Oleh.
Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*
Bencana alam gempa
bumi, tsunami dan liquifaksi yang melanda Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala)
telah berlalu kurang lebih 1,5 bulan dan berada pada masa transisi darurat menuju
pemulihan selama 60 hari sejak tanggal 27 Oktober 2018 hingga 25 Desember 2018
(sesuai Keputusan Gubernur No. 466/425/BPBD/2018) ini berarti masa tanggap
darurat yang telah ditetapkan oleh Pemerintah telah selesai yang juga berarti
taksiran kasar kerusakan dan kerugian Pasigala telah didapatkan sebagai bahan
pertimbangan untuk tindakan rekonstruksi kota selanjutnya.
Salah satu perihal
penting yang harus disiapkan di masa Transisi Darurat, yaitu masterplan yang
digunakan sebagai rujukan untuk masa rekonstruksi setelah masa transisi
berakhir, dan target perampungan masterplan seyogyanya pada akhir Desember
tahun ini. Masterplan rekonstruksi
Pasigala merupakan janji pemerintah yang tercetus di sela rangkaian acara
pertemuan tahunan Dana Moneter International-Bank
Dunia (IMF-WBG Annual Meetings) pada tanggal 12 Oktober lalu dimana
pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan
pemerintah Jepang yang diwakili oleh Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi
Ishii dan Presiden Japan International Cooperation Agency (JICA) Shinichi Kitaoka
telah sama-sama berkomitmen untuk melakukan percepatan rehabilitasi dan
rekonstruksi Pasigala dan untuk komitmen awal Pemerintah Jepang melalui JICA
akan memberikan bantuan technical
assistance penyusunan Masterplan (Rencana Induk) Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasigala.
Sepekan kemudian,
pada tanggal 19 Oktober 2018, pihak Bappenas, JICA dan Pemda Sulawesi Tengah,
Pemkab Donggala dan Sigi serta Pemkot Palu menindaklanjuti komitmen tersebut
dengan mengadakan pertemuan di Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah dengan agenda
kesepakatan dan kesepahaman pembuatan masterplan untuk segera diselesaikan
paling lambat 2 bulan dan diikuti dengan pembuatan Rencana Aksi oleh
kabupaten/kota terdampak bencana.
Komitmen ini lebih diseriusi oleh pemerintah pusat dengan diadakannya
lagi Rapat Internal Terbatas yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden RI
Yusuf Kalla dengan beberapa menteri terkait, Gubernur Sulteng, Ketua DPRD
Sulteng dan Walikota Palu bertempat di Istana Wakil Presiden tanggal 5 November
2018 dan selanjutnya dilanjutkan dengan kunjungan Wakil Presiden ke Palu
tanggal 11 November untuk membahas kelanjutan penyelesaian Masterplan dan upaya
rekrontruksi Pasigala.
Masterplan diharapkan
dapat selesai tepat waktu sesuai dengan keinginan masyarakat, tetapi tentunya
kualitas masterplan yang tepat sasaran untuk dijadikan arah pembangunan
Pasigala kedepannya adalah jauh lebih penting.
Olehnya sebelum masterplan dirampungkan mungkin ada beberapa masukan yang
dapat menjadi pertimbangan sebagai penguatan eksistensi masterplan tersebut. Yaitu: pertama
hendaknyaprogram-program yang termuat dalam Masterplan merupakan hasil dari computational thinking atau
sebagai langkah-langkah solusi mengatasi permasalahan sehingga harus bersifat
operasional dan bukan hanya sekedar identifikasi program. Misalnya pada program pembuatan peta zona
berbahaya (merah) dan zona aman harus diikuti dengan langkah-langkah yang
sifatnya operasional atau tindakan yang harus dilakukan pada kawasan pemukiman
penduduk apabila masuk dalam zona merah.
Apakah seluruh penduduk akan dievakuasi? Tentunya ini akan memberikan
konsekuensi yang besar atau hanya dilakukan pembatasan pembangunan dengan
memperketat keluarnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Beberapa program prioritas yang diperlukan
oleh Pasigala selain penentuan zona merah dan zona aman seperti pembangunan hunian
tetap (huntap) sebagai lokasi evakuasi penduduk yang kehilangan tanah dan
rumahnya, pembangunan fasilitas pemerintah terutama yang hancur akibat bencana
dan program mitigasi bencana seperti peningkatan kapasitas dan kemampuan
kesiapsiagaan masyarakat dan penguatan rantai peringatan dini terhadap gempa
dan tsunami. Masterplan ini akan menjadi
acuan pembuatan Rencana Aksi atau penyusunan kegiatan yang lebih detail untuk
pembangunan rekonstruksi dan upaya mitigasi bencana ke depannya.
Kedua, pembuatan masterplan harus
bersifat teknokratik melalui metode berpikir dan kerangka ilmiah yang
memperhatikan hasil-hasil penelitian yang lebih rinci terutama untuk
lokasi-lokasi rawan gempa, tsunami dan liquifaksi baik yang diperoleh secara
empiris maupun yang didasari pada validasi dan analisis data. Jika hal ini dilakukan, maka masterplan
secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga, masterplan
yang ada harus di back up oleh payung
hukum yang tepat. Payung hukum yang
dimaksud adalah bersifat mengikat dan sangat baik apabila dikeluarkan pada
level pemerintah baik dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan
presiden. Hal ini dikarenakan pelaksanaan program dan kegiatan pada masterplan
juga merupakan dukungan dari kementerian dan lembaga. Kementerian dan lembaga terkait memiliki
dasar dalam melaksanakan program-program dan kegiatan-kegiatan yang tertuang
pada masterplan baik dari sisi penganggaran maupun kesungguhan pencapaian
sasaran yang diinginkan dari program dan kegiatan yang telah dicanangkan. Keempat, penyusunan masterplan karena
bersifat darurat maka penyusunannya diharapkan tidak terlalu lama, minimal pada
pertengahan November ini telah dihasilkan draf sebagai
gambaran bentuk jadi masterplan, olehnya untuk menghindari sifat masterplan
yang sangat top down karena dibuat
oleh Bappenas dan kementerian terkait yang diasistensi oleh JICA, maka sangat
perlu draf masterplan disosialisasikan dalam bentuk konsultasi publik.
Konsultasi publik
dari penyusunan masterplan adalah melibatkan masyarakat dengan cara menampung
aspirasi berupa kebutuhan dan secara transparansi mengetahui proses pengambilan
keputusan serta merumuskan kebijakan yang terkait dengan mereka oleh pihak
pengambil keputusan yaitu pemerintah.
Peristiwa bencana yang menimpa Pasigala adalah kondisi yang sangat luar
biasa oleh karena itu masyarakat Pasigala
berhak untuk dimintai pendapatnya, memperoleh penjelasan, mengajukan
usulan dan mengoreksi secara terus menerus setiap keputusan dan kebijakan yang
tertuang dalam masterplan bahkan pada hal-hal yang sangat krusial seperti
penentuan relokasi pemukiman untuk menghindari zona merah, masyarakat bisa ikut
dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya kelima, biaya rekonstruksi Pasigala diperkirakan mencapai lebih
dari 15 trilyun atau lebih besar dari bencana gempa Lombok yang 12,5 trilyun. Biaya sebesar itu diperlukan untuk
pembangunan fisik atau biaya rekonstruksi tetapi harus diingat bahwa penanganan
masyarakat Pasigala harus kompherensif dengan tidak mementingkan pembangunan
fisik fasilitas umum yang hancur saja tetapi juga pembangunan yang bersifat
mitigasi bencana atau yang mempermudah masyarakat untuk menjadi tanggap dan lebih peka terhadap
bencana-bencana yang diprediksi akan terjadi.
Hal
yang paling penting yang juga harus masuk dalam Masterplan Pasigala adalah
pembangunan infastruktur penyedia sumberdaya air. Seperti Irigasi Gumbasa yang merupakan sumber
utama air bagi kawasan pertanian hancur oleh gempa 7,4 skala Richter, sehingga
perlu pembangunan irigasi gumbasa beserta saluran sekunder menjadi prioritas
dalam masterplan untuk tujuan agar kebutuhan air untuk area persawahan
terpenuhi kembali. Disamping itu,
daerah-daerah yang masuk dalam kawasan yang diairi oleh daerah Gumbasa juga
mengalami dampak gempa yang cukup hebat, sehingga diperlukan penanganan dan
pengolahan lahan pertanian kembali untuk bisa ditanami. Permasalahan yang muncul yaitu perbaikan
irigasi Gumbasa tidak bisa berlangsung singkat tetapi diperkirakan bisa
mencapai 2 tahun untuk bisa normal kembali.
Di dalam masterplan pun, perlu dimunculkan program-program yang bersifat
antisipatif terhadap pembangunan infrastruktur yang memakan waktu yang lama
dalam rekonstruksinya.
Pada
saat ini, Inisiatif masyarakat dan petani untuk pengarian lahan sawah yaitu
mengandalkan sistem pompanisasi tetapi apakah ini mampu untuk mengairi area
persawahan yang begitu luas atau berapa unit pompa yang harus disiapkan
segera. Daerah-daerah terdampak gempa
seperti Kawasan Biromaru diketahui sebagai sentra pengembangan palawija dan
komoditas hortikultura, desa Jono Oge dan Sidera diketahui juga sebagai
penghasil hortikultura dan petani pada kawasan-kawasan tersebut sangat
tergantung pada Irigasi Gumbasa untuk penanaman kembali komoditas padi, jagung,
kedelai, ubi dan tanaman hortikultura lainnya seperti bawang merah, cabai,
terong, kacang panjang dan sayur mayur.
Sebelumnya Kawasan Biromaru dan sekitarnya sebagai pemasok palawija dan
komoditas hortikultura yang bukan saja untuk daerah Sulawesi Tengah tetapi juga
daerah lainnya seperti Kalimantan, Manado, Gorontalo bahkan sampai Pulau Jawa. Karena kondisi sistem pengairan yang rusak
maka di dalam Masterplan harus mencantumkan program-program yang bersifat pada
ketahanan pangan yang diikuti dengan mambangun komitmen dengan provinsi
tetangga yang akan bertindak sebagai penyanggah pangan Pasigala terdampak
bencana.
Mengenai
ketahanan pangan ada inisitatif dari Pihak FAO yang dimediasi oleh Bappenas untuk
menghidupkan kembali Food Security and
Livelihood – FSLSC sub cluster
atau ketahanan pangan dan mata pencaharian tingkat Sulawesi Tengah. Sub
cluster ini berada dibawah struktur klaster nasional yang dikoordinasikan
oleh Bappenas dan bekerja sama erat dengan institusi pemerintah lainnya,
khususnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kementerian teknis yang
terkait dengan ketahanan pangan dan mata pencaharian seperti Kementerian
Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Sosial dan
Kementerian Ketenagakerjaan serta organisasi lain yang bekerja di bidang
Ketahanan Pangan dan mata pencaharian.
Sangat diharapkan bahwa penanganan oleh berbagai pihak baik dalam dan luar
daerah dapat berkolaborasi dengan baik bahkan jika bisa semua penanganan dan
rehabilitasi pasca gempa Pasigala dapat terintegrasi pada satu Masterplan yang
merupakan rujukan pembangunan Sulawesi Tengah kedepannya dan akhirnya dengan semboyan
#sultengbangkit #palukuat memberikan semangat baru untuk membangun daerah yang
kita cintai bersama ini.
*Kepala Sub Bidang Perencanaan Ekonomi II BAPPEDA
Prov. Sulteng