Selasa, 03 September 2019

STUNTING: JANGAN JADI PROGRAM SETENGAH HATI


Oleh. Dr. Moh. Saleh Lubis, S.Pi, M.Si


Program aksi penurunan stunting atau tubuh kerdil lebih mirip dengan program aksi penanggulangan gizi buruk atau busung lapar di masa Presiden Soeharto yang terus berlanjut sampai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gejala busung lapar dan stunting memiliki permasalahan yang sama yaitu diakibatkan oleh kondisi kurang gizi bagi anak dimasa-masa pertumbuhannya, lebih khusus untuk anak di bawah lima tahun (balita).  Hanya saja di zaman Presiden Jokowi penanganan difokuskan pada stunting dengan melihat perbandingan pertumbuhan anak yang tidak sesuai antara tinggi badan dan umur.  Tinggi badan dijadikan ukuran kesehatan dan produktifitas manusia, dimana semakin tinggi badan seseorang, maka secara medis tidak memiliki kendala pada proses pertumbuhannya dan bisa bekerja secara produktif, sebaliknya ukuran tubuh pendek mencerminkan ada permasalahan pada proses pertumbuhan manusia yang disebabkan oleh kurangnya gizi di masa-masa pertumbuhan emasnya (golden ages), yaitu pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Program stunting memiliki semboyan “cegah stunting, itu penting”.  Lalu mengapa penting? Ternyata stunting memiliki dampak luas yang tidak hanya pada aspek kesehatan tetapi juga pada aspek pertumbuhan penduduk dan aspek ekonomi.  Pada aspek kesehatan stunting memberikan dampak gagal tumbuh pada bayi, hambatan perkembangan kognitif dan motorik serta gangguan metabolik pada saat dewasa dengan resiko penyakit tidak menular (diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung), selanjutnya pada aspek pertumbuhan penduduk stunting menurunkan produktivitas SDM dan bonus demograsi tidak termanfaatkan dengan baik.  Sedangkan pada aspek ekonomi stunting berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi setiap tahunnya sebesar 2 s.d 3 persen dari PDB dimana jika PDB Indonesia sekitar Rp. 13.000 triliun, maka potensi kerugian negara sebesar Rp. 260 s.d 390 Triliun/tahun (The Worlbank, 2016).  Dan potensi keuntungan ekonomi dari investasi apabila stunting dapat diturunkan di Indonesia bisa mencapai 48 kali lipat (Hooddinott, et al, 2013-International Food Policy Research Institute).
Judul pada opini ini yaitu: stunting jangan jadi program setengah hati.  Makna dari judul bukan karena ada rasa pesimistis tentang keberhasilan dari program ini, tetapi lebih pada fenomena kurang responnya pemerintah daerah, kabupaten, kecamatan, dan desa yang tergambar dari tidak dialokasikan anggaran berfokus stunting dan kurang terkoordinasi dengan baik di setiap tingkatan pemerintahan dari pusat hingga desa.  Menurut penilaian penulis, pengetahuan stunting hingga tingkat paling bawah juga tidak maksimal karena belum meratanya sosialisasi di setiap daerah-daerah rawan stunting seperti pedesaan, daerah terpencil dan pulau-pulau kecil.  Jika dipahami oleh kita bersama, maka stunting merupakan program prioritas nasional yang telah dimasukkan di dalam Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2020-2024 dan juga merupakan Arahan Presiden Terpilih yang disampaikan pada pidato Visi Indonesia di Sentul Jawa Barat pada tanggal 14 Juli 2019 bahwa terdapat 5 (lima) sasaran prioritas pembangunan ke depannya yaitu (1) Pembangunan Infrastruktur, (2) Pembangunan SDM, (3) Mendorong Investasi, (4) Reformasi Birokrasi dan (5) Penggunaan APBN.  Adapun program pencegahan stunting masuk pada sasaran Pembangunan SDM bersama-sama dengan program-program lainnya seperti kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak usia sekolah, kematian ibu dan bayi, peningkatan kualitas pendidikan, vokasi, membangun lembaga manajemen talenta Indonesia dan dukungan bagi diaspora bertalenta tinggi.
Berdasarkan asumsi diatas, maka aksi penurunan stunting secara struktural harus segera dilakukan dan ditanggapi sampai pada tingkat terbawah yaitu tingkat desa. Menurut data UNICEF, WHO (2016) bahwa beberapa capaian indikator kesehatan Indonesia masih rendah dan tertinggal, salah satunya diketahui 3 dari 10 anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia menderita stunting yang dapat berpengaruh pada produktivitas tenaga kerja dalam jangka panjang.  Sedangkan menurut Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dalam laporan sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban gizi ganda (double burden malnutrion).  Untuk data terakhir tahun 2018 hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30,8 persen.

Stunting di Sulawesi Tengah
Angka stunting di Sulawesi Tengah cukup tinggi berada diatas rata-rata angka stunting nasional yaitu 32,3 persen (Riskesdas, 2018) dimana untuk kabupaten dengan angka tertinggi berturut-turut Kabupaten Donggala (30,3%), Kabupaten Sigi (28,7%), Kabupaten Buol (28,4%) dan Kabupaten Morowali (22,9%).  Berdasarkan pertimbangan tingkat kemiskinan daerah yang tinggi dengan jumlah penduduk maka pemerintah pusat menetapkan ada 2 kabupaten sebagai locus stunting di Sulawesi Tengah yaitu Kabupaten Banggai (30,5%) dan Kabupaten Parigi Moutong (14,9%) untuk tahun 2018 dan 2019.
Strategi aksi penurunan stunting di daerah berpedoman pada Buku Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota yang dikeluarkan oleh Bappenas dan adapun tindakan aksi dilaksanakan karena perintah Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan Suratnya Nomor 440/7607/Bangda perihal pelaksanaan intervensi penurunan stunting terintegrasi di kabupaten/kota yang ditujukan kepada seluruh Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia.  Pada prosedur aksi penurunan stunting tersebut, terdapat 8 (delapan) aksi yang harus dilalui yaitu (i) aksi 1: analisis situasi program penurunan stunting; (ii) aksi 2: penyusunan rencana kegiatan; (iii) aksi 3: Rembuk Stunting; (iv) aksi 4: penetapan Peraturan Bupati/Walikota; (v) aksi 5: pembinaan kader pembangunan manusia; (vi) aksi 6: sistem manajemen data; (vii) aksi 7: pengukuran dan publikasi stunting; (viii) aksi 8: reviu kinerja tahunan.   Aksi ini, harus dilakukan secara bertahap untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dan semua tahapan dapat dilakukan secara mandiri oleh kabupaten/kota, hanya saja pada tahapan Rembuk Stunting ditemui permasalahan mendasar yaitu kurang terlibatnya pimpinan atas (top leader) dalam proses tersebut.  Keterlibatan ini sangat penting, karena terlibat berarti mendukung sepenuhnya termasuk mengeluarkan regulasi-regulasi daerah yang mendorong terciptanya angka stunting minimal.
Rembuk stunting merupakan suatu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk memastikan terjadinya integrasi pelaksanaan intervensi penurunan stunting secara bersama-sama antara OPD penanggung jawab, lembaga non-pemerintah dan elemen masyarakat yang di back up oleh pemerintah kabupaten/kota.  Pemerintah kabupaten/kota secara bersama-sama akan melakukan konfirmasi, sinkronisasi, dan sinergisme hasil analisis situasi dan rancangan rencana kegiatan dari OPD penanggung jawab dengan hasil perencanaan partisipatif masyarakat yang dilaksanakan melalui Musrenbang kecamatan dan desa dalam upaya penurunan stunting di lokasi fokus. 
Prinsip utama kegiatan rembuk stunting yaitu mendapatkan komitmen bersama antara pemerintah daerah dan OPD terkait untuk program penurunan stunting yang akan termuat dalam renja dan RKPD tahun berikutnya.  Adapun pelaksanaan rembuk stunting yaitu ada Deklarasi Komitmen (commitment declare) dari pemerintah daerah melalui kepala daerah, pimpinan DPRD, pimpinan organisasi kemasyarakatan, lembaga perempuan, para tokoh masyarakat dan agama untuk menyepakati rencana kegiatan intervensi penurunan stunting terintegrasi.  Hal ini, dilakukan untuk membangun komitmen publik dalam kegiatan penurunan stunting secara terintegrasi di kabupaten/kota.
Output yang diharapkan yaitu komitmen penurunan stunting yang ditandatangani oleh bupati, perwakilan DPRD, kepala desa, pimpinan OPD dan perwakilan sektor non pemerintah dan masyarakat sebagai dasar gerakan penurunan stunting melalui integrasi program yang dilakukan antar OPD penanggung jawab dan partisipasi masyarakat.  Berdasarkan hal tersebut, maka kepedulian pimpinan daerah adalah sangat menentukan, karena kunci dari success story stunting ada di tangan para pimpinan yang bilamana hanya pada tataran disposisi maka jangan diharapkan penurunan stunting akan mencapai keberhasilannya.

Peran Pemerintah Provinsi
Lalu dimana peran provinsi? Berdasarkan pada surat Menteri Dalam Negeri, Nomor 440/7606/Bangda perihal pembinaan dan pengawasan pelaksanaan intervensi penurunan stunting terintegrasi di kabupaten/kota yang ditujukan kepada seluruh Gubernur KDH di seluruh Indonesia. Maka pemerintah provinsi memiliki tugas untuk memfasilitasi pembinaan, pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut atas kebijakan dan pelaksanaan program dan anggaran dengan memberikan fasilitas dan dukungan teknis bagi peningkatan kapasitas kab/kota, mengkoordinir pelibatan institusi non-pemerintah untuk mendukung aksi konvergensi percepatan pencegahan stunting serta melaksanakan penilaian kinerja kab/kota dalam penyelenggaraan pencegahan stunting, termasuk memberikan umpan balik serta penghargaan kepada kab/kota sesuai kapasitas provinsi yang bersangkutan.
Semoga aksi penurunan stunting di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah menemui keberhasilan dengan koordinasi yang apik oleh semua pihak terkait, tidak bersifat acuh tak acuh, memanfaatkan anggaran untuk mencapai target dan bukan sekedar melaksanakan proyek serta membangun komitmen dan tanggung jawab bersama demi kemajuan generasi berikutnya, sebagai salah satu pilar penting kemajuan peradaban daerah, Negara dan bangsa.

*Kepala Sub Bidang Perencanaan Ekonomi II BAPPEDA Prov. Sulteng

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...