Oleh. Dr. Moh. Saleh
Lubis, S.Pi, M.Si
Program aksi penurunan
stunting atau tubuh kerdil lebih mirip dengan program aksi penanggulangan gizi
buruk atau busung lapar di masa Presiden Soeharto yang terus berlanjut sampai
masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gejala busung lapar dan
stunting memiliki permasalahan yang sama yaitu diakibatkan oleh kondisi kurang
gizi bagi anak dimasa-masa pertumbuhannya, lebih khusus untuk anak di bawah
lima tahun (balita). Hanya saja di zaman
Presiden Jokowi penanganan difokuskan pada stunting dengan melihat perbandingan
pertumbuhan anak yang tidak sesuai antara tinggi badan dan umur. Tinggi badan dijadikan ukuran kesehatan dan
produktifitas manusia, dimana semakin tinggi badan seseorang, maka secara medis
tidak memiliki kendala pada proses pertumbuhannya dan bisa bekerja secara
produktif, sebaliknya ukuran tubuh pendek mencerminkan ada permasalahan pada
proses pertumbuhan manusia yang disebabkan oleh kurangnya gizi di masa-masa pertumbuhan
emasnya (golden ages), yaitu pada
1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Program stunting memiliki
semboyan “cegah stunting, itu penting”.
Lalu mengapa penting? Ternyata stunting memiliki dampak luas yang tidak
hanya pada aspek kesehatan tetapi juga pada aspek pertumbuhan penduduk dan aspek
ekonomi. Pada aspek kesehatan stunting
memberikan dampak gagal tumbuh pada bayi, hambatan perkembangan kognitif dan
motorik serta gangguan metabolik pada saat dewasa dengan resiko penyakit tidak
menular (diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung), selanjutnya pada aspek
pertumbuhan penduduk stunting menurunkan produktivitas SDM dan bonus demograsi
tidak termanfaatkan dengan baik.
Sedangkan pada aspek ekonomi stunting berpotensi menyebabkan kerugian
ekonomi setiap tahunnya sebesar 2 s.d 3 persen dari PDB dimana jika PDB
Indonesia sekitar Rp. 13.000 triliun, maka potensi kerugian negara sebesar Rp.
260 s.d 390 Triliun/tahun (The Worlbank, 2016).
Dan potensi keuntungan ekonomi dari investasi apabila stunting dapat
diturunkan di Indonesia bisa mencapai 48 kali lipat (Hooddinott, et al,
2013-International Food Policy Research Institute).
Judul pada opini ini
yaitu: stunting jangan jadi program setengah hati. Makna dari judul bukan karena ada rasa
pesimistis tentang keberhasilan dari program ini, tetapi lebih pada fenomena
kurang responnya pemerintah daerah, kabupaten, kecamatan, dan desa yang tergambar
dari tidak dialokasikan anggaran berfokus stunting dan kurang terkoordinasi
dengan baik di setiap tingkatan pemerintahan dari pusat hingga desa. Menurut penilaian penulis, pengetahuan
stunting hingga tingkat paling bawah juga tidak maksimal karena belum meratanya
sosialisasi di setiap daerah-daerah rawan stunting seperti pedesaan, daerah
terpencil dan pulau-pulau kecil. Jika
dipahami oleh kita bersama, maka stunting merupakan program prioritas nasional
yang telah dimasukkan di dalam Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2020-2024 dan
juga merupakan Arahan Presiden Terpilih yang disampaikan pada pidato Visi
Indonesia di Sentul Jawa Barat pada tanggal 14 Juli 2019 bahwa terdapat 5
(lima) sasaran prioritas pembangunan ke depannya yaitu (1) Pembangunan
Infrastruktur, (2) Pembangunan SDM, (3) Mendorong Investasi, (4) Reformasi
Birokrasi dan (5) Penggunaan APBN.
Adapun program pencegahan stunting masuk pada sasaran Pembangunan SDM
bersama-sama dengan program-program lainnya seperti kesehatan ibu hamil,
kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak usia sekolah, kematian ibu dan
bayi, peningkatan kualitas pendidikan, vokasi, membangun lembaga manajemen
talenta Indonesia dan dukungan bagi diaspora bertalenta tinggi.
Berdasarkan asumsi diatas,
maka aksi penurunan stunting secara struktural harus segera dilakukan dan
ditanggapi sampai pada tingkat terbawah yaitu tingkat desa. Menurut data
UNICEF, WHO (2016) bahwa beberapa capaian indikator kesehatan Indonesia masih
rendah dan tertinggal, salah satunya diketahui 3 dari 10 anak di bawah usia 5
tahun di Indonesia menderita stunting yang dapat berpengaruh pada produktivitas
tenaga kerja dalam jangka panjang.
Sedangkan menurut Global Nutrition Report 2016
mencatat bahwa prevalensi
stunting di Indonesia berada pada peringkat
108 dari 132 negara.
Dalam laporan sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara
yang mengalami beban
gizi ganda (double burden malnutrion). Untuk data terakhir tahun 2018 hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30,8
persen.
Stunting di Sulawesi Tengah
Angka stunting di Sulawesi
Tengah cukup tinggi berada diatas rata-rata angka stunting nasional yaitu 32,3
persen (Riskesdas, 2018) dimana untuk kabupaten dengan angka tertinggi
berturut-turut Kabupaten Donggala (30,3%), Kabupaten Sigi (28,7%), Kabupaten
Buol (28,4%) dan Kabupaten Morowali (22,9%).
Berdasarkan pertimbangan tingkat kemiskinan daerah yang tinggi dengan
jumlah penduduk maka pemerintah pusat menetapkan ada 2 kabupaten sebagai locus
stunting di Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Banggai (30,5%) dan Kabupaten
Parigi Moutong (14,9%) untuk tahun 2018 dan 2019.
Strategi aksi penurunan
stunting di daerah berpedoman pada Buku Pelaksanaan Intervensi Penurunan
Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota yang dikeluarkan oleh Bappenas dan
adapun tindakan aksi dilaksanakan karena perintah Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri dengan Suratnya Nomor 440/7607/Bangda perihal pelaksanaan
intervensi penurunan stunting terintegrasi di kabupaten/kota yang ditujukan
kepada seluruh Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia. Pada prosedur aksi penurunan stunting
tersebut, terdapat 8 (delapan) aksi yang harus dilalui yaitu (i) aksi 1: analisis
situasi program penurunan stunting; (ii) aksi 2: penyusunan rencana kegiatan;
(iii) aksi 3: Rembuk Stunting; (iv) aksi 4: penetapan Peraturan
Bupati/Walikota; (v) aksi 5: pembinaan kader pembangunan manusia; (vi) aksi 6:
sistem manajemen data; (vii) aksi 7: pengukuran dan publikasi stunting; (viii)
aksi 8: reviu kinerja tahunan. Aksi
ini, harus dilakukan secara bertahap untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dan
semua tahapan dapat dilakukan secara mandiri oleh kabupaten/kota, hanya saja
pada tahapan Rembuk Stunting ditemui permasalahan mendasar yaitu kurang
terlibatnya pimpinan atas (top leader)
dalam proses tersebut. Keterlibatan ini
sangat penting, karena terlibat berarti mendukung sepenuhnya termasuk
mengeluarkan regulasi-regulasi daerah yang mendorong terciptanya angka stunting
minimal.
Rembuk stunting merupakan
suatu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk
memastikan terjadinya integrasi pelaksanaan intervensi penurunan stunting secara
bersama-sama antara OPD penanggung jawab, lembaga non-pemerintah dan elemen
masyarakat yang di back up oleh
pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah
kabupaten/kota secara bersama-sama akan melakukan konfirmasi, sinkronisasi, dan
sinergisme hasil analisis situasi dan rancangan rencana kegiatan dari OPD
penanggung jawab dengan hasil perencanaan partisipatif masyarakat yang
dilaksanakan melalui Musrenbang kecamatan dan desa dalam upaya penurunan stunting
di lokasi fokus.
Prinsip utama kegiatan
rembuk stunting yaitu mendapatkan komitmen bersama antara pemerintah daerah dan
OPD terkait untuk program penurunan stunting yang akan termuat dalam renja dan
RKPD tahun berikutnya. Adapun
pelaksanaan rembuk stunting yaitu ada Deklarasi Komitmen (commitment declare) dari pemerintah daerah melalui kepala daerah,
pimpinan DPRD, pimpinan organisasi kemasyarakatan, lembaga perempuan, para
tokoh masyarakat dan agama untuk menyepakati rencana kegiatan intervensi
penurunan stunting terintegrasi. Hal
ini, dilakukan untuk membangun komitmen publik dalam kegiatan penurunan
stunting secara terintegrasi di kabupaten/kota.
Output yang diharapkan
yaitu komitmen penurunan stunting yang ditandatangani oleh bupati, perwakilan
DPRD, kepala desa, pimpinan OPD dan perwakilan sektor non pemerintah dan
masyarakat sebagai dasar gerakan penurunan stunting melalui integrasi program
yang dilakukan antar OPD penanggung jawab dan partisipasi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka kepedulian
pimpinan daerah adalah sangat menentukan, karena kunci dari success story stunting ada di tangan
para pimpinan yang bilamana hanya pada tataran disposisi maka jangan diharapkan
penurunan stunting akan mencapai keberhasilannya.
Peran Pemerintah Provinsi
Lalu
dimana peran provinsi? Berdasarkan pada surat Menteri Dalam Negeri, Nomor
440/7606/Bangda perihal pembinaan dan pengawasan pelaksanaan intervensi
penurunan stunting terintegrasi di kabupaten/kota yang ditujukan kepada seluruh
Gubernur KDH di seluruh Indonesia. Maka pemerintah provinsi memiliki tugas
untuk memfasilitasi pembinaan, pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut atas
kebijakan dan pelaksanaan program dan anggaran dengan memberikan fasilitas dan dukungan
teknis bagi peningkatan kapasitas
kab/kota, mengkoordinir
pelibatan institusi non-pemerintah untuk mendukung aksi konvergensi percepatan
pencegahan stunting serta melaksanakan penilaian kinerja kab/kota dalam
penyelenggaraan pencegahan stunting, termasuk memberikan umpan balik serta
penghargaan kepada kab/kota sesuai kapasitas provinsi yang bersangkutan.
Semoga
aksi penurunan stunting di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah menemui
keberhasilan dengan koordinasi yang apik oleh semua pihak terkait, tidak
bersifat acuh tak acuh, memanfaatkan anggaran untuk mencapai target dan bukan
sekedar melaksanakan proyek serta membangun komitmen dan tanggung jawab bersama
demi kemajuan generasi berikutnya, sebagai salah satu pilar penting kemajuan
peradaban daerah, Negara dan bangsa.
*Kepala Sub Bidang
Perencanaan Ekonomi II BAPPEDA Prov. Sulteng