Oleh.
Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*
Ungkapan usang yang sering
kita dengar yaitu “menabung pangkal kaya” adalah sangat tidak relevan pada masa
milenial ini. Jangan-jangan justru kita
menabung pangkal miskin. Pasalnya, uang
yang kita tabung di Bank memiliki nilai bunga yang lebih rendah dari nilai
inflasi, sehingga nilai uang yang kita
butuhkan di masa yang akan datang akan jauh lebih besar dari uang yang tertanam
di Bank bahkan terkesan kita juga turut andil memberikan sebagian uang kita
kepada bank. Untuk itu, diperlukan
kecerdasan finansial untuk tidak menabung seperti biasanya tetapi harus
melakukan yang namanya investasi. Konsep
dasar Investasi yaitu membuat pertumbuhan uang menjadi lebih cepat dan
melampaui besaran inflasi sehingga lembaga, organisasi atau individu mampu
mencapai tujuan finansialnya dengan lebih efektif.
Demikian juga untuk konsep
pembangunan, tidak ada dalam sejarah sebuah Negara dapat membangun hanya dengan
mengandalkan pendapatan asli Negara tanpa harus berinvestasi terlebih dahulu
dengan pola kerjasama Negara lain atau pihak swasta bahkan Negara adidaya
sekalipun seperti Amerika Serikat dan German yang membangun negaranya melalui
skema pemberian pinjaman kepada Negara lain dengan jaminan tingkat bunga yang
tinggi. Skema ini juga yang kemudian di
tiru oleh Negara China yang dengan strateginya itu banyak “menjerat”
Negara-negara Asia dengan tumpukan utang yang menggunung. Memang cara-cara kapitalis ini, tidak menjadi
contoh yang baik dalam membangun terlebih bagi Negara kita yang agamis tetapi
sebagai suatu alasan tentang pentingnya berinvestasi dan investasi yang
dimaksudkan bisa dengan cara-cara lain yang lebih “baik”, seperti penyertaan
modal, bagi hasil dan kerjasama pemerintah dengan badan usaha untuk aset dan
sumber daya manusia.
Pada tanggal 12 September 2019
lalu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 Tahun 2019
tentang Investasi Pemerintah. PP ini
menggantikan PP No. 1 tahun 2008 dengan pertimbangan perkembangan kondisi dan
kebijakan pemerintah dalam bidang investasi, dan untuk meningkatkan afektivitas
pengelolaan Investasi Pemerintah.
Setelah PP ini dikeluarkan, maka diharapkan mekanisme investasi dapat
dikuti oleh Pemerintah Daerah dimana sebagai pengelola otonom APBD nya
masing-masing.
Selama ini, pemerintah telah menggunakan
instrumen fiskal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
memenuhi prinsip keadilan bagi seluruh rakyat.
Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan bernegara yaitu
Negara yang maju dan mandiri. Instrumen fiskal tersebut antara
lain melalui pajak dan sumber pendapatan lain yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan belanja pemerintah dan investasi untuk mendapatkan manfaat di masa
yang akan datang dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi.
Prinsip
pemerintah dan pemerintah daerah terhadap masyarakat adalah berorientasi pada
pelayanan (service-oriented) dan
bukan orientasi bisnis (business-oriented)
apalagi orientasi keuntungan (profit-oriented),
tetapi pelayanan yang dimaksud dapat berjalan dengan baik apabila di dukung
oleh pembiayaan yang baik pula.
Pelayanan butuh anggaran dan menjadi tanggungjawab pemerintah atau
pemerintah daerah untuk mendapatkannya tanpa masyarakat terasa terbebani. Oleh karena itu, di beberapa Negara termasuk
Indonesia untuk mendapatkan tambahan anggaran, pemerintah menggunakan agen
sebagai kepanjangan tangan untuk melakukan investasi sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Agen investasi
pemerintah tersebut dapat berupa lembaga yang terpisah dari fiskal seperti:
BUMN atau lembaga yang dibentuk dengan undang-undang yang berfungsi sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) ataupun
bentuk kelembagaan dalam struktur pemerintahan sesuai dengan karakteristik
masing-masing negara, yang biasanya menggunakan mekanisme trust fund.
Jika penyelenggaraan
pemerintah yang berbasis pelayanan maka tidak mungkin keuntungan akan
diperoleh, malah kemungkinan selalu impas atau merugi, untuk itu, dibutuhkan
lembaga-lembaga yang memiliki mekanisme sendiri dengan penyelenggaraan
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan koordinasi dalam hal pengelolaan uang
Negara atau daerah untuk diinvestasikan.
Uang atau dana segar diperoleh dari penerimaan Negara melalui
Undang-Undang (UU) tentang Perpajakan dan UU PNBP. Namun sampai saat ini, diperlukan sebuah pengaturan
setingkat UU yang mengatur tentang tata kelola investasi pemerintah maupun
pengelolaan dana dalam bentuk trust fund.
Trust Fund atau wali amanat adalah sejumlah aset finansial yang dapat berupa properti,
uang, sekuritas atau Trust yang oleh orang atau
lembaga berupa Trustor atau Donor atau Grantor yang dititipkan atau
diserahkan untuk di kelola dengan baik oleh sebuah lembaga yang disebut Trustee dan disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan
penerima manfaat atau Beneficiaries
sesuai dengan maksud dan tujuan yang dimandatkan. Trust Fund merupakan mekanisme pembiayaan program
yang membutuhkan biaya relatif besar secara berkelanjutan dalam jangka menengah
dan panjang. Status Trust Fund tidak dimiliki oleh siapapun dan
dikumpulkan dengan tujuan: Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat; pendidikan atau beasiswa; penanggulangan bencana alam; penanggulangan masalah sosial, budaya dan kesehatan; pelestarian sumberdaya alam dan program strategis lainnya. Sebenarnya trust fund telah diatur di
Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang
Dana Perwalian.
Kebutuhan regulasi yang
tertinggi berupa undang-undang, maka dikeluarkanlah UU No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang juga terdapat pengaturan terkait investasi pemerintah yang
menyatakan pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh
manfaat ekonomi, sosial dan atau manfaat lainnya. Investasi yang dimaksud dalam bentuk saham,
surat utang, dan investasi langsung yang harus diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Menindaklanjuti hal tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 63
tahun 2019 di mana ditegaskan bahwa pemerintah dapat berinvestasi dalam
berbagai instrumen investasi yaitu saham, surat utang dan investasi langsung
berupa pemberian pinjaman, kerja sama investasi, dan investasi langsung
lainnya.
Prinsip
dasar, mengapa pengelolaan investasi itu dilakukan dikarenakan tantangan pembiayaan pembangunan
yang begitu besar sedangkan dana pemerintah memiliki keterbatasan. Pada saat
ini, kebutuhan investasi pemerintah total berjumlah Rp. 4.457 Trilyun
dengan perincian ada pada swasta sebesar Rp. 2.630 Trilyun, BUMN sebesar Rp.
1.381 Trilyun dan APBN/D sebesar Rp. 446 Trilyun yang digunakan untuk membiayai
5 sektor dengan nilai investasi tertinggi ditambah Ultra Mikro pada sektor
energi, kelistrikan, jalan, kereta api, kawasan ekonomi dan industri serta
sektor ultra mikro. Investasi pemerintah
tersebut dalam bentuk permanen seperti: Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dipisahkan
dari APBN tetapi berada pada kendali BUMN dan bentuk Non Permanen seperti Badan
Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Hukum Lainnya
(BHL).
Tujuan
dari pengelolaan investasi pemerintah yaitu selain keinginan
mengoptimalkan dana investasi yang berasal dari APBN melalui koordinasi
kebijakan investasi pemerintah yang dilakukan oleh berbagai operator dan
membangun tata kelola yang dapat meningkatkan value investasi adalah
juga untuk mengkolaborasikan dana pemerintah dengan dana private melalui
skema-skema investasi yang mampu mencapai
tujuan investasi pemerintah sekaligus cukup menarik dari sisi return
bagi investor. Adapun sustansi
pelaksanaan investasi bahwa dibentuk operator sebagai agen pemerintah berupa BLU,
BUMN dan BHL dan mengintegrasikan kebijakan investasi pemerintah yang dilakukan
oleh Komite Investasi Pemerintah (KIP), yang akan membantu tugas Menteri
Keuangan untuk menyusun kebijakan investasi sekaligus melakukan pengawasan atas
pelaksanaan investasi pemerintah yang dilakukan operator.
Pengelolaan investasi dilakukan
dengan best practice untuk menghilangkan gap pengaturan investasi
pemerintah dengan investasi di sektor private sehingga investor dapat mengukur
risiko investasi apabila akan mengkolaborasikan dananya dengan dana Pemerintah
yang dilaksanakan oleh agen-agen. Agen
bekerja untuk mendapatkan return
yang lebih tinggi secara ekonomi, melalui proyek-proyek yang tidak hanya
memiliki financial return namun juga memberikan multiplier effect
yang tinggi bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Pertanyaan
penting, Apakah Pemerintah Daerah perlu untuk melakukan investasi? Jika alasan
karena tingginya pembiayaan daerah, maka pasti adalah sangat perlu. Hanya saja, apakah pemerintah daerah mampu
meaksanakannya dengan berbagai keterbatasan sebagai berikut: (1) APBD sebagai
sumber dana investasi jumlahnya sangat rendah dan memiliki resiko yang sangat
tinggi jika dimainkan dalam bentuk investasi; (2) Banyak daerah yang masih
tinggi ketergantungannya dengan dana transfer (DAK, DAU, DBH); (3) Pemerintah
Daerah kebanyakan belum memiliki operator investasi (agen-agen) yang mapan dari
sisi pengelolaan perusahaan, SDM dan peralatan; (4) Masih ada kekhawatiran dari
para Investor tentang jaminan penyertaan (sharing)
modal dengan pemerintah daerah termasuk mekanisme bagi keuntungan, manajerial
dan pengelolaan resiko kerugian serta (5) BUMD masih terkesan selalu merugi
sehingga tidak berperan efektif sebagai kepanjangan tangan malah terkesan
dihidupkan oleh induknya (pemerintah daerah) sendiri. Oleh sebab itu, perlu analisis yang lebih
mendalam lagi tentang pengembangan dana pemerintah daerah melalui pengelolaan
investasi. Bagaimanapun, kita selalu
berpikir bahwa pemerintah daerah yang otonom adalah institusi yang berfokus
pada pelayanan publik dengan indikator keberhasilannya yaitu meningkatnya
kesejahteraan masyarakat karena efektifnya pelayanan. Sehingga keinginan dari masyarakat adalah
bagaimana terlayani mereka dengan baik tanpa ada timbul rasa kekahawatiran
terhadap kemungkinan pengelolaan dana pemerintah daerah yang akan crash (macet) akibat resiko pengelolaan
investasi. Sekian.
*Kepala
Sub Bidang Perencanaan Ekonomi II Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah