Konsep adalah sesuatu yang harus disiapkan dikala akan melakukan sebuah pekerjaan, apalagi jika pekerjaan itu dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang besar. Konsep dapat merupakan rentetan pemikiran tentang sebuah tahapan pekerjaan yang akan dilakukan dikemudian hari untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Bagi kalangan masyarakat kelautan dan perikanan di Sulawesi Tengah tentunya sangat gembira dengan apa yang merupakan cita-cita (visi) dari pasangan Gubernur terpilih Sulawesi Tengah Bapak Drs. H. Longki Djanggola, M.Si dan Bapak H.Sudarto,SH, M.Hum yang menjadikan bidang kelautan sebagai salah satu basis pengembangan melalui bunyi visinya : ‘Sulawesi Tengah sejajar dengan propinsi maju dikawasan timur Indonesia dalam pengembangan agribisnis dan kelautan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang berdaya saing pada tahun 2020.
Atas dasar kondisi ketersediaan sumberdaya di daratan bagi pembangunan yang semakin terbatas, maka pemikiran untuk mengalihkan pencarian, eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya yang berasal dari lautan adalah sangat tepat. Apalagi kita adalah Negara dengan kepulauan yang memiliki laut sangat luas. Sehingga laut merupakan potensi besar untuk dijadikan tumpuan (prime mover) pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam (resource based economy). Dan tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa ‘masa depan kita ada di laut’.
Sudah saatnya pemikiran pembangunan yang berorientasi atau terpusat didarat (continental development) beralih kepada pembangunan yang berorientasi dilaut (maritime development). Hal inilah yang dimaksudkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan slogannya ‘Revolusi Biru’. Revolusi berarti perubahan mindset atau pola pikir terhadap sesuatu kondisi yang sedang berlangsung untuk menuju pada kondisi yang lebih baik sedangkan ‘biru’ berarti laut dengan hamparan sumberdayanya yang berlimpah. Dan pada tataran implementasinya diperlukan sebuah sistem pembangunan sektor kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan konsep minapolitan. Minapolitan berasal dari kata mina yang berarti ikan dan politan berarti polis atau kota, sehingga minapolitan dapat berarti Kota Perikanan.
Visi oleh Gubernur Sulteng terpilih 2011-2016 kita adalah seirama dengan apa yang dimaksudkan sebagai revolusi biru itu dengan melihat potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh daerah kita Sulawesi Tengah. Daerah kita adalah salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki 3 perairan besar yaitu Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat Makassar. Dengan luas perairan adalah 193.923,75 km2 dengan panjang pantai 4.013 km dan terbagi menjadi 3 Zona yaitu Zona I meliputi perairan Selat Makassar di Kabupaten Donggala, Toli-Toli dan Buol, Zona II meliputi Teluk Tomini di Kabupaten Parigimoutong, Poso, Tojo Una-una dan Banggai serta Zona III yang meliputi Teluk Tolo di Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan dan Morowali. Dan sebagai catatan tambahan bahwa sekitar 60% penduduk Sulawesi Tengah mendiami daerah pesisir (BPS, 2010).
Potensi perikanan dan kelautan yang dimiliki untuk wilayah Selat Makasar, Teluk Tomini dan Teluk Tolo adalah + 330.000 ton/tahun, yang dapat dikelola secara lestari baru sekitar + 214.000 ton/tahun (64%); yang terdiri atas Selat Makasar 68.000 ton/tahun, Teluk Tomini 78.000 ton/tahun dan Teluk Tolo 68.000 ton/tahun (Kajian pemberdayaan masyarakat nelayan-Lambada, 2006).
Mungkin kita sering jenuh apabila diperhadapkan dengan data-data potensi tersebut, tetapi paling tidak adanya data-data itu memberikan gambaran sejauhmana pekerjaan pengelolaan yang akan kita lakukan ke depan. Tentunya kita tidak ingin bahwa ketersediaan sumberdaya yang ada melalui data yang ditampilkan hanyalah menjadi ‘penghibur’ atas jumlah kekayaan sumberdaya alam yang kita miliki tetapi kita tidak bisa manfaatkan untuk kesejahteraan daerah.
Opini ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran dan sama sekali tidak menyalahkan konsep-konsep yang telah ada bahkan mungkin hanya sekedar pengulangan sebagai penguatan atas konsep-konsep yang lebih dulu ada khususnya tentang konsep pembangunan kelautan. Hanya saja diambil kata meretas konsep. Kata meretas atau retas berarti ‘putus atau terbuka benang jahitannya’ (kamus Bahasa Indonesia Kontemporer edisi I, 1990) yang mengandung makna apabila dalam sebuah kalimat adalah ‘tindakan awal untuk meretas sesuatu’. Selama ini, konsep kita hanyalah tinggal konsep belaka dan dengan adanya kata ‘meretas’ diharapkan konsep ini dapat ‘terbuka’ atau ‘pecah’ dalam bentuk implementasi-implementasi yang nyata.
Pembangunan kelautan dan perikanan merupakan pembangunan berbasis sumberdaya alam (resources-based development) yang dilakukan secara optimal dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, maka target pembangunan kelautan dan perikanan harus diupayakan tetap dalam koridor berkelanjutan secara ekonomi, ekologi dan sosial (sustainability corridor). Bidang kelautan dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi penting karena (a) kapasitas suplainya sangat besar, sementara permintaan terus meningkat; (b) pada umumnya output dapat diekspor, sedangkan input berasal dari sumberdaya lokal; (c) dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar, sehingga menyerap tenaga kerja cukup banyak; (d) umumnya berlangsung di daerah; dan (e) industri kelautan dan perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari bersifat dapat diperbarui (renewable resources), sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Atas pemikiran tersebut, maka dapat diurutkan beberapa konsep untuk mendukung pembangunan kelautan di Sulteng sebagai berikut :
Menyiapkan SDM di Birokrasi
Dalam sebuah konsep atau draft kebijakan biasanya menempatkan penyiapan SDM selalu pada bagian yang paling belakang, padahal proses pelaksanaan kebijakan, implementasi di lapangan, kemampuan kerja dan kemampuan untuk bertanggungjawab adalah sangat tergantung pada SDM yang handal. Berbicara tentang masa depan pembangunan kelautan dan perikanan tidak hanya menyangkut masalah sumberdaya tetapi juga menyangkut kinerja birokrasi yang mengelola dan menjalankan institusi di daerah khususnya di bidang kelautan dan perikanan.
Salah satu kemampuan kinerja itu ditunjukkan dari kemampuan para birokrasi untuk ‘menterjemahkan’ kebijakan-kebijakan politik yang lahir dan dikeluarkan oleh ‘decision maker’ baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Birokrasi (baca: pelaksana kebijakan) memang harus pandai untuk menjadi ‘jembatan’ yang meng-sinkronkan antara kebijakan yang lahir dari atas dan kebutuhan masyarakat yang muncul dari bawah. Berbicara tentang aparat birokrasi bukan saja adalah para pemimpin instansi tetapi semua jajarannya hingga ke bawah. Kita ambil contoh tentang kebijakan pemerintah untuk mengambil jasa-jasa pungutan hasil perikanan di sentra-sentra kelautan, perikanan tangkap, budidaya dan industri pengolahan, ketika kebijakan telah jalan maka segera akan dipikirkan tentang pemberian balik kepada masyarakat nelayan,pembudidaya dan pengolahan berupa peningkatan sarana dan prasarana termasuk pemeliharaannya agar kemampuan mencari nafkah dapat berkesinambungan dan bukan sebaliknya justru akan mematikan fungsi sarana dan prasarana yang telah ada bahkan membuat para nelayan memilih alternatif pekerjaan yang lain. Untuk itu penempatan SDM Birokrasi yang handal, kompetibel dan bertanggungjawab adalah syarat mutlak untuk meretaskan konsep kebijakan yang digulirkan.
Pemilihan program kelautan yang tepat sasaran
Dari sebuah konsep akan lahir beberapa program untuk implementasinya, tetapi untuk keberhasilan maka program yang dibuat adalah berdasarkan pada apa kebutuhan masyarakat kelautan dan perikanan yang paling mendasar dan substansial sebagai langkah hemat atau efisiensi.
Untuk mengetahui kebutuhan yang mendasar memang harus melalui sebuah observasi atau kajian terlebih dahulu dan tidak berdasarkan feeling atau bahkan kepentingan tertentu. Jika sebuah program dilaksanakan berdasarkan kebenaran akan kebutuhan yang mendasar maka niscaya kita tidak akan melihat banyak sarana dan prasarana kelautan dan perikanan yang terbengkalai dan tidak terpakai padahal sebelumnya telah dibiayai dengan anggaran yang besar.
Dari pengalaman program yang kita amati baik dari kementerian maupun daerah memang adalah benar tetapi belum tentu dikatakan tepat karena jika dikatakan tepat maka akan menghasilkan out put (keluaran) atau benefit (manfaat) yang nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat nelayan. Kita ambil contoh tentang kesejahteraan hidup masyarakat nelayan yang sampai sekarang masih teramat rendah dengan data indeks kemiskinan (poverty headcount index, PHI) sebesar 0,28 yang berarti setiap 28 orang nelayan dari 100 orang nelayan termasuk dalam kategori miskin jauh lebih tinggi dari PHI nasional sebesar 0,18.
Regulasi Daerah tentang Kelautan
Regulasi tentang kelautan memang telah banyak lahir hanya saja masih berada pada tataran kebijakan pusat dengan men-generalisasi semua kebutuhan di seluruh Indonesia, padahal kita ketahui bahwa kondisi masyarakat kelautan dan perikanan di Indonesia sangat berbeda-beda tergantung karakteristik, budaya dan sosio-ekologi daerahnya masing-masing termasuk di daerah kita Sulawesi Tengah. Masih banyak ditingkat lapangan di daerah beberapa pelaku, pebisnis hingga nelayan kecil masih saling salah persepsi karena regulasi yang digunakan belum menyentuh apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, didaerah harus lebih banyak menterjemahkan dan membahasakannya kembali regulasi-regulasi pusat itu sehingga cocok untuk didaerah bahkan bisa membuat sebuah regulasi baru yang sifatnya lokal.
Regulasi atau aturan-aturan hukum diharapkan menghasilkan sebuah mekanisme atau pedoman yang menuntun para pengguna untuk bekerja lebih baik, terarah dan dapat dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan baik di tingkat nelayan, masyarakat kelautan lainnya, birokrasi (pelaksana) maupun para pembuat kebijakan. Semoga konsep yang ada dapat terwujudkan dan segera meretas melalui implementasi-implementasi yang nyata dan bermanfaat bagi pembangunan daerah kita tercinta.
Atas dasar kondisi ketersediaan sumberdaya di daratan bagi pembangunan yang semakin terbatas, maka pemikiran untuk mengalihkan pencarian, eksplorasi dan pemanfaatan sumberdaya yang berasal dari lautan adalah sangat tepat. Apalagi kita adalah Negara dengan kepulauan yang memiliki laut sangat luas. Sehingga laut merupakan potensi besar untuk dijadikan tumpuan (prime mover) pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam (resource based economy). Dan tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa ‘masa depan kita ada di laut’.
Sudah saatnya pemikiran pembangunan yang berorientasi atau terpusat didarat (continental development) beralih kepada pembangunan yang berorientasi dilaut (maritime development). Hal inilah yang dimaksudkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan slogannya ‘Revolusi Biru’. Revolusi berarti perubahan mindset atau pola pikir terhadap sesuatu kondisi yang sedang berlangsung untuk menuju pada kondisi yang lebih baik sedangkan ‘biru’ berarti laut dengan hamparan sumberdayanya yang berlimpah. Dan pada tataran implementasinya diperlukan sebuah sistem pembangunan sektor kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan konsep minapolitan. Minapolitan berasal dari kata mina yang berarti ikan dan politan berarti polis atau kota, sehingga minapolitan dapat berarti Kota Perikanan.
Visi oleh Gubernur Sulteng terpilih 2011-2016 kita adalah seirama dengan apa yang dimaksudkan sebagai revolusi biru itu dengan melihat potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh daerah kita Sulawesi Tengah. Daerah kita adalah salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki 3 perairan besar yaitu Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat Makassar. Dengan luas perairan adalah 193.923,75 km2 dengan panjang pantai 4.013 km dan terbagi menjadi 3 Zona yaitu Zona I meliputi perairan Selat Makassar di Kabupaten Donggala, Toli-Toli dan Buol, Zona II meliputi Teluk Tomini di Kabupaten Parigimoutong, Poso, Tojo Una-una dan Banggai serta Zona III yang meliputi Teluk Tolo di Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan dan Morowali. Dan sebagai catatan tambahan bahwa sekitar 60% penduduk Sulawesi Tengah mendiami daerah pesisir (BPS, 2010).
Potensi perikanan dan kelautan yang dimiliki untuk wilayah Selat Makasar, Teluk Tomini dan Teluk Tolo adalah + 330.000 ton/tahun, yang dapat dikelola secara lestari baru sekitar + 214.000 ton/tahun (64%); yang terdiri atas Selat Makasar 68.000 ton/tahun, Teluk Tomini 78.000 ton/tahun dan Teluk Tolo 68.000 ton/tahun (Kajian pemberdayaan masyarakat nelayan-Lambada, 2006).
Mungkin kita sering jenuh apabila diperhadapkan dengan data-data potensi tersebut, tetapi paling tidak adanya data-data itu memberikan gambaran sejauhmana pekerjaan pengelolaan yang akan kita lakukan ke depan. Tentunya kita tidak ingin bahwa ketersediaan sumberdaya yang ada melalui data yang ditampilkan hanyalah menjadi ‘penghibur’ atas jumlah kekayaan sumberdaya alam yang kita miliki tetapi kita tidak bisa manfaatkan untuk kesejahteraan daerah.
Opini ini berusaha memberikan kontribusi pemikiran dan sama sekali tidak menyalahkan konsep-konsep yang telah ada bahkan mungkin hanya sekedar pengulangan sebagai penguatan atas konsep-konsep yang lebih dulu ada khususnya tentang konsep pembangunan kelautan. Hanya saja diambil kata meretas konsep. Kata meretas atau retas berarti ‘putus atau terbuka benang jahitannya’ (kamus Bahasa Indonesia Kontemporer edisi I, 1990) yang mengandung makna apabila dalam sebuah kalimat adalah ‘tindakan awal untuk meretas sesuatu’. Selama ini, konsep kita hanyalah tinggal konsep belaka dan dengan adanya kata ‘meretas’ diharapkan konsep ini dapat ‘terbuka’ atau ‘pecah’ dalam bentuk implementasi-implementasi yang nyata.
Pembangunan kelautan dan perikanan merupakan pembangunan berbasis sumberdaya alam (resources-based development) yang dilakukan secara optimal dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, maka target pembangunan kelautan dan perikanan harus diupayakan tetap dalam koridor berkelanjutan secara ekonomi, ekologi dan sosial (sustainability corridor). Bidang kelautan dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi penting karena (a) kapasitas suplainya sangat besar, sementara permintaan terus meningkat; (b) pada umumnya output dapat diekspor, sedangkan input berasal dari sumberdaya lokal; (c) dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar, sehingga menyerap tenaga kerja cukup banyak; (d) umumnya berlangsung di daerah; dan (e) industri kelautan dan perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari bersifat dapat diperbarui (renewable resources), sehingga mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Atas pemikiran tersebut, maka dapat diurutkan beberapa konsep untuk mendukung pembangunan kelautan di Sulteng sebagai berikut :
Menyiapkan SDM di Birokrasi
Dalam sebuah konsep atau draft kebijakan biasanya menempatkan penyiapan SDM selalu pada bagian yang paling belakang, padahal proses pelaksanaan kebijakan, implementasi di lapangan, kemampuan kerja dan kemampuan untuk bertanggungjawab adalah sangat tergantung pada SDM yang handal. Berbicara tentang masa depan pembangunan kelautan dan perikanan tidak hanya menyangkut masalah sumberdaya tetapi juga menyangkut kinerja birokrasi yang mengelola dan menjalankan institusi di daerah khususnya di bidang kelautan dan perikanan.
Salah satu kemampuan kinerja itu ditunjukkan dari kemampuan para birokrasi untuk ‘menterjemahkan’ kebijakan-kebijakan politik yang lahir dan dikeluarkan oleh ‘decision maker’ baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Birokrasi (baca: pelaksana kebijakan) memang harus pandai untuk menjadi ‘jembatan’ yang meng-sinkronkan antara kebijakan yang lahir dari atas dan kebutuhan masyarakat yang muncul dari bawah. Berbicara tentang aparat birokrasi bukan saja adalah para pemimpin instansi tetapi semua jajarannya hingga ke bawah. Kita ambil contoh tentang kebijakan pemerintah untuk mengambil jasa-jasa pungutan hasil perikanan di sentra-sentra kelautan, perikanan tangkap, budidaya dan industri pengolahan, ketika kebijakan telah jalan maka segera akan dipikirkan tentang pemberian balik kepada masyarakat nelayan,pembudidaya dan pengolahan berupa peningkatan sarana dan prasarana termasuk pemeliharaannya agar kemampuan mencari nafkah dapat berkesinambungan dan bukan sebaliknya justru akan mematikan fungsi sarana dan prasarana yang telah ada bahkan membuat para nelayan memilih alternatif pekerjaan yang lain. Untuk itu penempatan SDM Birokrasi yang handal, kompetibel dan bertanggungjawab adalah syarat mutlak untuk meretaskan konsep kebijakan yang digulirkan.
Pemilihan program kelautan yang tepat sasaran
Dari sebuah konsep akan lahir beberapa program untuk implementasinya, tetapi untuk keberhasilan maka program yang dibuat adalah berdasarkan pada apa kebutuhan masyarakat kelautan dan perikanan yang paling mendasar dan substansial sebagai langkah hemat atau efisiensi.
Untuk mengetahui kebutuhan yang mendasar memang harus melalui sebuah observasi atau kajian terlebih dahulu dan tidak berdasarkan feeling atau bahkan kepentingan tertentu. Jika sebuah program dilaksanakan berdasarkan kebenaran akan kebutuhan yang mendasar maka niscaya kita tidak akan melihat banyak sarana dan prasarana kelautan dan perikanan yang terbengkalai dan tidak terpakai padahal sebelumnya telah dibiayai dengan anggaran yang besar.
Dari pengalaman program yang kita amati baik dari kementerian maupun daerah memang adalah benar tetapi belum tentu dikatakan tepat karena jika dikatakan tepat maka akan menghasilkan out put (keluaran) atau benefit (manfaat) yang nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat nelayan. Kita ambil contoh tentang kesejahteraan hidup masyarakat nelayan yang sampai sekarang masih teramat rendah dengan data indeks kemiskinan (poverty headcount index, PHI) sebesar 0,28 yang berarti setiap 28 orang nelayan dari 100 orang nelayan termasuk dalam kategori miskin jauh lebih tinggi dari PHI nasional sebesar 0,18.
Regulasi Daerah tentang Kelautan
Regulasi tentang kelautan memang telah banyak lahir hanya saja masih berada pada tataran kebijakan pusat dengan men-generalisasi semua kebutuhan di seluruh Indonesia, padahal kita ketahui bahwa kondisi masyarakat kelautan dan perikanan di Indonesia sangat berbeda-beda tergantung karakteristik, budaya dan sosio-ekologi daerahnya masing-masing termasuk di daerah kita Sulawesi Tengah. Masih banyak ditingkat lapangan di daerah beberapa pelaku, pebisnis hingga nelayan kecil masih saling salah persepsi karena regulasi yang digunakan belum menyentuh apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, didaerah harus lebih banyak menterjemahkan dan membahasakannya kembali regulasi-regulasi pusat itu sehingga cocok untuk didaerah bahkan bisa membuat sebuah regulasi baru yang sifatnya lokal.
Regulasi atau aturan-aturan hukum diharapkan menghasilkan sebuah mekanisme atau pedoman yang menuntun para pengguna untuk bekerja lebih baik, terarah dan dapat dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan baik di tingkat nelayan, masyarakat kelautan lainnya, birokrasi (pelaksana) maupun para pembuat kebijakan. Semoga konsep yang ada dapat terwujudkan dan segera meretas melalui implementasi-implementasi yang nyata dan bermanfaat bagi pembangunan daerah kita tercinta.