nyata dari sebuah keputusan.
Isu pangan dan kemiskinan merupakan isu sentral yang sering dibahasakan oleh para calon pemimpin di Negara kita dan juga dunia.  Kedua isu ini merupakan isu yang dianggap “layak jual” sebagai marketing topic yang dituangkan dalam visi, misi, strategi dan kegiatannya dan yang dianggap paling menarik untuk dibahas dengan tujuan yaitu kemakmuran rakyat.  Tidak terkecuali di daerah Sulawesi Tengah permasalahan pangan dan kemiskinan masih memerlukan perhatian yang lebih serius, dimana beberapa permasalahan belum tertangani sebagaimana mestinya.  Permasalahan utama bukan pada stok (jumlah) bahkan ada beberapa pangan yang telah surplus tetapi permasalahan justru pada distribusi temasuk penanganan saat distribusinya.

Surplus Ikan dan Beras
Masyarakat Sulawesi Tengah bersyukur dengan potensi alam dan daya dukung lingkungan yang masih terjaga membuat beberapa stok komoditas pangan strategis berada pada keadaan surplus.  Komoditas surplus tersebut yaitu beras, jagung dan ikan.  Pada Triwulan III tahun 2015 komoditas beras Sulawesi Tengah surplus 250.000 ton GKG dan melampaui yang ditargetkan pada tahun 2015.  Tingkat konsumsi pangan beras masih lebih rendah dari produksi yang dihasilkan sehingga mengalami surplus.  Sesuai data terakhir tahun 2014, tingkat konsumsi beras berkisar 393.548 ton sedangkan ketersediaan sebesar 644.077 ton sehingga surplus sekitar 250.529 ton.  Sedangkan jagung memiliki ketersediaan 139.266 ton dengan tingkat konsumsi 3.692 ton yang berarti surplus 135.574 ton.  Demikian juga halnya dengan ikan dimana produksi total 1.487.654 ton tetapi yang terserap oleh dunia industri perikanan dan yang dikonsumsi baru sekitar 99.491 ton dan surplus 1.388.163 ton (BKP Sulteng, 2015).  Jikalau beras dan jagung untuk perimbangan dalam kondisi surplus tidak terlalu mengkhawatirkan karena ada peran Badan Urusan Logistik (Bulog) di daerah yang mengurusi distribusi dan tata niaganya sehingga harga pangan di tingkat masyarakat selalu stabil berbanding dengan ketersediaan dan aksesibilitasnya.  Tetapi bagaimana dengan ikan khususnya ikan segar yang memiliki selisih perimbangan terlalu besar sekitar 1.388.163 ton, kemanakah penyerapan jumlah sebesar itu? Apakah didistribusikan ke luar Sulawesi Tengah sehubungan dengan beberapa kali terjadi bahwa pangan ikan segar menjadi penyumbang terbesar tingkat inflasi di Kota Palu.  Hal ini merupakan ironi sehingga perlu dilakukan langkah-langkah penyelesaian terutama tentang distribusi, penyimpanan dan pengawasanya.
            Memang penanganan ikan segar berbeda dengan penanganan jenis pangan lainnya dimana ikan segar termasuk dalam golongan pangan yang mudah rusak (perishable food) bahkan ketika dibiarkan selama 7 jam menjadi tidak layak konsumsi.  Inilah yang kemudian menyulitkan saat distribusinya dimana fisik ikan harus selalu berada dalam kondisi beku (cold chain), oleh karena itu diperlukan fasilitas pendukung dengan biaya yang tinggi misalnya pembangunan cold storage dengan suplai listrik yang memadai, pabrik es dengan distribusinya yang bisa mencapai daerah-daerah pesisir terisolir, sistem rantai dingin meliputi agent, locker dan pasar ikan.  Selain itu, tentunya pemahaman pelaku hasil ikan terhadap pentingnya menjaga daya awet, keamanan dan higienis pangan hasil ikan. Diperlukan juga, pendataan yang valid tentang jumlah hasil tangkap ikan dari suatu kabupaten dan kebutuhan pangan ikan segar untuk kabupaten lainnya agar pola distribusi jelas dan kebutuhan pangan ikan sebagai sumber protein masyarakat secara merata di Sulawesi Tengah dapat terpenuhi.

Petani dan Nelayan Makmur
            Petani dan nelayan harus makmur sebagai jaminan tersedianya stok pangan bagi daerah.  Semakin rendah tingkat kemakmuran petani atau nelayan maka resiko beralih profesi semakin tinggi, lahan pertanian dikonversi, pengalihan penguasaan lahan pertanian, perahu nelayan beralih fungsi serta penguasaan wilayah atau kampung nelayan oleh pihak lain dsb,  dan keadaan ini menjelaskan fenomena awal berkurangnya stock pangan pada daerah tertentu. 
Nilai Tukar Petani (NTP) gabungan Sulawesi Tengah, selama September 2015 masih sebesar  98,50% atau petani mengalami defisit.  Jika indikator kesejahteraan petani menjadi patokan maka kesejahteraan petani dan nelayan perlu ditingkatkan lagi untuk menyeimbangkan paling tidak antara indeks harga yang diterima oleh petani (It) dan indeks harga yang harus dibayarkan oleh petani (Ib) (BPS, 2015). Tetapi Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) menunjukkan nilai sebesar 105,29% yang menunjukkan bahwa petani surplus dari biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan jumlah produksi yang dihasilkan, sehingga kelihatan lebih jelas bahwa ada hambatan pada pola distribusi atau pasar untuk pangan yang dihasilkan.
Mudah-mudahan pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah baik yang sekarang maupun yang akan datang dapat mempertahankan capaian kualitas dan kuantitas pangan di Sulawesi Tengah dalam rangka mendukung program kedaulatan pangan nasional tahun 2017.  Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan seperti : menciptakan sinergisitas perencanaan dan pembiayaan sektor pertanian dan sub sektornya, meningkatkan akses pemodalan, produksi dan produktivitas yang berorientasi agribisnis, meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk, meningkatkan layanan infrastruktur, mengelola lahan tidur dan menekan laju alih fungsi lahan sawah serta penataan organisasi dan SDM aparat sektor pertanian.  Pada intinya, ketersediaan pangan dan kemudahan aksesibilitasnya merupakan hal yang mutlak untuk mewujudkan SDM berkualitas yang bergizi seimbang, bermakanan sehat dan aman.  SDM yang unggul karena dia bisa makan dengan cukup, mengutip perkataan Virginia Woolf seorang penulis tenar bahwa “seseorang tidak akan bisa berpikir dengan benar, mencintai dengan benar dan tidur dengan baik jika dia belum makan”.*

**Penulis : Inisiator ISPIKANI Sulteng, Ka.Subbid Ekonomi I Bappeda Prov. Sulteng

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...