Sabtu, 18 Oktober 2008

GAMBARAN KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH

Setiap tanggal 17 Oktober diperingati sebagai hari anti kemiskinan. Dengan peringatan itu, kita diajak untuk selalu me-review tentang kondisi masyarakat miskin di sekitar kita, daerah bahkan negara sesuai dengan posisi dan peran kita masing-masing. Lalu menjawab pertanyaan apakah masyarakat miskin berkurang atau malah bertambah.

Untuk daerah kita di Sulawesi Tengah sesuai data BPS tahun 2008 ada sekitar 210.378 Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tersebar di 9 kabupaten dan 1 kota. Data diambil berdasarkan jumlah RT penerima BLT tahun 2008 dan apabila dibandingkan dengan Jumlah rumah tangga se-Sulawesi Tengah sebanyak 567.664 maka tingkat kemiskinan di Sulawesi Tengah masih cukup tinggi yaitu sekitar 37,06 %.

Jumlah RTM tertinggi terdapat di Kabupaten Donggala yang mencapai 49.909 kk, sebuah kabupaten tertua di Sulawesi Tengah dengan jumlah penduduk terbesar (465.890 jiwa) dan yang terluas wilayahnya (10.471,71 km2). Sebuah tantangan besar bagi setiap kepala daerah di daerah tersebut.

Selanjutnya untuk kabupaten dengan jumlah RTM tertinggi secara berturut-turut yaitu Kabupaten Parigimoutong (27.018 kk), Kabupaten Poso (20.749 kk), Kabupaten Banggai (20.501 kk), Kabupaten Toli-Toli (18.901 kk), Kabupaten Morowali (17.552 kk), Kabupaten Tojouna-Una (16.797 kk), Kabupaten Banggai Kepulauan (13.718 kk), Kota Palu (13.376) dan Kabupaten Buol (11.857 kk). (Data BPS, 2007).

Yang sedikit menggembirakan bahwa jumlah persentase penduduk miskin pedesaan di Sulawesi Tengah pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2007 mengalami penurunan yaitu dari 26,37 % menjadi 24,97 % demikian juga persentase penduduk miskin perkotaan dari 15,52% menjadi 12,86%. (Diolah dari data Susenas, BPS, 2007).

Masyarakat nelayan di Sulawesi Tengah diperkirakan adalah kelompok masyarakat dengan persentase kemiskinan yang tertinggi dari total kemiskinan di Sulawesi Tengah didasarkan pada data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa persentase orang miskin pada kelompok nelayan jauh lebih besar dibanding pada rata-rata penduduk Indonesia. Kondisi ini tampak dari Indeks kemiskinan ( Poverty Headcount Index, PHI ) nelayan sebesar 0,28 yang berarti setiap 28 orang nelayan dari 100 orang nelayan termasuk dalam kategori miskin, jauh lebih tinggi dari PHI nasional sebesar 0,18. Sulawesi Tengah sendiri memiliki panjang pantai sekitar 4.013 km dan sepanjang pantai tersebut memiliki kampung-kampung nelayan dengan kehidupan yang sangat sederhana.

Oleh karena itu, sangat diperlukan langkah-langkah pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Program-program pemberdayaan yang ada hendaknya lebih kreatif. Bukankah realisasi program pemberdayaan telah ada sejak 15 tahun yang lalu tetapi pengurangan angka kemiskinan belum terlalu signifikan. Sebab itu program-program pemberdayaan terus dievaluasi dan didesain sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah masing-masing.

Rabu, 27 Agustus 2008

PANTAI TALISE KOTA PALU (Kenangan Ketika Ku Kecil)

Pantai Talise Dengan Sampah dan Tanaman Liar

Saat berulang-tahun aku selalu teringat akan kenangan bersama ayah dan adik-adikku dikala hari minggu bermain dan berenang di Pantai Talise, pantai di Teluk Palu yang diapit oleh daratan Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Talise sendiri berasal dari bahasa kaili yang berarti buah ‘ketapang’, dinamakan demikian karena pantai ini dahulunya banyak ditumbuhi oleh pohon ketapang. Pantai Talise sebagai tempat tamasya adalah pilihan yang paling murah dan mudah bagi ayahku pada waktu itu dan pikiran yang sama bagi warga Kota Palu umumnya, kenapa? karena selain tidak memerlukan biaya, lokasinya teramat mudah untuk dicapai yaitu ditengah kota dan akses jalan yang sudah teraspal (sekarang sekitar jalan Raden Saleh, Raja Moili dan Cut Mutia).

Kenangan itu telah berlalu sekitar 28 tahun lalu dikala aku masih berumur 5 tahun. Pantai Talise pun masih sebuah pantai yang menarik dengan pepohonan kelapa di pesisirnya, memiliki pasir bersih, terumbu karang dan perairan yang jernih. Pantai Talise seakan-akan menyediakan waktu dan ruang tersendiri bagi setiap lapisan berbeda warga Kota Palu. Dikala hari libur atau hari minggu Pantai Talise berubah menjadi arena wisata, sore hari waktu bagi para nelayan untuk menangkap benur dengan alat tangkap yang disebut ‘pasero’ dan malam hari sebagai tempat santai menikmati alam malam laut sambil menikmati sajian pisang goreng dan saraba (minuman khas jahe).

Tetapi seiring dengan perkembangan Kota Palu yang berjalan walaupun lambat..Pantai Talise seakan tidak dihiraukan. Pesisir pantai yang penuh dengan sampah warga, pendangkalan dan airnya yang keruh karena sedimentasi tinggi ditambah lagi pohon-pohon nyiur melambai sudah hilang dalam pandangan dan semakin mendukung kuat julukan Palu sebagai kota gersang. Pantai Talise sudah tidak bisa menjadi tempat wisata bahkan dipandangpun sudah tidak enak bagi penduduk apalagi pendatang di Kota Palu, pantainya yang penuh sampah berserakan dan airnya yang tampak coklat akibat sedimentasi tinggi dan pendangkalan.

Telah dipahami bahwa pengotoran dan ketidakpedulian terhadap keberlangsungan Pantai Talise adalah efek dari pembangunan kota yang selalu berorientasi pada pembangunan daratan (continental orientation) kotanya seperti : pembangunan infrastruktur pemerintahan, pasar dan rumah toko sebagai penopang kegiatan bisnis dan kurang memprioritaskan pembangunan pesisir dan laut (coastal and marine orientation). Walaupun kemajuan kota-kota yang terletak di pesisir justru adalah karena memperhatikan dan mengunggulkan pembangunan wilayah pesisirnya.

Posisi Pantai Talise yang berada di tengah-tengah kota memang sangat rentan oleh aktivitas manusia yang sifatnya merusak lingkungan, seperti pemanfaatan ekosistem pantai yang tidak bertanggung jawab, tempat pembuangan sampah, sebagai tempat saluran akhir drainage kota (Pantai Talise terletak persis dibelakang R.S Undata Palu). Dan ini memang sangat sulit untuk dibendung karena sifat manusia yang selalu ingin memanfaatkan jasa lingkungan secara gratis tanpa balas memelihara (free rider) dalam memenuhi kebutuhannya.


Pesisir Pantai Talise dengan Pasirnya Yang Coklat Bercampur Lumpur

Dengan melihat kondisi dan permasalahan Pantai Talise tersebut maka dirasakan sangat perlu peran dari pemerintah kota untuk melakukan aksi pengelolaan wilayah pesisir Teluk Palu termasuk Pantai Talise. Pengelolaan yang dimakud disini bukan hanya sekedar membangun fasilitas penjaja kaki lima, yang dibuatpun tanpa adanya pendekatan partisipatif sehingga sekarang justru terbengkalai dan rusak (tidak difungsikan), tetapi yang dimaksud disini adalah aksi pengelolaan yang sifatnya keterpaduan (integrasi) antar disiplin ilmu, sektoral dan ekosistem (bila ada). Dan sekarang timbul pertanyaan apakah Pemerintah Kota Palu telah menyiapkan sebuah konsep untuk aksi pengelolaan tersebut? Dan Apakah aksi-aksi pengelolaan tersebut telah sinkron dengan RTRW Kota Palu?

Secara teori bahwa pengelolaan pesisir dan laut memiliki banyak versi, dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah itu. Ada pengelolaan berbasis co. manajement, pengelolaan berbasis keterpaduan dan pengelolaan berbasis masyarakat.

Terlepas dari teori-teori yang ada pengelolaan Pantai Talise (atas dasar kondisi secara visual) adalah sangat mendesak. Kalau kita pernah membaca bagaimana kondisi pesisir yang diposisikan sebagai ‘keranjang sampah’ maka contoh yang konkrit adalah Pantai Talise. Semua hasil buangan kota tertampung di Pantai Talise baik sampah rumah tangga maupun limbah kota (hotel, rumah sakit dan rumah makan). Selain itu, pasir pantai yang sudah agak kehitaman bagi sebagian masyarakat sekitar adalah tempat pembuangan hajat sehingga bau yang tak sedap menambah citra kekotoran Pantai Talise.

Selain itu, penataan para penjaja kaki lima (jagung bakar, buah-buahan, saraba dan lainnya) tampak semrawut dan kotor (baik penjual maupun pembeli sama-sama tidak sadar akan kebersihan). Untuk itu, pengelolaan Pantai Talise lebih cocok dilakukan dengan konsep keterpaduan (integrasi) yaitu suatu proses yang diawali dengan langkah perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian seluruh potensi Pantai Talise yang dilakukan antarsektor Pemerintah Daerah dan sektor swasta, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan Pantai Talise adalah yang paling besar terutama kesadaran akan kebersihan lingkungan pantai. Salah satunya adalah dengan menahan diri untuk tidak membuang sampah langsung ke pantai. Kedengarannya sangat sederhana tetapi kalau dilakukan dengan penuh kesadaran maka akan sangat mendukung terciptanya kebersihan laut dan pantai.

Intervensi pemerintah sangat diperlukan melalui institusi yang berkewenangan dalam pengelolaan pantai seperti Dinas Pariwisata, Dinas Tata Kota dan Pertamanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perhubungan, Bappeda, Pemerintah Kecamatan dan seterusnya. Institusi tersebut berkewajiban membuat perencanaan termasuk program yang mengarah pada pengelolaan Pantai Talise.
Dengan demikian diharapkan kepedulian terhadap pantai talise akan meningkat yang juga berarti bahwa kepedulian terhadap lingkungan bersih, kebersihan pantai, lahan mata pencaharian masyarakat (kaki lima dan nelayan tradisonal), tempat wisata dan lainnya yang semuanya mengarah kepada peningkatan PAD dan kesejahteraan masyarakat.

Kamis, 29 Mei 2008

BAGAIMANA PANDANGAN HUKUM LAUT BEBAS/LEPAS?

(Bahan Diskusi Marine Management)
Laut bebas/lepas berada di wilayah laut selain perairan pedalaman, perairan kepulauan, perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Oleh karena itu aturan dan hukum yang mengatur tentang laut bebas/lepas berada pada suatu badan otorita Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Salah satu produk hukum yang mengatur tentang laut lepas yaitu United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum laut dan telah di tandatangani oleh 118 negara termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. Konvensi ini merupakan kelanjutan dari Konvensi Jenewa tahun 1958 yang telah menghasilkan 3 konvensi yaitu : (1) Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hajati Laut Bebas; (2) Konvensi mengenai Dataran Kontinental; (3) Konvensi mengenai Laut Bebas.

Untuk melihat tanggapan Negara dan Bangsa Indonesia tentang hasil-hasil konvensi tersebut dan kesusaian hukum kepulauan dan perairan Indonesia serta sosialisasi kepada Negara dan Bangsa Indonesia maka hasil konvensi tersebut terlebih dahulu harus diratifikasi (disahkan) dalam bentuk Undang-Undang Negara Republik Indonesia.

Hasil ratifikasi Konvensi Jamaica 1982 tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.

Dalam UU No. 17 Tahun 1985 pada point Umum dijelaskan bahwa Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Jamaica 1982 mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim-rejimnya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut terdiri atas :

a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen. Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
c. Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.

Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki kewilayahan laut begitu luas dan sangat memerlukan rejim-rejim hukum laut agar pengawasan dan perlindungan wilayah laut terutama ancaman dari luar agar dapat diatasi. Selain itu rejim hukum Negara Kepulauan mempunyai arti dan peranan penting untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara sesuai amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

Hal-hal demikianlah yang melatarbelakangi perlunya Konvensi Jamaica 1982 disahkan dalam bentuk UU Republik Indonesia, yaitu UU No. 17 tahun 1985 yang melampirkan naskah asli Jamaica 1982.

Sesuai dengan Konvensi Genewa tahun 1958, Pasal 1 UU No. 19 tahun 1961 bagian konvensi tentang Laut Lepas, definisi atau Istilah "laut lepas" berarti semua bagian laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau perairan pedalaman sesuatu negara. Pada definisi ini, Negara dan Bangsa Indonesia hanya memiliki kedaulatan penuh pada wilayah laut sampai 12 mil saja (laut teritorial) dan selebihnya adalah laut bebas serta belum dikenal tentang wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Perihal ini dilengkapi dengan Konvensi Jamaica 1982 yang disahkan dalam UU RI No. 17 tahun 1985 dan menyatakan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan (Artikel 86 UNCLOS Jamaica 1982 disahkan).

Untuk setiap zona maritim Konvensi (UNCLOS) 1982 memuat berbagai ketentuan yang mengatur tentang penetapan batas-batas terluarnya (outer limit) dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai berikut:

1. Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara:12 mil-laut;
2. Zona tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus: 24 mil-laut;
3. Zona ekonomi eksklusif:200 mil-laut;
4. Landas kontinen: antara 200–350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.
Di samping itu Konvensi 1982 juga menetapkan bahwa suatu negara kepulauan juga berhak untuk menetapkan:
5. Perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya;
6. Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya; (Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004).

Tujuan dari UU No. 17 Tahun 1985 dapat dirinci sebagai berikut :

1. Mewujudkan pengetahuan, pemahaman dan wawasan khususnya kepada Bangsa dan Negara Indonesia tentang rejim-rejim hukum laut, termasuk rejim hukum Negara Kepulauan secara menyeluruh, kedudukan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka implementasi Wawasan Nusantara dan ketentuan-ketentuan hukum laut termasuk kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial sesuai yang termaktub di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Jamaica 1982.
2. Bangsa Indonesia akan memahami apa yang dapat dilakukan di wilayah laut bebas/lepas manapun termasuk laut bebas/lepas yang berhadapan langsung dengan perairan Indonesia maupun tidak disamping itu, akan tumbuh kesadaran dari Bangsa Indonesia sendiri tentang rasa kebanggaan dalam memiliki wilayah kesatuan laut.
3. Memberikan kepastian dan kekuatan hukum melalui penerbitan UU RI untuk mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Jamaica 1982 sesuai konsep kewilayahan laut Bangsa dan Negara Indonesia. Dan tentunya Bangsa Indonesia secara integral wajib mematuhi hukum international yang diberlakukan di laut bebas/lepas sekaligus siap mendapatkan sanksi dari dunia international akibat kelalaian dan tindakan yang dianggap melanggar ketentuan-ketentuan konvensi Jamaica 1982.

Target dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 1985 terdiri atas :

1. Mendapatkan legitimasi dan pengakuan hukum international bagi Bangsa dan Negara Indonesia untuk memiliki kewenangan dan kebebasan dalam memanfaatkan kewilayahan laut bebas/lepas yang meliputi :
a.Kebebasan melakukan navigasi;
b.Kebebasan melakukan penerbangan di atas laut lepas.
c.Kebebasan memasang kabel dan pipa saluran di bawah permukaan laut;
d.Kebebasan untuk mengkonstruksi pulau buatan dan pemasangan instalasi lainnya sesuai yang diizinkan oleh hukum international;
e.Kebebasan untuk melakukan kegiatan perikanan;
f.Kebebasan untuk melakukan kegiatan penelitian.

2. Menjadikan Bangsa dan Negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan mendapat perlindungan hukum international dari :
a.Kapal-kapal asing (baik laut maupun udara) yang mencoba mengganggu, memata-matai dan mengancam keberadaan negara kesatuan.
b.Kapal-kapal perompak (bajak laut) dan kapal-kapal yang melakukan perdagangan budak (tenaga kerja) illegal.
c.Pembuangan bahan-bahan berbahaya (radioaktif) oleh negara lainnya yang bisa mengakibatkan pencemaran laut secara luas.

Arti penting pengesahan Konvensi Jamaica 1982 bagi Bangsa dan Negara Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Pengesahan Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.

2. Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Deklarasi Juanda, menyatakan “Bahwa perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan yang diatur dalam TZMKO (Territoriale Zee-en Maritime Kringen Ordonantie) tahun 1933, tercantum dalam Staatsbad 1933 Nomor 422, berlaku mulai tanggal 25 September 1933, yang merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda.
Pasal 1 Ordonansi tersebut menyatakan bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil laut diukur dari garis air rendah dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah Indonesia sehingga Apabila menggunakan pasal tersebut untuk mengukur lebar laut territorial, maka sebagian besar dari pulau-pulau atau kelompok pulau-pulau akan mempunyai laut territorial sendiri dan sebagai akibatnya di antara laut-laut tersebut akan terdapat bagian-bagian dari laut bebas (Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004).

3. Indonesia sebagai negara yang berhadapan dengan laut bebas/lepas akan memiliki peran yang lebih, dalam hal ikut mewujudkan perdamaian dunia.

Senin, 05 Mei 2008

KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS PULAU PULAU TERLUAR

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau (DKP, 2005) dan memiliki pantai sepanjang 81.290 kilometer (Dishidros TNI-AL, 2003 dalam DKP 2005). Sejak ditetapkan pada tahun 1957 melalui Deklarasi Juanda dan dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 4 PrP tahun 1960, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang RI nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, serta diakui secara internasional melalui Undang-Undang Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, maka perairan Indonesia menjadi suatu wilayah yang utuh, dimana batas lautnya diukur dari titik pulau-pulau terluarnya.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki pantai dan bercirikan nusantara, batas-batas lautnya meliputi Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Batas Landas Kontinen (BLK), Batas Zona Tambahan (BZT) dan Batas Zona Perikanan Khusus (Special Fisheries Zone/SFZ). Berbagai jenis garis batas ini, belum seluruhnya terdeposit di UNCLOS atau dalam perjanjian perbatasan antarnegara, baik bilateral maupun multilateral. Sampai saat ini proses pengukuran, perjanjian maupun pemecahan permasalahan-permasalahan yang menyangkut batas negara khususnya batas laut masih terus dilakukan.

Indonesia memiliki kurang lebih 17.506 pulau termasuk pulau-pulau kecil terluar yang langsung berbatasan dengan wilayah perairan negara lain (DKP, 2006). Negara-negara tersebut adalah negara tetangga yang terdiri atas :

1. India di ujung utara Sumatera (dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, dimana pulau terluarnya yaitu Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Benggala, Pulau Rondo);
2. Malaysia disepanjang Selat Malaka (berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), dengan pulau yang merupakan titik terluar adalah Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Anambas di Provinsi Riau, Pulau Sebatik di Provinsi Kalimantan Timur);
3. Singapura disepanjang Selat Philip, dimana pulau terluarnya adalah Pulau Nipa (Provinsi Riau);
4. Thailand dibagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman (pulau terluarnya adalah Pulau Rondo (Provinsi NAD);
5. Vietnam didaerah Laut Cina Selatan dengan pulau terluarnya adalah Pulau Sekatung (Provinsi Riau Kepulauan, Kabupaten Natuna);
6. Philipina di daerah utara Selat Makasar, dengan pulau-pulau terluarnya adalah Pulau Marore dan Miangas yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara;
7. Republik Palau di daerah utara Laut Halmahera, dimana pulau terluarnya adalah Pulau Fani, Fanildo dan Bras (Provinsi Papua);
8. Australia disekitar selatan Pulau Timor dan Pulau Jawa;
9. Timor Leste disekitar wilayah Maluku dan NTT dengan pulau terluarnya adalah Pulau Asutubun (Provinsi Maluku), Pulau Batek (Provinsi NTT), Pulau Wetar (Provinsi Maluku);
Di dalam Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil terluar pada Lampiran I mencantumkan ada 92 pulau terluar yang langsung berbatasan dengan Negara tetangga.

Dengan panjang garis perbatasan laut, serta banyaknya pulau-pulau terluar yang potensial untuk dikembangkan, tetapi pada saat yang sama juga memiliki potensi konflik, ditambah dengan banyaknya negara yang berbatasan, maka penyusunan suatu kebijakan yang menyeluruh dari aspek perencanaan, pengembangan, dan pengawasan kawasan perbatasan laut merupakan sebuah kebutuhan. Hingga saat ini, pengembangan perbatasan laut belum dilakukan secara optimal, sebagai akibat belum adanya kebijakan yang komprehensif sehingga sulit untuk diimplementasikan (DKP, 2005).

Konflik-konflik perbatasan seperti yang terjadi pada kasus tenaga kerja Indonesia di Nunukan kurang dapat ditangani secara cepat, karena perangkat aturan pelaksanaannya belum tersedia. Pemerintah daerah yang seharusnya dapat cepat bertindak, tidak dapat melakukan apa-apa akibat keterbatasan kewenangan yang dimiliki. Untuk itu diperlukan penyusunan kebijakan kawasan perbatasan, khususnya perbatasan laut, maka peran masing-masing instansi secara bersinergi dapat diidentifikasi dan ditentukan dalam konteks pembangunan kawasan perbatasan laut Indonesia.

INVENTARISASI PULAU TERLUAR

Yang dimaksudkan dengan Pulau Terluar yaitu pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan nasional (Perpres No. 78 Tahun 2005).
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dishidros TNI-AL pada tahun 2003, terdapat 92 pulau kecil terluar yang tersebar di 17 provinsi dimana keberadaannya mempengaruhi luas wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sbb :

1. Kepulauan Riau, Jumlah Pulau : 18
Nama Pulau : Sentut, Tokong Malang Biru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Senua, Subi Kecil, Kepala, Sekatung, Karimun Kecil, Nipah, Pelampong, Batu Berhanti, Nongsa.
2. Kalimantan Timur, Jumlah Pulau : 4
Nama Pulau : Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit
3. Sulawesi Tengah, Jumlah Pulau : 3
Nama Pulau : Lingian, Salando, Dolangan.
4. Sulawesi Utara, Jumlah Pulau : 11
Nama Pulau : Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio, Marore, Batubawaikang, Miangas, Marampit, Intata
5. Maluku, Jumlah Pulau : 17
Nama Pulau : Jiew, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang, Enu, Batugoyang, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela, Meatimarang, Leti, Kisar, Wetar, Liran
6. NTT, Jumlah Pulau : 6
Nama Pulau : Alor, Batek, Dana (besar), Dana (kecil), Mangudu, Sophialouisa
7. Jawa Timur, Jumlah Pulau: 3
Nama Pulau : Barung, Sekel, Panehan
8. Jawa Tengah, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Nusakambangan
9. Jawa Barat, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Manuk
10. Banten, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Deli
11. Lampung, Jumlah Pulau : 1
Nama Pulau : Batu Kecil
12. Bengkulu, Jumlah Pulau : 2
Nama Pulau : Enggano, Mega
13. Sumatera Barat, Jumlah Pulau :2
Nama Pulau : Sibarubaru, Sinyaunyau
14. Sumatera Utara, Jumlah Pulau : 3
Nama Pulau : Simuk, Wunga, Berhala,
15. Nanggroe Aceh Darusalam, Jumlah Pulau : 6
Nama Pulau : Simeulucut, Selaut Besar, Pulau Raya, Pulau Rusa, Benggala, Rondo
16. Riau, Jumlah Pulau : 2
Nama Pulau : Batu Mandi, Iyu Kecil
17. Papua, Jumlah Pulau : 11
Nama Pulau : Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Brass, Bepondi, Liki, Kolepon, Laag, Ararkula, Karaweira
Sumber: Dishidros TNI-AL dalam DKP 2005.
ARTI STRATEGIS PULAU-PULAU TERLUAR

Selain sebagai bukti kuat batas wilayah negara, pulau-pulau dan karang-karang tersebut juga mempunyai prospek yang menjanjikan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Ini berarti penanganannya tidak hanya dibebankan kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan, TNI, Kepolisian, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Departemen Luar Negeri saja tetapi juga terkait dengan departemen lain seperti Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Oleh sebab itu perlu adanya sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau dan karang terluar Indonesia melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru.

Banyak sekali pulau-pulau kecil yang mempunyai panorama pantai sangat indah dan alami, sehingga merupakan aset yang sangat berharga dalam pengembangan pariwisata Indonesia, khususnya pariwisata bahari. Departemen Pariwisata dan Kebudayaan bekerjasama dengan instansi terkait dapat mempromosikan keberadaan pulau-pulau indah tersebut untuk wisatawan domestik maupun mancanegara.

Pulau-pulau terluar serta kelanjutan pulaunya di laut (landas kontinen) memiliki SD Laut hayati dan non hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pendapatan Negara dan kesejahteraan masyarakat seperti hutan mangrove, terumbu karang, berbagai jenis ikan dan sebagai lokasi pembudidayaan rumput laut serta lokasi penambangan minyak mentah, pasir laut dan sebagainya, sehingga dari aspek ekonomi teramat penting.
Pulau terluar adalah sangat menentukan luas perairan suatu Negara dengan mengukur lebar laut teritorial dari garis pangkal lurus kepulauan hal ini dijelaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) dan diperjelas pada PP No. 38 Tahun 2002 pasal 3 yang menyatakan bahwa di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan.
Pulau-pulau terluar merupakan kawasan strategis dan memiliki potensi sangat penting, karena di pulau-pulau tersebut terdapat Titik Dasar (TD) dan Titik Referensi (TR) yang digunakan untuk menarik garis pangkal batas wilayah atau teritorial RI (Berita Antara, 2007).
Dari aspek demografi (kependudukan) sebenarnya pulau-pulau terluar adalah tempat yang teramat baik bagi pemerataan jumlah penduduk. Selama ini program perpindahan penduduk dari Jawa, Madura dan Bali biasanya menuju pulau-pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) dan berorientasi ke arah pertanian. Program tersebut akan lebih baik jika dikombinasikan dengan perpindahan penduduk ke pulau-pulau kecil terluar Indonesia. Dengan demikian, pemerataan distribusi penduduk Indonesia secara geografis tetap tercapai, bahkan tercapainya tujuan lain seperti pertahanan dan keamanan. Aktivitas penduduknya pun tidak hanya berorientasi pada pertanian saja tetapi juga perikanan.
Dengan adanya penduduk di pulau-pulau terluar tersebut, maka tidak mungkin akan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.
Akibat posisinya yang sangat strategis maka banyak sengketa wilayah laut yang terjadi di beberapa negara di dunia yang memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya bahkan sampai menimbulkan perang, seperti antara Inggris dan Argentina yang memperebutkan Kepulauan Malvinas. Kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia, merupakan pengalaman buruk Indonesia. Di sini terlihat, Indonesia belum bisa mengelola dengan baik keberadaan pulau-pulau kecil termasuk karang-karang yang ada pada terluar wilayah Indonesia (Wikantika, K. 2005).
Pengakuan kepemilikan suatu pulau oleh Negara lain dapat terjadi karena 3 alasan yaitu :
(1) Pulau tersebut telah lama didiami oleh mayoritas penduduk dari Negara lain.
(2) Penguasaan efektif pulau dari aspek perdagangan, distribusi sandang-pangan dan pemeliharaan kesehatan.
(3) Perlindungan serta pelestarian ekologis.
Hal ini ditunjukkan saat Indonesia kalah dengan Malaysia pada perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan (Harian Kompas, 2005).
Dari 92 pulau terluar di Indonesia, 67 pulau (28 pulau berpenduduk dan 39 pulau belum berpenduduk) berbatasan langsung dengan negara tetangga dan 12 pulau di antaranya rawan penguasaan efektif oleh negara lain.
Dari buku Profil Pulau-pulau Kecil Terluar di Indonesia yang disusun Alex SW Retraubun dan Sri Atmini, Departemen Kelautan dan Perikanan (Harian Kompas, 2005). Profil ke-12 pulau tersebut yang rawan penguasaan oleh Negara lain yaitu :
1) Pulau Rondo Kelurahan Ujung Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Terletak di ujung utara Pulau Weh, merupakan pulau terluar strategis di ujung barat Indonesia yang menjadi jalur pelayaran internasional, berbatasan dengan India, tidak dihuni tetap dan hanya dihuni oleh petugas jaga mercusuar. Kekayaan alam berupa perikanan dan terumbu karang, rawan pencurian ikan (illegal fishing).
2) Pulau Sekatung, Desa Air Payang, Kelurahan Pulau Laut, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau. Terletak di utara Kepulauan Natuna, masuk Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Vietnam, termasuk gugusan Pulau Natuna selain Pulau Sedanau, Bunguran, dan Midai, luasnya sekitar 0,3 kilometer persegi. Tidak berpenghuni, sering digunakan sebagai persinggahan nelayan lokal dan asing, potensi berupa perikanan dan terumbu karang, rawan illegal fishing.
3) Pulau Nipa, Desa Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Riau. Pulau kecil tak berpenghuni yang berbatasan dengan Singapura, 80 persen merupakan batuan karang mati dan 20 persen batuan berpasir. Luas dataran lonjong ini sekitar 60 hektar, di sekitar pulau ini dijadikan penambangan pasir. Akibatnya, terjadi abrasi yang mengancam tenggelamnya pulau di tengah pelayaran lalu lintas internasional yang frekuensinya tinggi.
4) Pulau Berhala, Kecamatan Tanjungbintang, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Berada di Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia, tak berpenghuni, luas sekitar 2,5 kilometer persegi dan dikelilingi hamparan terumbu karang. Memiliki kekayaan alam berupa keindahan terumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
5) Pulau Marore, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Salah satu pulau kecil di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan Filipina. Berada di kepulauan berpenduduk sekitar 640 jiwa, luas sekitar 214,49 ha, termasuk gugusan Pulau Kawio, merupakan wilayah khusus di perbatasan Filipina yang disebut check point border crossing area, rawan illegal fishing.
6) Pulau Miangas, Desa Miangas, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Salah satu gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina, luas sekitar 3,15 kilometer persegi. Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Ada penduduknya yang mayoritas Suku Talaud, perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi. Dilaporkan mata uang yang mereka gunakan adalah peso, jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 678 jiwa, sudah ada listrik dari PLTD 10 KVA. Belanda menguasai pulau ini sejak tahun 1677, sejauh ini Filipina yang sejak tahun 1891 memasukkan Miangas dalam wilayahnya sudah menerima Pulau Miangas sebagai wilayah Indonesia berdasarkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional. Rawan terorisme dan penyelundupan.
7) Pulau Marampit, Kecamatan Pulau Karatung, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Salah satu pulau di Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Filipina, berpenghuni dengan jumlah penduduk sekitar 1.436 jiwa, luas pulau 12 kilometer persegi, pulau terluar yang dibatasi Samudra Pasifik di sebelah utara dan timur. Sarana navigasi pelayaran dan dermaga hingga kini belum terpasang, rawan abrasi karena berhadapan dengan laut lepas, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
8) Pulau Batek, Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Merupakan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, berada di perbatasan antara wilayah Kabupaten Kupang, NTT, dan Oekusi, Timor Leste, luas sekitar 25 ha. Menjadi tempat bertelur penyu-penyu serta lokasi migrasi lumba-lumba. Untuk mencapainya cukup mudah karena perairan di sebelah utaranya merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) jalur 3 yang menjadi jalur pelayaran internasional, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
9) Pulau Dana, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Terletak di sebelah selatan Pulau Rote yang merupakan pulau terluar berbatasan dengan Australia. Letaknya strategis karena menjadi pintu masuk jalur pelayaran internasional (ALKI jalur 3), tidak berpenghuni, jarak dengan Kota Kupang 120 kilometer dan dengan Pulau Rote 4 kilometer. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan perahu motor, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
10) Pulau Fani, Kecamatan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua. Pulau terluar yang berbatasan dengan Republik Palau, termasuk gugusan Pulau-pulau Asia. Ada penghuninya, luas wilayah sekitar sembilan kilometer persegi. Jarak ke Kota Sorong 220 kilometer dan dapat dicapai dengan kapal motor selama 35 jam. Penduduknya lebih sering berinteraksi dengan negara tetangga, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
11) Pulau Fanildo, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Salah satu gugusan Pulau Mapia, pulau tak berpenghuni yang berbatasan dengan Republik Palau, luas sekitar 0,1 kilometer persegi yang sekelilingnya merupakan pantai berpasir dan hamparan terumbu karang. Jarak dengan ibu kota Biak Numfor 280 kilometer. Untuk mencapai pulau ini bisa dengan menggunakan pesawat udara dan kapal laut rute Jakarta-Biak-Mapia, rawan illegal fishing dan effective occupation dari negara tetangga.
12) Pulau Bras, Kecamatan Supiori Utara, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua (di peta pulau nomor 37). Terletak di ujung utara Pulau-pulau Mapia, berbatasan dengan Republik Palau, luasnya 3,375 kilometer persegi, jarak Pulau Bras dengan Kabupaten Biak Numfor 280 kilometer dan dengan Pulau Supiori 240 kilometer yang dapat dicapai dengan perahu motor. Dihuni sekitar 50 jiwa penduduk, potensial untuk wisata terumbu karang, mata pencaharian nelayan dan membuat kopra, rawan abrasi dan rawan illegal fishing serta effective occupation dari negara tetangga.
Oleh karena itu, sangat penting Indonesia mencapai kesepakatan dengan 10 negara berbatasan darat atau laut dengan Indonesia. Yaitu Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, Australia, India, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Indonesia, seperti tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2000, memiliki 194 pulau menjadi titik-titik terluar dipakai sebagai garis pangkal kepulauan dan batas wilayah Indonesia.
Sejalan dengan telah merdekanya Timor Leste menjadi negara berdaulat serta jatuhnya keputusan Mahkamah Internasional bahwa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan milik Malaysia, pemerintah Indonesia sedang menggodok peraturan baru yang akan mengubah isi PP Nomor 38 tahun 2000.
Indonesia telah mendaftarkan data nama ribuan pulaunya, keuntungan yang diperoleh yaitu kepastian data yang menyatakan bahwa Indonesia telah secara turun temurun mengurus pulau-pulau tersebut. Selain itu melalui pendataan terhadap pulau, Indonesia akan memiliki pengetahuan apakah suatu pulau misalnya memiliki cadangan air atau sumber daya alam (Waspada Online, 2007).

TUJUAN DAN SASARAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN LAUT DAN PULAU PULAU TERLUAR

Perbatasan laut yang masuk dalam tinjauan suatu kebijakan meliputi wilayah perairan di kawasan perbatasan, serta pulau-pulau terluarnya. Wilayah perairan menyangkut kawasan teritorial maupun ZEE yang terkait dengan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam, termasuk pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan perbatasan dan monitoring serta pengamanan terhadap keberadaan kapal-kapal asing, sedangkan pulau-pulau terluar menyangkut berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan, baik yang berpenghuni maupun tidak.
Kebijakan khusus di bidang pengelolaan laut dan pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan ini, memiliki kekhasan penting karena menyangkut interaksi dengan dunia internasional terutama menyangkut hukum-hukum dan perjanjian yang berlaku secara universal maupun perjanjian dengan negara-negara tetangga yang berdekatan.
Tujuan dari penyusunan kebijakan ini adalah untuk memberikan landasan atau kerangka berpikir dalam penyusunan kebijakan nasional yang menyeluruh dan terpadu mengenai penanganan kawasan perbatasan laut, baik yang bersifat umum untuk seluruh kawasan perbatasan maupun yang bersifat khusus bagi masing-masing kawasan perbatasan yang spesifik. Adapun sasaran yang hendak dicapai dari kebijakan pengembangan kawasan perbatasan laut dan pulau-pulau terluar adalah:
1) Teridentifikasinya permasalahan, peluang, dan potensi pengembangan kawasan perbatasan laut;
2) Terpadunya konsep-konsep kebijakan penanganan kawasan perbatasan laut yang bersifat sektoral maupun regional;
3) Tersusunnya landasan konsep bagi kebijakan nasional penanganan kawasan perbatasan laut dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat perbatasan pulau-pulau terluar, menjaga kedaulatan negara dan meningkatkan rasa kebangsaan, serta memantapkan penerapan dan penegakan hukum nasional.
Apabila diperhatikan secara sekilas, telah terdapat kebijakan persesuaian antara Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 dengan konsepsi Sistem Pertahanan Nusantara. Dan sesungguhnya secara hukum perairan di Indonesia telah diatur penataannya dalam sebuah tata ruang melalui Undang-undang Nomor 6 tahun 1996. Namun Undang-undang Nomor 6 tahun 1996 hanya mengatur perairan yang digolongkan sebagai perairan yurisdiksi Indonesia. Artinya, masalah ZEE, zona tambahan dan Pulau-Pulau Terluar tidak tercakup dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996.
Dari kepentingan pertahanan negara, perlu ditetapkan wilayah perairan mana saja yang dikategorikan sebagai zona pertahanan maritim. Penetapan ini sesungguhnya bukan saja penting, namun juga ada baiknya dilakukan dalam waktu secepatnya setelah mendalami berbagai aspek yang mempengaruhinya, yaitu aspek hukum, aspek diplomasi politik dan aspek operasional. Dengan penetapan zona pertahanan maritim, maka secara operasional terbuka kesempatan bagi TNI-AL dan TNI-AU untuk menggelar latihan gabungan secara rutin di berbagai kawasan perairan yang dikategorikan sebagai zona pertahanan maritim. Hal ini akan berguna karena setiap perairan memiliki karakteristik yang berbeda-beda bagi digelarnya operasi pertahanan secara gabungan.
Untuk itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, aspek hukum. Menurut UNCLOS 1982 yang diratifikasi oleh melalui Undang-undang Nomor 17 tahun 1985, setiap negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 memiliki kewenangan untuk mengatur zonasi perairan yurisdiksinya sesuai kepentingan nasionalnya masing-masing. Sedangkan pada ZEE dan zona tambahan, dari aspek pertahanan setiap negara berhak mengambil tindakan yang dianggap perlu bila ada hostile intention dan hostile act dari lawan. Dikaitkan dengan zonasi untuk kepentingan pertahanan, sesungguhnya Indonesia secara sepihak dapat mendeklarasikan kepada dunia internasional bahwa ZEE dan zona tambahan di sekitar perairan yurisdiksi Indonesia termasuk dalam zonasi Sistem Pertahanan Nusantara.
Deklarasi secara sepihak tersebut akan terkait aspek kedua, yaitu aspek diplomasi politik. Deklarasi ini harus ditindaklanjuti oleh perjuangan diplomasi politik di tingkat internasional. Karena hampir sudah pasti akan muncul tekanan dari dunia internasional guna membatalkan deklarasi tersebut, khususnya dengan negara-negara yang berkepentingan dengan perairan di sekitar Nusantara. Tekanan tersebut muncul karena adanya kepentingan politik sekaligus ekonomi mereka yang akan terganggu dengan deklarasi Indonesia itu.
Tekanan yang dilakukan juga terkait dengan aspek ketiga, yaitu aspek operasional. Seiring dengan tekanan diplomatik, akan pula digelar show of force dari kekuatan angkatan laut negara-negara tersebut di perairan sekitar Nusantara. Dan apabila setelah deklarasi tersebut Indonesia menindaklanjutinya dengan penutupan temporer zona tersebut bagi kepentingan pertahanan Nusantara, misalnya bagi penggelaran latihan gabungan TNI-AL dan TNI-AU, bisa jadi akan terjadi peningkatan eskalasi baik pada aspek diplomasi politik maupun aspek operasional.
Pada aspek operasional, sangat terbuka peluang bagi negara-negara dimaksud untuk menggunakan kekuatan senjata terhadap Indonesia agar perairan tersebut dibuka kembali bagi kepentingan navigasi internasional. Asumsinya berangkat bahwa penutupan tersebut berbenturan dengan kepentingan nasional mereka, baik politik keamanan maupun ekonomi. Sebab wilayah perairan yang menjadi bagian dari zona pertahanan maritim Nusantara itu merupakan jalur pendekat bagi navigasi internasional untuk memasuki ALKI.
Dalam penetapan zona pertahanan maritim, yang dibutuhkan Indonesia adalah keberanian secara diplomatik politik yang ditunjang oleh perangkat hukum dan kesiapan aspek operasional yang juga ditunjang oleh perangkat hukum pula. Secara diplomatik politik, dibutuhkan sebuah kebijakan tunggal mengenai masalah penetapan zona pertahanan maritim yang harus diperjuangkan di forum internasional. Oleh karena itu, institusi seperti Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Keuangan dan Departemen Pertahanan, termasuk TNI-AL di dalamnya harus duduk bersama untuk menggodok masalah ini dan mengenyampingkan egoisme sektoral (Ali, H.A, 2003).

ALTERNATIF PEMBENAHAN PULAU-PULAU TERLUAR

Melihat sifat yang sangat penting dan segera dilakukan untuk membenahi pulau-pulau terluar diupayakan kebijakan sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dan memberikan Nama Pulau-Pulau Terluar.
Identifikasi pulau-pulau terluar meliputi penyusunan data khusus tentang pulau dan lingkungannya, kedalaman laut di sekitarnya, jarak dengan pulau utama hingga kondisi penduduk yang mendiaminya. Banyaknya pulau di Indonesia yang mencapai belasan ribu, ternyata yang baru terdaftar dan memiliki nama 4.981 pulau. Hal itu terungkap ketika Indonesia melakukan pendaftaran data nama 4.981 pulau di Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (Waspada Online, 2007). Oleh karena itu, pendaftaran data dan nama-nama pulau Indonesia, termasuk pulau-pulau terluar, menjadi modal Indonesia memperkuat posisi jika terjadi sengketa dengan negara lain.
b. Memperbaharui Peta Laut Indonesia (PLI).
Lepasnya Timor Timur serta sengketa perbatasan dengan negara lain, baik yang sudah diselesaikan atau belum, mempengaruhi PLI. Oleh karena itu, pemetaan kembali harus segera dilakukan. Bila tidak, Indonesia akan mengalami banyak kerugian, di antaranya potensi kehilangan landas kontinen sejauh 150 mil. Peta Laut Indonesia yang terakhir dibuat periode 1988-1995 dan hingga kini belum diperbarui lagi. Sedangkan garis batas dengan Timor Leste harus diperbarui. Selain itu, landas kontinen sejauh 350 mil laut sudah disampaikan oleh TNI Angkatan Laut kepada Departemen Luar Negeri untuk diklaim. Bila Indonesia terlambat mengklaim landas kontinen tersebut, maka bisa jadi Indonesia akan kehilangan landas kontinen sejauh 150 mil. Sesuai aturan Batas waktu untuk mengklaim landas kontinen paling lambat tahun 2009. Bila lewat dari batas waktu, Indonesia tidak berhak mengklaim lagi (Kuswandari E. 2006).
c. Pengamanan Pulau-Pulau Terluar.
Untuk pengamanan pulau-pulau terluar, saat ini TNI AL sudah membuat pola pengamanan berupa penempatan kapal dan pasukan setingkat peleton untuk melakukan patroli secara rutin. Saat ini, sudah enam pulau terluar yang terdistribusi pola pengamanan tersebut. Pengamanan laut Indonesia secara ideal membutuhkan 275 kapal berbagai jenis untuk kawasan barat, timur, dan tengah. Saat ini, baru tersedia 114 kapal. Selain melakukan patroli perlu penempatan pasukan marinir di pulau-pulau terluar. Hal ini dilakukan jika pulau-pulau tersebut tidak berpenghuni seperti hanya berupa pulau karang.

d. Distribusi Penduduk dari Pulau yang padat ke Pulau-Pulau Terluar
Sudah waktunya pemerintah menerapkan program transmigrasi yang mengarahkan perpindahan penduduk ke pulau-pulau terluar dengan orientasi pengembangan usaha perikanan. Hal ini sangat penting untuk menghindari occupation dari Negara lain dan dalam upaya untuk menumbuhkan pusat-pusat perekonomian baru.
RUJUKAN :

Ali, H.A. 2003. Penataan Zona Pertahanan Maritim. Sinar Harapan. (On Line), (http://www.sinarharapan.go.id/).
Berita Antara, 2007. Pulau Terluar Rawan Konflik di Inventarisasi. (On Line), (http://www.antara.co.id/).
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara di Indonesia. Buku Ketiga (On Line) (http://www.dkp.go.id/).
Harian Kompas, 2005. Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan. (On Line), (http://www.kompas.go.id/).
Kuswandari, E. 2006. Peta Laut Indonesia Perlu Diperbaharui. Sinar Harapan. (On Line), (http://www.sinarharapan.go.id/).
Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005. Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil terluar. Sekretariat Kabinet Bidang Hukum RI. Jakarta.
Undang-Undang RI No. 17 Tahun 1985. Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Sekretariat Negara RI. Jakarta.
Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996. Tentang Perairan Indonesia. Sekretariat Negara RI. Jakarta.
Waspada, 2007. Indonesia Cuma Punya 4.981 Pulau. (On Line), (http://www.waspada.go.id/).
Wikantika, K. 2005. Citra Satelit Kurangi Biaya Survey. Departemen Teknik Geodesi ITB. Disadur dari Harian Pikiran Rakyat. (On Line), (http://www.pikiran-rakyat.com/).

Rabu, 12 Maret 2008

PERAIRAN SULAWESI TENGAH : TELUK TOMINI, TELUK TOLO DAN SELAT MAKASSAR (ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN)


Sulawesi Tengah adalah satu-satunya provinsi di Kepulauan Sulawesi yang memiliki 3 perairan sekaligus dan hal ini tidak dimiliki oleh provinsi-provinsi lainnya di Kepulauan Sulawesi, perairan-perairan itu terdiri atas Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat Makassar/Laut Sulawesi. Jika dipandang dari keberadaan 3 wilayah perairan tersebut maka seharusnya Provinsi Sulawesi Tengah adalah termasuk daerah yang mengandalkan sumberdaya hasil perikanan sebagai aset pendapatan daerah.

Dari ketiga perairan tersebut luas total perairan Sulawesi Tengah yaitu 193.923,75 km2 atau sekitar 11 kali dari luas perairan provinsi tetangga Gorontalo yang hanya sekitar 10.500 km2. Panjang garis pantai Sulawesi Tengah sekitar 4.013 km dengan jumlah pulau sebanyak 1.142 buah (Bappeda Sulteng, 2010).
Dari data yang diperoleh bahwa potensi lestari hasil perikanan perairan Sulawesi Tengah baru dimanfaatkan mencapai 54,88% atau sebanyak 45,12% belum dimanfaatkan. Potensi perikanan tersebut meliputi berbagai jenis ikan laut ekonomis seperti ikan pelagis besar (tuna, cakalang dan tongkol), ikan pelagis kecil (layang, selar, teri, tembang dan kembung) dan non ikan seperti udang windu, rajungan, jenis udang lain, tiram, cumi-cumi, sotong dan teripang.
Penyebaran potensi perikanan untuk ketiga perairan adalah Teluk Tomini memiliki ikan tuna, cakalang, teripang, udang, tongkol, kerang mutiara, rumput laut dan cumi-cumi, Teluk Tolo memiliki ikan tuna, cakalang, tongkol, trace fish, udang laut, kerang mutiara dan merupakan daerah pengembangan budidaya rumput laut serta Selat Makassar memiliki ikan tuna, cakalang, tongkol, trace fish dan daerah pengembangan budidaya rumput laut.
Jika dipandang dari penyebaran kabupaten/kota se-Sulawesi Tengah, maka setiap kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola perairannya masing-masing. Atas dasar pengelolaan perairan Sulawesi Tengah, dibagi dalam 3 zona yaitu :
a. Zona I terdiri atas Selat Makassar/Laut Sulawesi (Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Buol.
b. Zona II terdiri atas Teluk Tomini (Kabupaten Parigimoutong, Kabupaten Poso, Kabupaten Tojouna-una dan Kabupaten Banggai.
c. Zona III terdiri atas Teluk Tolo (Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan.
Pembagian zona-zona tersebut bertujuan untuk menciptakan interaksi dan sinergi antar wilayah dalam melakukan pengembangan perikanan secara menyeluruh dengan menerapkan asas Code of Conduct for Responsibility Fisheries yang akan diimplementasikan dalam setiap kebijakan pembangunan perikanan masing-masing kabupaten/kota dengan tetap mengacu pada asas kebersamaan pemanfaatan.
Dalam pembangunan perikanan di Sulawesi Tengah ada beberapa hal yang tampaknya ironis dengan potensi dan luas wilayah laut Sulawesi Tengah yaitu :
· Sulawesi Tengah tidak memiliki pabrik pengolahan hasil perikanan laut sebagai barometer ketersediaan potensi hasil laut di wilayahnya sehingga banyak hasil tangkapan nelayan skala besar/kecil justru dilarikan ke luar Sulawesi Tengah seperti ke Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Jika dibandingkan dengan Sulawesi Utara yang paling tidak memiliki 5 perusahaan pengolahan perikanan maka bisa jadi Sulawesi Tengah sangat tertinggal dalam pemanfaatan maksimal hasil tangkapan laut yang justru berasal dari wilayahnya sendiri. Perusahaan Daerah (PD) Sulawesi Tengah pernah berusaha mengelola 2 buah cold storage untuk menampung hasil perikanan nelayan tetapi kemudian berhenti beroperasi karena biaya perawatan yang dianggap tinggi.
· Tidak terdapatnya sentra-sentra pengolahan tradisional hasil perikanan seperti pengolahan ikan asin, pindang, terasi, kecap ikan, ikan asap dll, di Wilayah Sulawesi Tengah dan belum kelihatan ada upaya-upaya maksimal untuk membina masyarakat dalam mengelola usaha perikanan. Kalaupun ada hanya merupakan respon masyarakat sendiri terhadap kelimpahan hasil laut seperti pengolahan ikan asin di Pagimana Kab. Banggai (ikan yang diolah berasal dari ikan segar bukan berasal dari ikan sisa/hampir busuk seperti yang dilakukan di daerah lain) ini menunjukkan bahwa nelayan tidak memiliki tempat untuk menyalurkan ikan segar dengan harga yang memadai sehingga ikan hasil tangkapan langsung dikeringkan dan diolah menjadi ikan asin.
· Sarana dan prasarana perikanan masih sangat minim untuk menopang luasnya perairan seperti Pusat Pendaratan Ikan (PPI) hanya terdapat 4 (empat) buah dan itupun belum berfungsi secara maksimal, Tempat Pendaratan Ikan (TPI) sebanyak 7 (buah) buah tersebar di 9 kabupaten dan 1 kota. Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) hanya 1 buah terdapat di Dinas Perikanan dan Kelautan Prop. Di Kota Palu.
· Armada penangkapan ikan masih sangat minim dan tidak memadai terdiri atas jukung 14.215 unit, perahu papan 4.959 unit, motor tempel 1.706 unit dan kapal motor 1.362 unit (Bappeda Sulteng, 2009). Ini mengakibatkan daya jelajah dan kemampuan tangkapan masih sangat rendah. Ada upaya dari pemerintah daerah untuk membantu kelompok nelayan dengan melakukan pengadaan kapal fiberglass tetapi selalu terbentur dengan mekanisme manajemen operasi kapal seperti kepada kelompok nelayan mana yang diberikan, bagaimana biaya operasinya, dimana daerah tangkapannya dan pengembalian modal dari nelayan (seperti yang ditunjukkan oleh Pemkab Donggala tahun 2009).

Demikian gambaran singkat tentang potensi laut Sulawesi Tengah yang sangat tidak berimbang dengan ketersediaan sarana/prasarana pendukung. Sudah saatnya Pemerintah Daerah/Kab./Kota se-Sulawesi Tengah lebih memfokuskan program-program daerah kepada sektor perikanan dan kelautan sekaligus bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat nelayan yang sampai saat ini masih diketahui sebagai kelompok masyarakat miskin.

Perairan Sulawesi Tengah : Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat Makassar

Sulawesi Tengah adalah satu-satunya provinsi di Kepulauan Sulawesi yang memiliki 3 perairan sekaligus dan hal ini tidak dimiliki oleh provinsi-provinsi lainnya di Kepulauan Sulawesi, perairan-perairan itu terdiri atas Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat Makassar/Laut Sulawesi. Jika dipandang dari keberadaan 3 wilayah perairan tersebut maka seharusnya Provinsi Sulawesi Tengah adalah termasuk daerah yang mengandalkan sumberdaya hasil perikanan sebagai aset pendapatan daerah.
Dari ketiga perairan tersebut luas total perairan Sulawesi Tengah yaitu 120.986 km2 atau sekitar 11 kali dari luas perairan provinsi tetangga Gorontalo yang hanya sekitar 10.500 km2. Panjang garis pantai Sulawesi Tengah sekitar 4.013 km dengan jumlah pulau sebanyak 150 buah (Bappeda Sulteng, 2002).
Dari data yang diperoleh bahwa potensi lestari hasil perikanan perairan Sulawesi Tengah baru dimanfaatkan mencapai 54,88% atau sebanyak 45,12% belum dimanfaatkan. Potensi perikanan tersebut meliputi berbagai jenis ikan laut ekonomis seperti ikan pelagis besar (tuna, cakalang dan tongkol), ikan pelagis kecil (layang, selar, teri, tembang dan kembung) dan non ikan seperti udang windu, rajungan, jenis udang lain, tiram, cumi-cumi, sotong dan teripang.
Penyebaran potensi perikanan untuk ketiga perairan adalah Teluk Tomini memiliki ikan tuna, cakalang, teripang, udang, tongkol, kerang mutiara, rumput laut dan cumi-cumi, Teluk Tolo memiliki ikan tuna, cakalang, tongkol, trace fish, udang laut, kerang mutiara dan merupakan daerah pengembangan budidaya rumput laut serta Selat Makassar memiliki ikan tuna, cakalang, tongkol, trace fish dan daerah pengembangan budidaya rumput laut.
Jika dipandang dari penyebaran kabupaten/kota se-Sulawesi Tengah, maka setiap kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola perairannya masing-masing. Atas dasar pengelolaan perairan Sulawesi Tengah, dibagi dalam 3 zona yaitu :
a. Zona I terdiri atas Selat Makassar/Laut Sulawesi (Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Buol.
b. Zona II terdiri atas Teluk Tomini (Kabupaten Parigimoutong, Kabupaten Poso, Kabupaten Tojouna-una dan Kabupaten Banggai.
c. Zona III terdiri atas Teluk Tolo (Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan.
Pembagian zona-zona tersebut bertujuan untuk menciptakan interaksi dan sinergi antar wilayah dalam melakukan pengembangan perikanan secara menyeluruh dengan menerapkan asas Code of Conduct for Responsibility Fisheries yang akan diimplementasikan dalam setiap kebijakan pembangunan perikanan masing-masing kabupaten/kota dengan tetap mengacu pada asas kebersamaan pemanfaatan.
Dalam pembangunan perikanan di Sulawesi Tengah ada beberapa hal yang tampaknya ironis dengan potensi dan luas wilayah laut Sulawesi Tengah yaitu :
· Sulawesi Tengah tidak memiliki pabrik pengolahan hasil perikanan laut sebagai barometer ketersediaan potensi hasil laut di wilayahnya sehingga banyak hasil tangkapan nelayan skala besar/kecil justru dilarikan ke luar Sulawesi Tengah seperti ke Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Jika dibandingkan dengan Sulawesi Utara yang paling tidak memiliki 5 perusahaan pengolahan perikanan maka bisa jadi Sulawesi Tengah sangat tertinggal dalam pemanfaatan maksimal hasil tangkapan laut yang justru berasal dari wilayahnya sendiri. Perusahaan Daerah (PD) Sulawesi Tengah pernah berusaha mengelola 2 buah cold storage untuk menampung hasil perikanan nelayan tetapi kemudian berhenti beroperasi karena biaya perawatan yang dianggap tinggi.
· Tidak terdapatnya sentra-sentra pengolahan tradisional hasil perikanan seperti pengolahan ikan asin, pindang, terasi, kecap ikan, ikan asap dll, di Wilayah Sulawesi Tengah dan belum kelihatan ada upaya-upaya maksimal untuk membina masyarakat dalam mengelola usaha perikanan. Kalaupun ada hanya merupakan respon masyarakat sendiri terhadap kelimpahan hasil laut seperti pengolahan ikan asin di Pagimana Kab. Banggai (ikan yang diolah berasal dari ikan segar bukan berasal dari ikan sisa/hampir busuk seperti yang dilakukan di daerah lain) ini menunjukkan bahwa nelayan tidak memiliki tempat untuk menyalurkan ikan segar dengan harga yang memadai sehingga ikan hasil tangkapan langsung dikeringkan dan diolah menjadi ikan asin.
· Sarana dan prasarana perikanan masih sangat minim untuk menopang luasnya perairan seperti Pusat Pendaratan Ikan (PPI) hanya terdapat 4 (empat) buah dan itupun belum berfungsi secara maksimal, Tempat Pendaratan Ikan (TPI) sebanyak 7 (buah) buah tersebar di 9 kabupaten dan 1 kota. Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) hanya 1 buah terdapat di Dinas Perikanan dan Kelautan Prop. Di Kota Palu.
· Armada penangkapan ikan masih sangat minim dan tidak memadai terdiri atas jukung 14.215 unit, perahu papan 4.959 unit, motor tempel 1.706 unit dan kapal motor 1.362 unit (Bappeda Sulteng, 2002). Ini mengakibatkan daya jelajah dan kemampuan tangkapan masih sangat rendah. Ada upaya dari pemerintah daerah untuk membantu kelompok nelayan dengan melakukan pengadaan kapal fiberglass tetapi selalu terbentur dengan mekanisme manajemen operasi kapal seperti kepada kelompok nelayan mana yang diberikan, bagaimana biaya operasinya, dimana daerah tangkapannya dan pengembalian modal dari nelayan (seperti yang ditunjukkan oleh Pemkab Donggala tahun 2006).

Demikian gambaran singkat tentang potensi laut Sulawesi Tengah yang sangat tidak berimbang dengan ketersediaan sarana/prasarana pendukung. Sudah saatnya Pemerintah Daerah/Kab./Kota se-Sulawesi Tengah lebih memfokuskan program-program daerah kepada sektor perikanan dan kelautan sekaligus bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat nelayan yang sampai saat ini masih diketahui sebagai kelompok masyarakat miskin.

Tiga Perairan Sulawesi Tengah


Sabtu, 12 Januari 2008

PPI Paotere Makassar




Ervina Jiddiyah Lubis





Senyum..... Depan Rumah

ANALISIS KELAUTAN DAN PULAU PULAU KECIL DALAM PERSPEKTIF UU No. 27 TAHUN 2007

Ruang Lingkup

Kebijakan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini, berisikan tentang arahan untuk memperhatikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Dianggap bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.
Kata kunci dari kebijakan ini, yaitu pengelolaan (bagaimana mengelola) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan dilakukan dengan berasaskan pada keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas dan keadilan. Sedangkan ruang lingkup Pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai (Pasal 2 dan 3).
Substansi dari isi kebijakan terletak pada kemampuan untuk menghindari konflik kepentingan pemanfaatan ruang Pesisir dan Pulau-Pulau kecil diantara pemangku kepentingan (stakeholder) dan masyarakat. Dengan kata lain bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah daerah yang memiliki akses terbuka (open access) setiap elemen masyarakat dan intitusi memiliki kepentingan. Untuk itu pengelolaan perlu dilakukan dengan kerja sama dan bukan dengan secara sendiri-sendiri yang tidak mengindahkan kepentingan dan hak pemangku kepentingan lainnya, sehingga pengelolaan perlu dilakukan dengan cara yang terpadu (integrated) yang pedomannya diatur pada kebijakan ini. Sebagai salah satu contoh diatur bagaimana hak-hak pengelolaan dalam memanfaatkan ruang-ruang tertentu di wilayah tersebut dengan pengeluaran istilah HP3 (Hak Pengusahaan Wilayah Pesisir) yang disertai dengan sertifikat sebagai tanda legalitas pengelolaan, kemudian penentuan wilayah konservasi, rehabilitasi, reklamasi serta lainnya (Pasal 16).
Tujuan pelaksanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil yaitu untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan selain itu diharapkan dengan adanya kebijakan ini dapat menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan dan meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Proses Kebijakan (Policy Proses)

Pada aturan ini, definisi pengelolaan dijabarkan sebagai suatu proses yang meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dilakukan antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut (keterkaitan ekologis), serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen (interdisipliner ilmu) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Proses kebijakan diawali dengan dibuatkannya perencanaan-perencanaan yang meliputi : (a). Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K); (b). Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K); (c). Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) dan (d). Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K), yang tata cara pembuatannya diatur dalam Peraturan Menteri dan disusun oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar dan pedoman (Pasal 7 ayat 1).
RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah dan oleh karena itu pada pembuatannya wajib mempertimbangkan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam rencana ini memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional. RSWP-3-K Provinsi dan Kabupaten/Kota disusun berdasarkan isu Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang aktual, seperti halnya degradasi sumber daya, masyarakat tertinggal, konflik pemanfaatan dan kewenangan, bencana alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan jaminan kepastian hukum guna mencapai tujuan yang ditetapkan.
RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota dan diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Perencanaan RZWP-3-K dilakukan dengan mempertimbangkan: (a). keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; (b). keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan (c). kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Rencana ini ditetapkan dengan suatu peraturan daerah.
RPWP-3-K memuat kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang, skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, jaminan terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan, mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses; serta ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya. Sedangkan RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis. Mekanisme penyusunan rencana diawali dengan usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan dunia usaha dengan melibatkan Masyarakat. Pemerintah Daerah berkewajiban menyebarluaskan konsep RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan. Bupati/walikota menyampaikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kabupaten/kota kepada gubernur dan Menteri untuk diketahui. Gubernur menyampaikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil provinsi kepada Menteri dan bupati/walikota di wilayah provinsi yang bersangkutan. Gubernur atau Menteri memberikan tanggapan dan/atau saran terhadap usulan dokumen final perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. Jika tanggapan tidak dipenuhi, maka dokumen final perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.

Out Put Kebijakan

Out put dari peraturan ini dapat dirinci sebagai berikut :
a. Pengumpulan data dan informasi yang berkenaan dengan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
b. Dokumen-dokumen perencanaan yang menjadi acuan pelaksanaan (implementasi) kegiatan dan saling bersinkronisasi dengan peraturan daerah lainnya.
c. Pemanfaatan perairan pesisir dengan bukti dikeluarkanya HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir).
d. Melahirkan arahan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan/atau peternakan.
e. Penetapan batas-batas sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
f. Kebijakan untuk Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menandakan adanya kerusakan keseimbangan Ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati.
g. Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.

Untuk melihat kemungkinan (prediksi) apa out put dan dampak dari hasil kebijakan di bawah ini :

1. Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3 (Hak Pengusahaan Wilayah Pesisir) Pasal 16-17. Pemangku kepentingan (stakeholder) memiliki kewenangan yang didukung oleh sertifikasi. Pemanfaatan pesisir dapat berkelanjutan, lebih terarah dan terkontrol.
2. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 28. Penentuan Kawasan Konservasi dan Konservasi Nasional yang diperkuat dengan Peraturan Menteri. Keseimbangan ekosistem dan peningkatan daya dukung alam (carryng capacity).
3. Penetapan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. Pasal 31.
Daerah sempadan pantai yang diatur oleh pemerintah daerah (Perda, Peraturan Gubernur). Yang bertujuan untuk perlindungan (gempa/tsunami, abrasi, banjir, bencana lainnya, lahan basah) Pembebasan daerah sempadan pantai (minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat) dari pemukiman penduduk.
CATATAN : Pemahaman ini berlaku pada daerah rawan bencana dilakukan sebagai upaya mitigasi bencana.
4. Reklamasi dalam rangka peningkatan dan manfaat dan nilai tambah wilayah pesisir. Pasal 34. Penentuan wilayah reklamasi melalui Peraturan Presiden. Peningkatan kesejahteraan masyarakat.
5. Dilarang melakukan hal-hal yang dapat merusak ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun (menambang, bahan peledak, racun, menebang). Pasal 35. Ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun tetap terjaga.

Evaluasi

Evaluasi terhadap suatu kebijakan dapat dilakukan dengan menilai setiap hasil dari proses akibat kebijakan tersebut. Misalnya, setiap dokumen-dokumen perencanaan yang walaupun waktunya sampai pada 20 (dua puluh) tahun, selalu dievaluasi setiap 5 (lima) tahunnya. Masyarakat/pemangku kepentingan bisa juga berperan sebagai evaluator dengan melihat secara langsung bukti nyata dilapangan tentang adanya perubahan-perubahan pada pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hasil evaluasi yang menunjukkan penyimpangan dari perencanaan maka akan dibuatkan penilain-penilaian kembali kepada setiap item kegiatan tersebut dan dibuatkan program-program yang lebih prioritas.
Semoga dengan keluarnya UU tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan titik terang menuju langkah-langkah pengelolaan yang lebih arif, terarah dan berpihak kepada negara, daerah dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...