Oleh. Dr.
Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*
“Orang
itu marah karena dia lapar” atau “hungry
man is an angry man” demikian pernyataan yang sering diucapkan oleh guru
besar dosen senior Undip Prof. Dr. Lachmuddin Syahrani di kuliah umum
pemberdayaan masyarakat pesisir kepada mahasiswanya. Pernyataan ini sederhana tetapi mengandung
makna betapa makanan atau pangan merupakan sesuatu yang paling substansial
dalam kehidupan manusia. Manusia bisa
bertindak apa saja secara brutal jika kurang pangan atau akses pangan sangat
sulit diperoleh, pikiran untuk memperoleh pangan akan lebih praktis bahkan
bersifat destructive seperti merusak
sumberdaya disekitarnya yang dianggap sebagai last resort atau tumpuan terakhir untuk menyambung hidupnya. Kondisi rawan pangan dapat meningkatkan
permasalahan sosial yang serius seperti: tindakan kriminal, kemelaratan dan
kemiskinan.
Oktober
dikenal sebagai bulan pangan karena pada setiap tahunnya tanggal 16 ditetapkan
sebagai hari pangan sedunia (HPS) atau World Food Day (WFD) yang diinisiasi
melalui resolusi No.179 oleh peserta dari 147 negara termasuk Indonesia pada
Konferensi ke-20 FAO tahun 1976 di Roma.
Berdasarkan kepedulian tentang kerawanan pangan yang sering menjadi
pemicu permasalahan-permasalahan sosial maka kemudian tema hari pangan sedunia
pada tahun ini yaitu “social protection
and agricultural: breaking the cycle of rural proverty” yang berarti
perlindungan sosial dan pertanian: memutus siklus kemiskinan di pedesaan. Tema ini dipilih karena ingin menjelaskan
betapa pentingnya memberantas kemiskinan di pedesaan dan memperkuat akses
pangan atau kemampuan untuk membeli makanan.
Dari tema tersebut, memperlihatkan bahwa ada hubungan kuat antara
ketidakberdayaan mengakses pangan dengan kemiskinan dan apakah suatu kebetulan
atau tidak ternyata peringatan hari pangan sedunia pada setiap tanggal 16
oktober diikuti dengan peringatan hari anti kemiskinan international pada
setiap tanggal 17 oktober.
Salah
satu simpul lingkaran setan kemiskinan yaitu tingkat konsumsi pangan rendah
yang menyebabkan status gizi masyarakat tidak meningkat, kemudian di susul
dengan tingkat kesehatan rendah yang berakibat pada kinerja atau produktifitas
yang rendah dan akhirnya produksi rendah atau kemampuan mencari nafkah rendah sehingga
daya beli pangan amat terbatas.
Ragnar
Nurkse seorang ekonom asal Swedia pertama kali memperkenalkan istilah Lingkaran
Setan Kemiskinan atau Vicious Circle of
Poverty merupakan konsep yang
menggambarkan hubungan-hubungan melingkar di antara variabel penentu di mana
variabel sebelumnya akan memberikan efek pada variabel setelahnya dan
seterusnya sehingga menempatkan suatu kondisi masyarakat atau Negara tetap
dalam kondisi miskin. Setiap simpul
lingkaran ini harus diputuskan untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik dengan
sebuah tindakan-tindakan strategis.
Tindakan-tindakan tersebut harus diawali dengan cara pandang dan
paradigma yang sama dari setiap pelaku kebijakan terhadap isu-isu permasalahan
(sintesa permasalahan) karena objek atau sasarannya adalah masyarakat miskin
yang tidak dapat menunggu lebih lama aksi nyata dari sebuah keputusan.
Isu
pangan dan kemiskinan merupakan isu sentral yang sering dibahasakan oleh para
calon pemimpin di Negara kita dan juga dunia.
Kedua isu ini merupakan isu yang dianggap “layak jual” sebagai marketing topic yang dituangkan dalam
visi, misi, strategi dan kegiatannya dan yang dianggap paling menarik untuk
dibahas dengan tujuan yaitu kemakmuran rakyat.
Tidak terkecuali di daerah Sulawesi Tengah permasalahan pangan dan
kemiskinan masih memerlukan perhatian yang lebih serius, dimana beberapa
permasalahan belum tertangani sebagaimana mestinya. Permasalahan utama bukan pada stok (jumlah)
bahkan ada beberapa pangan yang telah surplus tetapi permasalahan justru pada
distribusi temasuk penanganan saat distribusinya.
Surplus Ikan dan Beras
Masyarakat
Sulawesi Tengah bersyukur dengan potensi alam dan daya dukung lingkungan yang
masih terjaga membuat beberapa stok komoditas pangan strategis berada pada keadaan
surplus. Komoditas surplus tersebut
yaitu beras, jagung dan ikan. Pada
Triwulan III tahun 2015 komoditas beras Sulawesi Tengah surplus 250.000 ton GKG
dan melampaui yang ditargetkan pada tahun 2015.
Tingkat konsumsi pangan beras masih lebih rendah dari produksi yang
dihasilkan sehingga mengalami surplus.
Sesuai data terakhir tahun 2014, tingkat konsumsi beras berkisar 393.548
ton sedangkan ketersediaan sebesar 644.077 ton sehingga surplus sekitar 250.529
ton. Sedangkan jagung memiliki
ketersediaan 139.266 ton dengan tingkat konsumsi 3.692 ton yang berarti surplus
135.574 ton. Demikian juga halnya dengan
ikan dimana produksi total 1.487.654 ton tetapi yang terserap oleh dunia
industri perikanan dan yang dikonsumsi baru sekitar 99.491 ton dan surplus 1.388.163
ton (BKP Sulteng, 2015). Jikalau beras
dan jagung untuk perimbangan dalam kondisi surplus tidak terlalu mengkhawatirkan
karena ada peran Badan Urusan Logistik (Bulog) di daerah yang mengurusi
distribusi dan tata niaganya sehingga harga pangan di tingkat masyarakat selalu
stabil berbanding dengan ketersediaan dan aksesibilitasnya. Tetapi bagaimana dengan ikan khususnya ikan
segar yang memiliki selisih perimbangan terlalu besar sekitar 1.388.163 ton,
kemanakah penyerapan jumlah sebesar itu? Apakah didistribusikan ke luar
Sulawesi Tengah sehubungan dengan beberapa kali terjadi bahwa pangan ikan segar
menjadi penyumbang terbesar tingkat inflasi di Kota Palu. Hal ini merupakan ironi sehingga perlu
dilakukan langkah-langkah penyelesaian terutama tentang distribusi, penyimpanan
dan pengawasanya.
Memang penanganan ikan segar berbeda
dengan penanganan jenis pangan lainnya dimana ikan segar termasuk dalam
golongan pangan yang mudah rusak (perishable
food) bahkan ketika dibiarkan selama 7 jam menjadi tidak layak konsumsi. Inilah yang kemudian menyulitkan saat
distribusinya dimana fisik ikan harus selalu berada dalam kondisi beku (cold chain), oleh karena itu diperlukan
fasilitas pendukung dengan biaya yang tinggi misalnya pembangunan cold storage dengan suplai listrik yang
memadai, pabrik es dengan distribusinya yang bisa mencapai daerah-daerah
pesisir terisolir, sistem rantai dingin meliputi agent, locker dan pasar
ikan. Selain itu, tentunya pemahaman pelaku
hasil ikan terhadap pentingnya menjaga daya awet, keamanan dan higienis pangan
hasil ikan. Diperlukan juga, pendataan yang valid tentang jumlah hasil tangkap
ikan dari suatu kabupaten dan kebutuhan pangan ikan segar untuk kabupaten
lainnya agar pola distribusi jelas dan kebutuhan pangan ikan sebagai sumber
protein masyarakat secara merata di Sulawesi Tengah dapat terpenuhi.
Petani dan Nelayan Makmur
Petani
dan nelayan harus makmur sebagai jaminan tersedianya stok pangan bagi
daerah. Semakin rendah tingkat
kemakmuran petani atau nelayan maka resiko beralih profesi semakin tinggi,
lahan pertanian dikonversi, pengalihan penguasaan lahan pertanian, perahu
nelayan beralih fungsi serta penguasaan wilayah atau kampung nelayan oleh pihak
lain dsb, dan keadaan ini menjelaskan
fenomena awal berkurangnya stock
pangan pada daerah tertentu.
Nilai
Tukar Petani (NTP) gabungan Sulawesi Tengah, selama September 2015 masih
sebesar 98,50% atau petani mengalami
defisit. Jika indikator kesejahteraan
petani menjadi patokan maka kesejahteraan petani dan nelayan perlu ditingkatkan
lagi untuk menyeimbangkan paling tidak antara indeks harga yang diterima oleh
petani (It) dan indeks harga yang harus dibayarkan oleh petani (Ib) (BPS, 2015).
Tetapi Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) menunjukkan nilai
sebesar 105,29% yang menunjukkan bahwa petani surplus dari biaya produksi yang
lebih rendah dibandingkan jumlah produksi yang dihasilkan, sehingga kelihatan
lebih jelas bahwa ada hambatan pada pola distribusi atau pasar untuk pangan
yang dihasilkan.
Mudah-mudahan
pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah baik yang sekarang maupun yang akan datang
dapat mempertahankan capaian kualitas dan kuantitas pangan di Sulawesi Tengah
dalam rangka mendukung program kedaulatan pangan nasional tahun 2017. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan seperti
: menciptakan sinergisitas perencanaan dan pembiayaan sektor pertanian dan sub
sektornya, meningkatkan akses pemodalan, produksi dan produktivitas yang
berorientasi agribisnis, meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk,
meningkatkan layanan infrastruktur, mengelola lahan tidur dan menekan laju alih
fungsi lahan sawah serta penataan organisasi dan SDM aparat sektor
pertanian. Pada intinya, ketersediaan
pangan dan kemudahan aksesibilitasnya merupakan hal yang mutlak untuk
mewujudkan SDM berkualitas yang bergizi seimbang, bermakanan sehat dan
aman. SDM yang unggul karena dia bisa
makan dengan cukup, mengutip perkataan Virginia Woolf seorang penulis tenar bahwa
“seseorang tidak akan bisa berpikir dengan benar, mencintai dengan benar dan
tidur dengan baik jika dia belum makan”.*
**Penulis
: Inisiator ISPIKANI Sulteng, Ka.Subbid Ekonomi I Bappeda Prov. Sulteng