Masyarakat nelayan adalah suatu komunitas yang sebagian besar masih berada dibawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 %) (BPS, 2007) dan sekitar 4,5 juta orang atau 11,54% adalah masyarakat nelayan (DKP, 2006).
Sebelumnya Data Badan Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa prosentase orang miskin pada kelompok nelayan jauh lebih besar dibanding pada rata-rata penduduk Indonesia. Kondisi ini tampak dari Indeks kemiskinan (Poverty Headcount Index, PHI) nelayan sebesar 0,28 yang berarti setiap 28 orang nelayan dari 100 orang nelayan termasuk dalam kategori miskin, jauh lebih tinggi dari PHI nasional sebesar 0,18.
Untuk itu banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, NGO’s maupun swasta untuk mengentaskan kemiskinan yang melekat dalam komunitas nelayan. Diantara upaya-upaya tersebut yaitu dengan mengaplikasikan berbagai model pemberdayaan nelayan seperti pemberian pinjaman dana bergulir (revolving fund), bantuan perahu dan alat tangkap, pendidikan dan pelatihan budidaya, keterampilan diversifikasi usaha dan sebagainya. Penerapan berbagai model pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara dan metode yang sama untuk semua daerah, padahal setiap komunitas nelayan diberbagai tempat memiliki sifat sosial, budaya, ekologi dan karakteristik daerah yang berbeda-beda sehingga seharusnya desain dan metode penerapan model pemberdayaan menyesuaikan dengan aspek-aspek kehidupan dan latar belakang nelayannya, seperti aspek sosial, budaya, ekologi dan karakteristik suatu daerah.
Belajar dari masa sebelumnya, dimana komunitas nelayan kurang diposisikan sebagai subjek pembangunan, tetapi selalu diposisikan sebagai objek. Demikian pula informasi dan data yang tidak akurat mengakibatkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan nelayan kurang tepat sasaran dan tidak menyentuh akar dari permasalahan kemiskinan. Maka kebijakan pembangunan dan program pemberdayaan nelayan hendaknya didasarkan pada pemahaman dan informasi dari nelayan itu sendiri. Mereka harus menjadi sumber informasi berkaitan dengan kemiskinan yang dialami dan bagaimana keluar dari kemiskinan.
Keberhasilan suatu model pemberdayaan nelayan sangat bergantung pada apa yang diinginkan oleh nelayan termasuk peningkatan kesejahteraan hidup yang didukung oleh kemampuan daya dukung sosio-ekologi dan karakteristik daerahnya. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat pada awal perencanaan program merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan penerapan model pemberdayaan kedepan. Disamping itu, pelibatan masyarakat pada tingkat partisipatif akan mewujudkan kesesuaian antara model yang diciptakan dengan kondisi-kondisi pendukung nyata bagi upaya pemberdayaan itu sendiri.
Dari perspektif sosio-ekologi memandang bahwa desakan ekonomi, kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi telah lama diyakini menjadi penyebab kehancuran alam. Sumberdaya alam adalah “last resort” tempat pengaduan terakhir bagi lapisan miskin untuk mempertahankan kehidupan (survival strategy), manakala tidak ada lagi peluang ekonomi apapun yang tersisa di tempat lain bagi mereka (Dharmawan, A.H, 2005). Tetapi pada perspektif positif sosio-ekologi dianggap bahwa masyarakat dapat berdaya dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan lingkungan disekitarnya asalkan tidak berada pada tingkat over exploitation yang melebihi batas daya dukung (carrying capacity) lingkungan. Dengan demikian pada pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi masyarakat diperlukan arahan, bimbingan dan kesepahaman pemanfaatan.
Bagaimanapun model pemberdayaan nelayan melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya merupakan suatu pilihan yang bijaksana karena akan mendidik komunitas nelayan itu sendiri, untuk turut menjaga kelestariannya dengan harapan bahwa sumberdaya dan lingkungan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Bersamaan dengan itu, model pemberdayaan nelayan berbasis sosio-ekologi adalah suatu langkah penyelesaian (solution) terhadap pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan yang tidak bijaksana dan menghindarkan setiap individu dan anggota nelayan untuk tidak memiliki semangat kerakusan (greediness).
Antara prilaku kehidupan nelayan dengan kondisi lingkungannya memiliki hubungan yang sangat erat. Komunitas nelayan dengan lingkungan alam yang memiliki kelimpahan stok sumberdaya akan memiliki prilaku (sosiologi) yang berbeda dengan komunitas nelayan pada kondisi stok sumberdaya alam dan lingkungan yang terbatas. Tetapi kelimpahan dan keterbatasan stok sumberdaya alam dan lingkungan tidak menjamin kesejahteraan hidup nelayan lebih baik. Olehnya itu, diperlukan suatu model pendekatan pemberdayaan nelayan yang lebih terfokus pada kesadaran tentang kondisi lingkungannya atau melihat hubungan yang sangat erat antara perubahan prilaku nelayan (sosiologi nelayan) dengan perubahan-perubahan lingkungan disekitarnya (sosio-ekologi). Keterkaitan antara faktor-faktor ekologi dan proses sosial adalah sangat penting sebagai dasar untuk mendesain model bagi manajemen berkelanjutan komunitas nelayan sebagai kehidupan masyarakat yang masih tradisional.
Model pemberdayaan nelayan, seharusnya juga memperhatikan karakteristik daerah khususnya pada daerah-daerah pesisirnya. Karakteristik daerah meliputi aspek aksesibilitas, kerawanan sandang pangan, landcover, topografi, ekosistem terkait dan lain-lain. Komunitas nelayan yang karena aspek karakteristik daerah sering dianggap sebagai masyarakat terpencil, misalnya daerah pesisir dibalik perbukitan, hutan dan pulau kecil sehingga model pemberdayaan akan dibuat dengan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan yang ada.
Komunitas nelayan dapat juga berperan dalam hal menentukan arah pembangunan bagi desanya sendiri atau dengan kata lain bagaimana seharusnya desanya dibangun sesuai dengan kemauan mereka sehingga membentuk karakteristik sendiri yang dapat mendukung kelangsungan dan kesejahteraan hidup selanjutnya.
Pemerintah melalui kebijakannya mengeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan pada Pasal 63 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Ini berarti bahwa model-model pemberdayaan akan terus bergulir sehingga penentuan model pemberdayaan yang berbasis sosio-ekologi dan karakteristik daerah nelayan adalah hal yang sangat perlu untuk dilakukan.