Nilai Tukar Nelayan atau disingkat NTN dapat dijadikan indikator dari proxy kesejahteraan nelayan yang merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima nelayan (It) dengan Indeks harga yang dibayar nelayan (Ib). It adalah produksi yang dihasilkan oleh nelayan dan Ib adalah segala konsumsi RTP (rumah tangga nelayan), biaya produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM).
Apabila NTN lebih dari 100 maka dapat dikatakan petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya atau pendapatan nelayan naik, lebih besar dari pengeluarannya. Dan apabila NTN sama dengan 100, berarti nelayan mengalami impas, kenaikan atau penurunan harga produksinya sama dengan kenaikan atau penurunan harga barang konsumsi, pendapatan nelayan sama dengan pengeluarannya. Sedangkan jika NTN kurang dari 100 berarti nelayan mengalami defisit, kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya, pendapatan nelayan turun dan lebih kecil dari pengeluarannya.
Perhitungan Nilai Tukar Nelayan (NTN) atau NTP-Pi (Nilai Tukar Perikanan) masuk sebagai Sub sektor atau variabel perhitungan NTP (Nilai Tukar Petani) bersama-sama dengan sub sektor pertanian lainnya seperti tanaman pangan (NTP-P), hortikultura (NTP-H), tanaman perkebunan rakyat (NTP-Pr) dan Peternakan (NTP-Pt).
Menurut Data BPS Sulteng (Sep, 2010), bahwa NTP-gabungan secara keseluruhan adalah sebesar 96,14 persen, turun sebesar 0,61 persen dibandingkan NTP Bulan Juli yang mencapai 96,73 persen. Dari kelima sub sektor, hanya hortikultura (sebesar 1,17 persen) dan peternakan (sebesar 0,04 persen) yang mengalami peningkatan NTP dibandingkan periode yang sama pada bulan sebelumnya. Sedangkan untuk 3 sub sektor lainnya mengalami penurunan yaitu tanaman pangan (1,34 persen), tanaman perkebunan rakyat (0,97 persen) dan perikanan (0,54 persen). Penurunan NTP tersebut lebih disebabkan oleh naiknya harga barang kebutuhan produksi dan modal seperti pupuk dan obat-obatan serta upah buruh. Melonjaknya harga barang kebutuhan konsumsi rumah tangga turut memicu penurunan NTP ketiga subsektor tersebut.
NTN Sulawesi Tengah
Bagaimana dengan Nilai Tukar Nelayan (NTN) Sulawesi Tengah?, yang menarik, bahwa walaupun trend (kecenderungan) NTN Sub sektor perikanan termasuk yang mengalami penurunan tetapi nilainya pada Bulan Agustus 2010 tercatat sebesar 108,76 persen (lebih dari 100 persen) dan berada diatas untuk semua sub sektor NTP di Sulawesi Tengah. Ini menunjukkan bahwa Nelayan di Sulawesi Tengah mengalami surplus, pendapatan yang diterima lebih besar dari pengeluarannya.
Atas dasar data NTN ini, maka Nelayan di Sulawesi Tengah sudah dapat dikatakan sejahtera, dengan consequently (sebagai akibat) dilihat pada konteks perhitungan variable NTN itu sendiri dan metodologi pengumpulan data harganya.
Lalu bagaimana dengan visualisasi kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa rumah tangga perikanan nelayan di Sulawesi tengah masih banyak yang masuk kategori pra sejahtera. Nah, sebenarnya disinilah terdapat perbedaan-perbedaan kita didalam menilai tingkat kesejahteraan nelayan. Bagaimanapun penilaian terhadap suatu tingkat kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada definisi, variabel dan metodologi yang digunakan, yang jelas kita tidak dapat menggunakan pandangan sekilas atau perasaan untuk menilai kondisi kesejahteraan dalam masyarakat. Bahkan dua penilaian dengan metodologi yang berbeda tidak dapat dipertentangkan atau disamakan.
Kita ambil contoh untuk indikator penilaian kemiskinan nelayan selama ini, yang digunakan adalah melalui Indeks kemiskinan atau PHI (Poverty Headcount Index) dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
Berdasarkan metode perhitungan PHI nelayan di Sulawesi Tengah diperkirakan adalah kelompok masyarakat dengan persentase kemiskinan yang tertinggi dari total kemiskinan di Sulawesi Tengah didasarkan pada data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa persentase orang miskin pada kelompok nelayan jauh lebih besar dibanding pada rata-rata penduduk Indonesia. PHI nelayan sebesar 0,28 yang berarti setiap 28 orang nelayan dari 100 orang nelayan termasuk dalam kategori miskin, jauh lebih tinggi dari PHI nasional sebesar 0,18.
Disini jelas berbeda antara PHI dan NTN (bukan maksud untuk dipertentangkan) PHI melihat kesejahteraan nelayan dengan mengukur kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan sehari-hari, rumah dan pakaian, aksesibilitas tempat tinggal yang diukur dari tingkat pengeluarannya, sehingga metode PHI lebih menyeluruh sedangkan metode NTN hanya melihat perbandingan nilai produksi yang dijual nelayan dari tiap jenis hasil perikanan dengan ongkos atau biaya yang dikeluarkan oleh nelayan seperti konsumsi RT dan alat tangkap atau budidaya (jaring, pukat, motor temple dan lainnya).
Metode-metode atau pendekatan pengenalan kemiskinan tersebut berbeda oleh beberapa institusi sesuai dengan kewenangan tugasnya, seperti Dinas Sosial atau BKKBN menggunakan PHI dan Kementerian pertanian atau kelautan lebih menggunakan metode NTP dan NTN untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani atau nelayan.
Perbaikan untuk Metode NTN
Setiap metode diperlukan perbaikan sesuai kondisi dan permasalahan yang ada dilapangan, seperti metode NTN sendiri yang kini masih dirasakan kelemahannya sebagai berikut :
1. Pada penghitungan indeks harga yang diterima oleh nelayan (It) dipisahkan antara nilai produksi yang dijual oleh nelayan perikanan tangkap dengan nelayan budidaya tetapi pada penghitungan indeks harga yang dibayar nelayan baik perikanan tangkap dan budidaya disatukan sehingga keakuratan data berkurang.
2. Pendapatan nelayan (It) yang dihitung tidak termasuk pendapatan dari kegiatan non perikanan.
3. NTN belum menggambarkan tingkat partisipasi seluruh nelayan. Artinya nelayan yang berpendapatan saja yang terhitung sehingga nelayan yang mati usaha atau terpuruk tidak akan terhitung.
Tetapi dibalik kelemahan tersebut, sampai saat ini NTN masih dianggap sebagai metode terbaik (best available method) untuk menghasilkan data kesejahteraan nelayan yang mendekati kebenaran.
Data-data ini sangat penting untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan nelayan, baik nelayan tangkap maupun budidaya yang merupakan indikator keberhasilan pembangunan sektor perikanan keseluruhan.
Kita mengingat juga, bahwa keinginan kuat dari bapak mentri kelautan dan perikanan Ir. Fadel Muhammad dan kementrian kelautan perikanan (KKP) untuk mewujudkan masyarakat perikanan dan kelautan yang sejahtera. Sejahtera berarti lepas dari kemiskinan. Ini memang merupakan sesuatu tugas yang tidak ringan mengingat tumpuan harapan ada pada pemerintah berupa kucuran dana dan pinjaman modal usaha. Untuk itu, peran dari dunia usaha swasta sangat diharapkan terutama bagaimana tingkat kepercayaan dari pemodal swasta terhadap nelayan.
Mungkin ketidakberhasilan atau belum berhasilnya program-program pemberdayaan nelayan dari pemerintah tidak terletak pada sifat dan kultur nelayan tetapi lebih pada kelemahan dan kekauan dari program yang pemerintah gulirkan. Misalnya tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk nelayan belum maksimal. Hal ini karena jangkauan KUR terbatas dan tidak mencakup seluruh sentra produksi perikanan dan terikat pada prosedur bank yang tidak fleksibel. Demikian juga, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang memiliki dana kecil dan belum menyentuh semua kabupaten/kota pesisir.
Ini merupakan persoalan klasik yang kita hadapi selama pergantian pemerintahan di Negara ini, Oleh karena itu, menurut hemat penulis yang terpenting adalah mengubah first opinion atau anggapan masyarakat luas tentang ketidakberdayaan dan lemahnya kehidupan nelayan. Hal ini untuk menumbuhkan citra yang baik pada masyarakat terutama pemodal swasta asing atau daerah tentang kehidupan nelayan khususnya di daerah kita Sulawesi Tengah. Bahwa nelayan kita adalah nelayan yang memiliki produktivitas tinggi dan penghasilannya juga dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDRB daerah.
Nilai Tukar Nelayan (NTN) merupakan indikator yang teramat baik untuk menampilkan citra kehidupan nelayan di Sulawesi Tengah. Kita lihat saja menurut data BPS (2008-2010) bahwa NTN Nelayan di Sulawesi Tengah (walaupun sangat fluktuatif dari tahun 2008-2010) semenjak bulan Januari 2008 selalu mencapai rata-rata nilai diatas 100 bahkan untuk NTN nelayan Sulawesi Tengah pada Desember 2009 mencapai 113,23 persen yang berbeda tipis dengan nelayan Sulawesi Selatan sebesar 113,27 persen sebagai NTN tertinggi propinsi di seluruh Sulawesi.
Angka-angka ini bukan sekedar pajangan saja, tetapi dapat dijadikan pertimbangan rasional bahwa program pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan akan menemui keberhasilan sehingga perlu dipacu dalam pemantapan pembuatan program selanjutnya yang bertumpu pada kemandirian usaha nelayan.
Dan yang terpenting, angka-angka yang dihasilkan melalui metode NTN ini dapat menjadi alasan kuat bahwa nelayan memilki produktivitas yang tinggi yang dapat menjadi modal kepercayaan para investor asing atau daerah untuk menjadikan nelayan sebagai sasaran mitra usaha dan pengembangan bisnis mereka.
Semoga keinginan kuat dari kementrian kelautan dan perikanan dan juga keinginan bangsa ini untuk menjadikan kehidupan nelayan lebih sejahtera akan menemui keberhasilannya dan itu bisa terlihat dan terbuktikan melalui pendataan yang rapi dari metode-metode seperti Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang harus dilakukan setiap bulannya dan hasilnya diperhatikan oleh setiap instansi terkait.