Indonesia telah diakui
oleh dunia sebagai Negara Laut (sea
state) dan Negara Kepulauan (archipelagic
state) terbesar karena memiliki perairan laut dengan luas +
3.544.743,90 km2 yang terdiri atas perairan teritorial 12 mil seluas
+ 563.532,90 km2 dan perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 200
mil seluas + 2.981.211,00 km2 serta garis pantai sepanjang +
104.000,00 km (KKP, 2011), negara kita juga memiliki pulau-pulau berjumlah +
17.504,00 pulau (Kemendagri, 2008).
Dengan bentangan laut dan pulau-pulau dari pulau Rondo (Aceh) sampai
Merauke Indonesia serta pulau Rote sampai pulau Miangas memiliki sumberdaya
laut dan pesisir serta ekosistem yang berlimpah dengan keanekaragaman
sumberdaya hayati yang tinggi (greatest
diversity).
Kesadaran akan
kekayaan laut kita baru saja kita rasakan, walaupun sejak dahulu semboyan anak
negeri kita bahwa “nenek moyangku seorang pelaut” yang mencirikan bahwa negeri
kita adalah negeri Bahari yang dikelilingi oleh luasnya laut dengan segala
kekayaan potensi yang terkandung didalamnya.
Misalnya untuk sumberdaya hayati meliputi luas terumbu karang (+
85.200,00 km2), hutan bakau (+ 32.440,18 km2), padang
lamun (+ 30.000 km2), potensi perikanan tangkap yang mencapai
70 juta ton per tahun serta lebih dari 2.500 jenis ikan, 590 jenis karang batu,
2.500 jenis moluska dan 1.500 jenis udang-udangan. Sedangkan sumberdaya non hayati berdasarkan
data Indonesia Mining Association
meliputi minyak dan gas (+ 4,3 milyar barrel) dengan produksi 1 juta
barrel/hari, timah (+ 8,1% cadangan timah dunia), pasir laut (+
2,34 milyar M3), produksi bijih besi (+ 320 juta ton per
tahun), produksi bauksit (+ 10,29 juta ton per tahun) serta mineral dan
hasil tambang laut lainnya. Berdasarkan
ketetapan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign right) pada batas-batas luas
perairan tersebut untuk eksplorasi, eksploitasi dan mengelola sumberdaya
pesisir dan kelautan yang ada didalamnya.
Mengapa Kita Baru Sadar?
Kesadaran
memiliki potensi dan kekayaan laut yang besar bersamaan dengan munculnya kesadaran
bahwa sampai saat ini, kekayaaan itu telah banyak dicuri oleh negara-negara
asing. Dengan kata lain bahwa negara-negara
tetangga menikmati hasil kekayaan kita dengan cara illegal tanpa ada kompensasi terhadap negara kita. Kita sadar bahwa kita begitu kaya karena
sering mengalami “pencurian kekayaan alam”.
Joko Widodo pada waktu debat capres dan cawapres mengatakan bahwa negara
mengalami kerugian sebesar 300 trilyun per tahun akibat tindakan illegal fishing yang dilakukan oleh
oknum-oknum yang berasal dari negara luar.
Jumlah kerugian ekonomi negara begitu besar dan memberikan kesadaran
bahwa potensi laut kita begitu tinggi yang seharusnya dapat menjadi tumpuan
penyedia pangan bagi rakyat Indonesia di masa sekarang dan akan datang.
Pada
waktu penulis menghadiri kuliah umum mahasiswa program magister manajemen
kelautan Universitas Hasanuddin yang membahas tentang potensi laut
Indonesia. Sang professor sebagai
mediator kuliah bertanya apakah yang menyebabkan sumberdaya laut kita selalu
dicuri oleh negara lain? Banyak peserta kuliah yang membahasnya dengan begitu
diplomatis. Ada yang mengatakan bahwa
regulasi perikanan kita masih kurang, armada pengawasan yang sangat minim,
tidak adanya koordinasi antara instansi pengawasan dan lain sebagainya tetapi
jawaban yang dimaksud kurang tepat.
Menurut guru besar tersebut bahwa laut kita sering menjadi ladang curian
karena laut kita kaya, beliau menganalogikan bahwa hanya orang kaya yang selalu
menjadi sasaran pencurian. Jawaban itu, begitu sederhana tetapi masuk akal.
Gagasan Poros Maritim
Kesadaran
terhadap potensi dan kekayaan laut yang kita miliki akhirnya memunculkan
berbagai konsep yang bertujuan mendorong arah pembangunan ke arah laut (maritime development). Banyak konsep yang dibuat tetapi satu konsep
yang menarik perhatian yaitu gagasan poros maritim yang disampaikan oleh
presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK pada acara debat capres-cawapres
beberapa bulan yang lalu. Dari paparan
beliau ada 3 elemen penting dari konsep poros maritim tersebut yaitu pertama, konsep sebagai sebuah visi ke
arah mana Indonesia akan dibangun dengan mengingatkan atau mengembalikan jati
diri Indonesia atau identitas nasional sebagai sebuah negara kepulauan melalui
kekuatan maritim yang bersatu (unity),
sejahtera (prosperity) dan berwibawa (dignity). Kedua, konsep memberikan
arahan mengenai tujuan bersama (a sense
of common purpose) dengan mengajak Bangsa Indonesia melihat dirinya sebagai
poros maritim dunia, kekuatan diantara dua samudera, menekankan realitas geografis,
geostrategis dan geoekonomi Indonesia yang masa depannya tergantung dan pada
saat yang bersamaan ikut mempengaruhi, dinamika di Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Ketiga, pada tataran
operasionalisasi rencana dibangunnya “tol laut” untuk menciptakan konektivitas
antar pulau, pengembangan pelabuhan dan industri perkapalan, peningkatan
infrastruktur perikanan dan perbaikan transportasi laut. Poros maritim akan
dimasukkan dalam bagian penting dari agenda pembangunan nasional (bisniskeuangan.kompas.com).
Pagar Halaman Laut Kita
Bagaimanapun
apa yang diutarakan baru pada tataran konsep sehingga masih jauh dari realita
dan harapan tetapi konsep dapat dijadikan pijakan awal berpikir kemana arah
yang tepat harus dilakukan. Menurut
hemat penulis, pada konsep yang disampaikan ada satu hal yang perlu ditambahkan
dan menjadi prioritas bagi penunjang pembangunan kelautan kita yaitu tentang
keamanan laut yang meliputi keamanan laut perbatasan dan laut territorial. Masalah utama yang kita hadapi adalah
melindungi segala potensi dan kekayaan laut kita untuk kemakmuran rakyat
sebesar-besarnya. Sebaik apapun konsep
yang menghasilkan realitas nantinya tetapi tidak melibatkan kekuatan untuk
melindungi apa yang menjadi milik kita maka justru semuanya akan menjadi
sia-sia, pemanfaatannya tentu tidak maksimal karena kekayaan alam kita justru
lebih banyak dieksploitasi oleh negara lain.
Diibaratkan
ketika kita memiliki sebidang tanah dan didalamnya akan dibangun sebuah rumah
idaman dengan dilengkapi taman yang indah tentunya hal pertama yang dilakukan
yaitu memagari sekeliling tanah dengan maksud melindungi segala aktivitas kita
dalam area tanah tersebut dari ancaman gangguan pihak luar atau dengan memagari
akan terlihat batas-batas jelas hak dan kewenangan dari tanah yang dimiliki.
Demikian
juga bagi halaman laut Indonesia harus dipagari dengan armada pengawasan yang
bekerja secara integrasi dan terkoordinasi.
Pengawasan terhadap illegal fishing tidak bisa hanya dilakukan oleh
pihak pengawasan kementerian kelautan dan perikanan saja tetapi harus mendapat
dukungan dari TNI AL, Ditpolairud bahkan Kelompok Pengawas Masyarakat. Pemerintah telah menunjuk Badan Koordinasi
Keamanan Laut (Bakorkamla) RI sebagai institusi koordinator keamanan laut
Republik Indonesia tetapi lebih terkesan pada jalan sendiri dan belum
efektifnya program-program pengawasan yang terintegrasi dengan institusi
keamanan laut lainnya. Tentunya kita
ingat pada peristiwa tiga orang pengawas perikanan yang ditahan oleh polisi
perairan (marine police) Diraja
Malaysia karena para pengawas perikanan Indonesia menangkap 5 kapal ikan illegal Malaysia di dekat Tanjung
Berakit Pulau Bintan Bulan Agustus 2010 lalu.
Mereka yang melakukan pelanggaran tetapi kita yang ditangkap, pengawas
perikanan kita yang hanya menggunakan 2 buah speedboat tidak berani untuk
melakukan perlawanan dan akhirnya bersama 5 kapal ikan Malaysia oleh marine police digiring ke Malaysia. Pertanyaan yang muncul ada dimana institusi
pengawas dan keamanan laut Indonesia lainnya sehingga ketiga pengawas perikanan
tersebut seakan-akan berjuang sendiri. Demikian
juga peristiwa pada Bulan Maret 2013 di Perairan Natuna, dimana kapal Patroli
Hiu Macan 001 milik KKP RI tidak berdaya saat menangkap kapal ikan China yang
kemudian melepaskannya karena mendapat ancaman penyerangan dari Kapal Perang
China. Begitu juga untuk
peristiwa-peristiwa lainnya dimana kita selalu kalah dalam persaingan dengan
armada kapal negara lain.
Oleh
sebab itu, menurut pendapat mantan Kepala Pelaksana Harian Bakorkamla RI
Laksamana Madya (Purn.) TNI Didik Heru Purnomo bahwa jika nantinya Presiden
terpilih Joko Widodo ingin mengembalikan kejayaan laut Indonesia dan
menjadikannya sebagai poros maritim dunia maka salah satu upayanya yaitu bahwa
menteri kelautannya adalah harus berani mati karena perjuangan gagasan poros
maritim harus diperjuangkan secara revolusioner bukan sebagai sesuatu yang
biasa-biasa saja (business as usual)
sehingga keberhasilan adalah hal mutlak harus dicapai jika tidak maka sang
menteri dengan berbesar hati harus mengundurkan diri.
Kementerian Koordinator Kelautan
Atas
dasar permasalahan yang ada konsep yang akan digulirkan memerlukan
tindakan-tindakan langsung (direct
actions) yaitu misalnya menambah armada kapal patroli pengawasan indonesia
sesuai institusi pengawasan yang berkewenangan untuk ‘memagari’ halaman laut
Indonesia yang meliputi Indonesia barat, tengah dan timur. Selain itu, diplomasi antar negara juga
sangat diperlukan terutama membahas tentang batas-batas kewenangan di laut.
Mengatasi permasalahan ini, usulan
menarik yang perlu mendapat dukungan adalah usulan dari Kamar Dagang dan
Industri Indonesia (Kadin) yaitu pemerintahan baru kiranya dapat membentuk
kementerian koordinator kelautan yang akan membawahi Kementerian Maritim dan
Logistik Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan tentunya
Badan Koordinasi Keamanan Laut. Kementerian
koordinator ini dimaksudkan untuk menghadapi persaingan pasar bebas yang sudah
semakin dekat dan sektor kelautan dapat menjadi andalan daya saing tinggi. Potensi kelautan Indonesia yang besar bukan
hanya berasal dari produk perikanan tetapi juga hasil laut lainnya seperti
minyak, gas dan mineral. Tetapi yang
terpenting pembentukan menteri koordinator kelautan untuk menciptakan
koordinasi yang solid diantara instansi yang berkewenangan termasuk tindakan
melindungi potensi dan kekayaan laut Indonesia.
Semoga konsep-konsep yang baik dilahirkan dapat diperjuangkan hingga
tataran implementasinya dan tidak mengikuti pengalaman-pengalaman masa lalu
dimana gagasan Kemaritiman Indonesia kerap berlalu dan hanya menjadi wacana
belaka (saleh lubis).