Senin, 09 Desember 2019

APAKAH PERLU PEMERINTAH DAERAH BERINVESTASI?


Oleh. Dr. Moh. Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si*

Ungkapan usang yang sering kita dengar yaitu “menabung pangkal kaya” adalah sangat tidak relevan pada masa milenial ini.  Jangan-jangan justru kita menabung pangkal miskin.  Pasalnya, uang yang kita tabung di Bank memiliki nilai bunga yang lebih rendah dari nilai inflasi,  sehingga nilai uang yang kita butuhkan di masa yang akan datang akan jauh lebih besar dari uang yang tertanam di Bank bahkan terkesan kita juga turut andil memberikan sebagian uang kita kepada bank.  Untuk itu, diperlukan kecerdasan finansial untuk tidak menabung seperti biasanya tetapi harus melakukan yang namanya investasi.  Konsep dasar Investasi yaitu membuat pertumbuhan uang menjadi lebih cepat dan melampaui besaran inflasi sehingga lembaga, organisasi atau individu mampu mencapai tujuan finansialnya dengan lebih efektif.
Demikian juga untuk konsep pembangunan, tidak ada dalam sejarah sebuah Negara dapat membangun hanya dengan mengandalkan pendapatan asli Negara tanpa harus berinvestasi terlebih dahulu dengan pola kerjasama Negara lain atau pihak swasta bahkan Negara adidaya sekalipun seperti Amerika Serikat dan German yang membangun negaranya melalui skema pemberian pinjaman kepada Negara lain dengan jaminan tingkat bunga yang tinggi.  Skema ini juga yang kemudian di tiru oleh Negara China yang dengan strateginya itu banyak “menjerat” Negara-negara Asia dengan tumpukan utang yang menggunung.  Memang cara-cara kapitalis ini, tidak menjadi contoh yang baik dalam membangun terlebih bagi Negara kita yang agamis tetapi sebagai suatu alasan tentang pentingnya berinvestasi dan investasi yang dimaksudkan bisa dengan cara-cara lain yang lebih “baik”, seperti penyertaan modal, bagi hasil dan kerjasama pemerintah dengan badan usaha untuk aset dan sumber daya manusia.
Pada tanggal 12 September 2019 lalu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah.  PP ini menggantikan PP No. 1 tahun 2008 dengan pertimbangan perkembangan kondisi dan kebijakan pemerintah dalam bidang investasi, dan untuk meningkatkan afektivitas pengelolaan Investasi Pemerintah.  Setelah PP ini dikeluarkan, maka diharapkan mekanisme investasi dapat dikuti oleh Pemerintah Daerah dimana sebagai pengelola otonom APBD nya masing-masing.
Selama ini, pemerintah telah menggunakan instrumen fiskal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan memenuhi prinsip keadilan bagi seluruh rakyat.  Hal tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan bernegara yaitu Negara yang maju dan mandiri.  Instrumen fiskal tersebut antara lain melalui pajak dan sumber pendapatan lain yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja pemerintah dan investasi untuk mendapatkan manfaat di masa yang akan datang dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi.
Prinsip pemerintah dan pemerintah daerah terhadap masyarakat adalah berorientasi pada pelayanan (service-oriented) dan bukan orientasi bisnis (business-oriented) apalagi orientasi keuntungan (profit-oriented), tetapi pelayanan yang dimaksud dapat berjalan dengan baik apabila di dukung oleh pembiayaan yang baik pula.  Pelayanan butuh anggaran dan menjadi tanggungjawab pemerintah atau pemerintah daerah untuk mendapatkannya tanpa masyarakat terasa terbebani.  Oleh karena itu, di beberapa Negara termasuk Indonesia untuk mendapatkan tambahan anggaran, pemerintah menggunakan agen sebagai kepanjangan tangan untuk melakukan investasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.  Agen investasi pemerintah tersebut dapat berupa lembaga yang terpisah dari fiskal seperti: BUMN atau lembaga yang dibentuk dengan undang-undang yang berfungsi sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) ataupun bentuk kelembagaan dalam struktur pemerintahan sesuai dengan karakteristik masing-masing negara, yang biasanya menggunakan mekanisme trust fund.
Jika penyelenggaraan pemerintah yang berbasis pelayanan maka tidak mungkin keuntungan akan diperoleh, malah kemungkinan selalu impas atau merugi, untuk itu, dibutuhkan lembaga-lembaga yang memiliki mekanisme sendiri dengan penyelenggaraan pemerintah yang tugas pokoknya melakukan koordinasi dalam hal pengelolaan uang Negara atau daerah untuk diinvestasikan.  Uang atau dana segar diperoleh dari penerimaan Negara melalui Undang-Undang (UU) tentang Perpajakan dan UU PNBP.  Namun sampai saat ini, diperlukan sebuah pengaturan setingkat UU yang mengatur tentang tata kelola investasi pemerintah maupun pengelolaan dana dalam bentuk trust fund.
Trust Fund atau wali amanat adalah sejumlah aset finansial yang dapat berupa properti, uang, sekuritas  atau Trust yang oleh orang atau lembaga berupa Trustor atau Donor atau Grantor yang dititipkan atau diserahkan untuk di kelola dengan baik oleh sebuah lembaga  yang disebut Trustee dan disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan penerima manfaat atau Beneficiaries sesuai dengan maksud dan tujuan yang dimandatkan.  Trust Fund merupakan mekanisme pembiayaan program yang membutuhkan biaya relatif besar secara berkelanjutan dalam jangka menengah dan panjang.  Status Trust Fund tidak dimiliki oleh siapapun dan dikumpulkan dengan tujuan: Pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat; pendidikan atau beasiswa; penanggulangan bencana alam; penanggulangan masalah sosial, budaya dan kesehatan; pelestarian sumberdaya alam dan program strategis lainnya.  Sebenarnya trust fund telah diatur di Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.
Kebutuhan regulasi yang tertinggi berupa undang-undang, maka dikeluarkanlah UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang juga terdapat pengaturan terkait investasi pemerintah yang menyatakan pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan atau manfaat lainnya.  Investasi yang dimaksud dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung yang harus diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menindaklanjuti hal tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 63 tahun 2019 di mana ditegaskan bahwa pemerintah dapat berinvestasi dalam berbagai instrumen investasi yaitu saham, surat utang dan investasi langsung berupa pemberian pinjaman, kerja sama investasi, dan investasi langsung lainnya.
Prinsip dasar, mengapa pengelolaan investasi itu dilakukan dikarenakan tantangan pembiayaan pembangunan yang begitu besar sedangkan dana pemerintah memiliki keterbatasan.  Pada saat  ini, kebutuhan investasi pemerintah total berjumlah Rp. 4.457 Trilyun dengan perincian ada pada swasta sebesar Rp. 2.630 Trilyun, BUMN sebesar Rp. 1.381 Trilyun dan APBN/D sebesar Rp. 446 Trilyun yang digunakan untuk membiayai 5 sektor dengan nilai investasi tertinggi ditambah Ultra Mikro pada sektor energi, kelistrikan, jalan, kereta api, kawasan ekonomi dan industri serta sektor ultra mikro.  Investasi pemerintah tersebut dalam bentuk permanen seperti: Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dipisahkan dari APBN tetapi berada pada kendali BUMN dan bentuk Non Permanen seperti Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Hukum Lainnya (BHL).
Tujuan dari pengelolaan investasi pemerintah yaitu selain keinginan mengoptimalkan dana investasi yang berasal dari APBN melalui koordinasi kebijakan investasi pemerintah yang dilakukan oleh berbagai operator dan membangun tata kelola yang dapat meningkatkan value investasi adalah juga untuk mengkolaborasikan dana pemerintah dengan dana private melalui skema-skema investasi yang mampu mencapai tujuan investasi pemerintah sekaligus cukup menarik dari sisi return bagi investor.  Adapun sustansi pelaksanaan investasi bahwa dibentuk operator sebagai agen pemerintah berupa BLU, BUMN dan BHL dan mengintegrasikan kebijakan investasi pemerintah yang dilakukan oleh Komite Investasi Pemerintah (KIP), yang akan membantu tugas Menteri Keuangan untuk menyusun kebijakan investasi sekaligus melakukan pengawasan atas pelaksanaan investasi pemerintah yang dilakukan operator.
Pengelolaan investasi dilakukan dengan best practice untuk menghilangkan gap pengaturan investasi pemerintah dengan investasi di sektor private sehingga investor dapat mengukur risiko investasi apabila akan mengkolaborasikan dananya dengan dana Pemerintah yang dilaksanakan oleh agen-agen.  Agen bekerja untuk mendapatkan return yang lebih tinggi secara ekonomi, melalui proyek-proyek yang tidak hanya memiliki financial return namun juga memberikan multiplier effect yang tinggi bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Pertanyaan penting, Apakah Pemerintah Daerah perlu untuk melakukan investasi? Jika alasan karena tingginya pembiayaan daerah, maka pasti adalah sangat perlu.  Hanya saja, apakah pemerintah daerah mampu meaksanakannya dengan berbagai keterbatasan sebagai berikut: (1) APBD sebagai sumber dana investasi jumlahnya sangat rendah dan memiliki resiko yang sangat tinggi jika dimainkan dalam bentuk investasi; (2) Banyak daerah yang masih tinggi ketergantungannya dengan dana transfer (DAK, DAU, DBH); (3) Pemerintah Daerah kebanyakan belum memiliki operator investasi (agen-agen) yang mapan dari sisi pengelolaan perusahaan, SDM dan peralatan; (4) Masih ada kekhawatiran dari para Investor tentang jaminan penyertaan (sharing) modal dengan pemerintah daerah termasuk mekanisme bagi keuntungan, manajerial dan pengelolaan resiko kerugian serta (5) BUMD masih terkesan selalu merugi sehingga tidak berperan efektif sebagai kepanjangan tangan malah terkesan dihidupkan oleh induknya (pemerintah daerah) sendiri.  Oleh sebab itu, perlu analisis yang lebih mendalam lagi tentang pengembangan dana pemerintah daerah melalui pengelolaan investasi.  Bagaimanapun, kita selalu berpikir bahwa pemerintah daerah yang otonom adalah institusi yang berfokus pada pelayanan publik dengan indikator keberhasilannya yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat karena efektifnya pelayanan.  Sehingga keinginan dari masyarakat adalah bagaimana terlayani mereka dengan baik tanpa ada timbul rasa kekahawatiran terhadap kemungkinan pengelolaan dana pemerintah daerah yang akan crash (macet) akibat resiko pengelolaan investasi.  Sekian.

*Kepala Sub Bidang Perencanaan Ekonomi II Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah

Selasa, 03 September 2019

STUNTING: JANGAN JADI PROGRAM SETENGAH HATI


Oleh. Dr. Moh. Saleh Lubis, S.Pi, M.Si


Program aksi penurunan stunting atau tubuh kerdil lebih mirip dengan program aksi penanggulangan gizi buruk atau busung lapar di masa Presiden Soeharto yang terus berlanjut sampai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gejala busung lapar dan stunting memiliki permasalahan yang sama yaitu diakibatkan oleh kondisi kurang gizi bagi anak dimasa-masa pertumbuhannya, lebih khusus untuk anak di bawah lima tahun (balita).  Hanya saja di zaman Presiden Jokowi penanganan difokuskan pada stunting dengan melihat perbandingan pertumbuhan anak yang tidak sesuai antara tinggi badan dan umur.  Tinggi badan dijadikan ukuran kesehatan dan produktifitas manusia, dimana semakin tinggi badan seseorang, maka secara medis tidak memiliki kendala pada proses pertumbuhannya dan bisa bekerja secara produktif, sebaliknya ukuran tubuh pendek mencerminkan ada permasalahan pada proses pertumbuhan manusia yang disebabkan oleh kurangnya gizi di masa-masa pertumbuhan emasnya (golden ages), yaitu pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Program stunting memiliki semboyan “cegah stunting, itu penting”.  Lalu mengapa penting? Ternyata stunting memiliki dampak luas yang tidak hanya pada aspek kesehatan tetapi juga pada aspek pertumbuhan penduduk dan aspek ekonomi.  Pada aspek kesehatan stunting memberikan dampak gagal tumbuh pada bayi, hambatan perkembangan kognitif dan motorik serta gangguan metabolik pada saat dewasa dengan resiko penyakit tidak menular (diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung), selanjutnya pada aspek pertumbuhan penduduk stunting menurunkan produktivitas SDM dan bonus demograsi tidak termanfaatkan dengan baik.  Sedangkan pada aspek ekonomi stunting berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi setiap tahunnya sebesar 2 s.d 3 persen dari PDB dimana jika PDB Indonesia sekitar Rp. 13.000 triliun, maka potensi kerugian negara sebesar Rp. 260 s.d 390 Triliun/tahun (The Worlbank, 2016).  Dan potensi keuntungan ekonomi dari investasi apabila stunting dapat diturunkan di Indonesia bisa mencapai 48 kali lipat (Hooddinott, et al, 2013-International Food Policy Research Institute).
Judul pada opini ini yaitu: stunting jangan jadi program setengah hati.  Makna dari judul bukan karena ada rasa pesimistis tentang keberhasilan dari program ini, tetapi lebih pada fenomena kurang responnya pemerintah daerah, kabupaten, kecamatan, dan desa yang tergambar dari tidak dialokasikan anggaran berfokus stunting dan kurang terkoordinasi dengan baik di setiap tingkatan pemerintahan dari pusat hingga desa.  Menurut penilaian penulis, pengetahuan stunting hingga tingkat paling bawah juga tidak maksimal karena belum meratanya sosialisasi di setiap daerah-daerah rawan stunting seperti pedesaan, daerah terpencil dan pulau-pulau kecil.  Jika dipahami oleh kita bersama, maka stunting merupakan program prioritas nasional yang telah dimasukkan di dalam Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2020-2024 dan juga merupakan Arahan Presiden Terpilih yang disampaikan pada pidato Visi Indonesia di Sentul Jawa Barat pada tanggal 14 Juli 2019 bahwa terdapat 5 (lima) sasaran prioritas pembangunan ke depannya yaitu (1) Pembangunan Infrastruktur, (2) Pembangunan SDM, (3) Mendorong Investasi, (4) Reformasi Birokrasi dan (5) Penggunaan APBN.  Adapun program pencegahan stunting masuk pada sasaran Pembangunan SDM bersama-sama dengan program-program lainnya seperti kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak usia sekolah, kematian ibu dan bayi, peningkatan kualitas pendidikan, vokasi, membangun lembaga manajemen talenta Indonesia dan dukungan bagi diaspora bertalenta tinggi.
Berdasarkan asumsi diatas, maka aksi penurunan stunting secara struktural harus segera dilakukan dan ditanggapi sampai pada tingkat terbawah yaitu tingkat desa. Menurut data UNICEF, WHO (2016) bahwa beberapa capaian indikator kesehatan Indonesia masih rendah dan tertinggal, salah satunya diketahui 3 dari 10 anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia menderita stunting yang dapat berpengaruh pada produktivitas tenaga kerja dalam jangka panjang.  Sedangkan menurut Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dalam laporan sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban gizi ganda (double burden malnutrion).  Untuk data terakhir tahun 2018 hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30,8 persen.

Stunting di Sulawesi Tengah
Angka stunting di Sulawesi Tengah cukup tinggi berada diatas rata-rata angka stunting nasional yaitu 32,3 persen (Riskesdas, 2018) dimana untuk kabupaten dengan angka tertinggi berturut-turut Kabupaten Donggala (30,3%), Kabupaten Sigi (28,7%), Kabupaten Buol (28,4%) dan Kabupaten Morowali (22,9%).  Berdasarkan pertimbangan tingkat kemiskinan daerah yang tinggi dengan jumlah penduduk maka pemerintah pusat menetapkan ada 2 kabupaten sebagai locus stunting di Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Banggai (30,5%) dan Kabupaten Parigi Moutong (14,9%) untuk tahun 2018 dan 2019.
Strategi aksi penurunan stunting di daerah berpedoman pada Buku Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota yang dikeluarkan oleh Bappenas dan adapun tindakan aksi dilaksanakan karena perintah Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan Suratnya Nomor 440/7607/Bangda perihal pelaksanaan intervensi penurunan stunting terintegrasi di kabupaten/kota yang ditujukan kepada seluruh Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia.  Pada prosedur aksi penurunan stunting tersebut, terdapat 8 (delapan) aksi yang harus dilalui yaitu (i) aksi 1: analisis situasi program penurunan stunting; (ii) aksi 2: penyusunan rencana kegiatan; (iii) aksi 3: Rembuk Stunting; (iv) aksi 4: penetapan Peraturan Bupati/Walikota; (v) aksi 5: pembinaan kader pembangunan manusia; (vi) aksi 6: sistem manajemen data; (vii) aksi 7: pengukuran dan publikasi stunting; (viii) aksi 8: reviu kinerja tahunan.   Aksi ini, harus dilakukan secara bertahap untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dan semua tahapan dapat dilakukan secara mandiri oleh kabupaten/kota, hanya saja pada tahapan Rembuk Stunting ditemui permasalahan mendasar yaitu kurang terlibatnya pimpinan atas (top leader) dalam proses tersebut.  Keterlibatan ini sangat penting, karena terlibat berarti mendukung sepenuhnya termasuk mengeluarkan regulasi-regulasi daerah yang mendorong terciptanya angka stunting minimal.
Rembuk stunting merupakan suatu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk memastikan terjadinya integrasi pelaksanaan intervensi penurunan stunting secara bersama-sama antara OPD penanggung jawab, lembaga non-pemerintah dan elemen masyarakat yang di back up oleh pemerintah kabupaten/kota.  Pemerintah kabupaten/kota secara bersama-sama akan melakukan konfirmasi, sinkronisasi, dan sinergisme hasil analisis situasi dan rancangan rencana kegiatan dari OPD penanggung jawab dengan hasil perencanaan partisipatif masyarakat yang dilaksanakan melalui Musrenbang kecamatan dan desa dalam upaya penurunan stunting di lokasi fokus. 
Prinsip utama kegiatan rembuk stunting yaitu mendapatkan komitmen bersama antara pemerintah daerah dan OPD terkait untuk program penurunan stunting yang akan termuat dalam renja dan RKPD tahun berikutnya.  Adapun pelaksanaan rembuk stunting yaitu ada Deklarasi Komitmen (commitment declare) dari pemerintah daerah melalui kepala daerah, pimpinan DPRD, pimpinan organisasi kemasyarakatan, lembaga perempuan, para tokoh masyarakat dan agama untuk menyepakati rencana kegiatan intervensi penurunan stunting terintegrasi.  Hal ini, dilakukan untuk membangun komitmen publik dalam kegiatan penurunan stunting secara terintegrasi di kabupaten/kota.
Output yang diharapkan yaitu komitmen penurunan stunting yang ditandatangani oleh bupati, perwakilan DPRD, kepala desa, pimpinan OPD dan perwakilan sektor non pemerintah dan masyarakat sebagai dasar gerakan penurunan stunting melalui integrasi program yang dilakukan antar OPD penanggung jawab dan partisipasi masyarakat.  Berdasarkan hal tersebut, maka kepedulian pimpinan daerah adalah sangat menentukan, karena kunci dari success story stunting ada di tangan para pimpinan yang bilamana hanya pada tataran disposisi maka jangan diharapkan penurunan stunting akan mencapai keberhasilannya.

Peran Pemerintah Provinsi
Lalu dimana peran provinsi? Berdasarkan pada surat Menteri Dalam Negeri, Nomor 440/7606/Bangda perihal pembinaan dan pengawasan pelaksanaan intervensi penurunan stunting terintegrasi di kabupaten/kota yang ditujukan kepada seluruh Gubernur KDH di seluruh Indonesia. Maka pemerintah provinsi memiliki tugas untuk memfasilitasi pembinaan, pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut atas kebijakan dan pelaksanaan program dan anggaran dengan memberikan fasilitas dan dukungan teknis bagi peningkatan kapasitas kab/kota, mengkoordinir pelibatan institusi non-pemerintah untuk mendukung aksi konvergensi percepatan pencegahan stunting serta melaksanakan penilaian kinerja kab/kota dalam penyelenggaraan pencegahan stunting, termasuk memberikan umpan balik serta penghargaan kepada kab/kota sesuai kapasitas provinsi yang bersangkutan.
Semoga aksi penurunan stunting di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah menemui keberhasilan dengan koordinasi yang apik oleh semua pihak terkait, tidak bersifat acuh tak acuh, memanfaatkan anggaran untuk mencapai target dan bukan sekedar melaksanakan proyek serta membangun komitmen dan tanggung jawab bersama demi kemajuan generasi berikutnya, sebagai salah satu pilar penting kemajuan peradaban daerah, Negara dan bangsa.

*Kepala Sub Bidang Perencanaan Ekonomi II BAPPEDA Prov. Sulteng

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...