Minggu, 17 Januari 2021

SAWERIGADING DI TANAH ASING: Mitos I La Galigo di Sulawesi Tengah

Oleh. Jennifer W. Nourse (University of Richmond)

Komenter Blogger:

Tulisan ini, hanyalah berupa mitos yang pada era sekarang mungkin tidak dapat diterima secara logis, tetapi nilai-nilai luhur budaya yang ada hingga sekarang terutama pada Masyarakat Lauje di Tinombo atau Siavu membuktikan bahwa kisah ini bisa saja real walaupun telah banyak versi yang dikemukakan.

Dari tulisan ini juga menjelaskan mengapa masyarakat Tinombo, pantai timur, Parigi Moutong dan Sulawesi Tengah sangat terbuka pada para ‘Pendatang’ yang ikut membangun negerinya.  Selain itu, membuktikan bahwa suku Lauje berasal dari campuran suku Kaili, Mandar dan Gorontalo serta sedikit Bugis. Di sini juga dijelaskan tentang adat burung maleo (mamua) seperti yang ada pada Masyarakat Banggai yang sebenarnya sebagai suatu “Local Wisdom” dari para Penguasa untuk melindungi kelestarian Maleo yang hampir punah.

Di tulisan ini membahas tentang tokoh atau sebutan tokoh yang akrab ditelinga Masyarakat Sulawesi Tengah seperti: Sawerigading, To Modoko, Tadulako (sang Pahlawan yg melawan para pengayauan-headhunting raids), Toribangka, Sia'a Puange (saudara tua dari Bugis) dan Olongian (istilah orang yang berasal dari Gorontalo). 


PENDAHULUAN

Sawerigading adalah Odysseus-nya orang Bugis. Pengembaraan epik Sawerigading tergambar dalam karya yang termashyur sebagai 'salah satu karya sastra paling terkemuka di Indonesia', epos I La Galigo (Abidin dan Macknight 1974: 161 ).  Kisah-kisah tentang Sawerigading, yang selalu menawan di mana pun ia ditemui dan dalam bahasa apapun ia disebut, pun telah mengembara sebagaimana sang tokoh Bugis, Sawerigading.

Di seluruh wilayah Sulawesi dan sekitarnya, Sawerigading telah diamini sebagai tokoh dan pahlawan agung dari tanah Bugis.  Pada topik ini saya akan membahas pandangan alternatif terhadap Sawerigading. Di kalangan masyarakat Lauje Sulawesi Tengah yang tinggal di Kecamatan Tinombo Teluk Tomini, Sawerigading bukanlah seorang tokoh Bugis, tetapi putera asli Lauje. Dalam paparan selanjutnya saya mengkaji transformasi dari tokoh Bugis menjadi tokoh Lauje, dan apa makna yang terungkap di balik transformasi tersebut tentang pengaruh Bugis di sebuah kerajaan pesisir di Sulawesi Utara yang berada di "luar wilayah politik Sulawesi Selatan. 

Sebagian besar warga masyarakat yang saya bahas ini mengaku sebagai orang Lauje, kelompok etnis asli, atau imigran campuran Kaili, Gorontalo atau Mandar. Hanya sedikit yang mengaku orang Bugis. Namun mereka mengakui tokoh-dewa Bugis, Sawerigading, sebagai tokoh utama dalam serangkaian ritus yang sangat rahasia dan hanya diketahui kalangan terbatas. Sementara itu, mereka meyakini bahwa Sawerigading dan ritus-ritus terhadapnya adalah asli Lauje.  Topik ini membahas makna di balik ritus ritus dan adat sekaitan dengan hubungan antara penduduk lokal dan pendatang. Masyarakat setempat mengemukakan dan memperdebatkan pertanyaan serupa. Namun, perdebatan mereka lebih tersangkut-paut dengan masalah-masalah etnis dan isu-isu kekuasaan kontemporer. Karenanya nyaris mustahil mempertemukan sejarah lisan dengan sumber-sumber tertulis. Namun, kenyataan bahwa ritual dan adat tentang Sawerigading terdapat dalam ritus-ritus yang semestinya 'asli' Lauje, yang diwarisi secara utuh dari jaman dahulu kala, mengantar saya untuk menyimpulkan bahwa pengaruh Bugis di kerajaan terpencil ini cukup kuat. 

Selanjutnya, saya akan membahas tiga hal: (I) bagaimana dan mengapa orang Lauje memutuskan Sawerigading sebagai salah seorang leluhur mereka; (2) bagaimana ko-optasi dan penolakan terus-menerus pada leluhur Bugis merefleksikan rendahnya pengaruh politik dan kontrol masyarakat Bugis atas wilayah tersebut dewasa ini; dan (3) bagaimana kehadiran Sawerigading dan aspek-aspek budaya Bugis lain dalam ritus yang semestinya merupakan asli Lauje merefleksikan hubungan historis, dan pengaruh, yang lebih dekat dengan pendatang Bugis-Makassar di kerajaan pelabuhan perdagangan periferal di Sulawesi Tengah ini dibanding yang umum diketahui.

KISAH SAWERIGADING

Sawerigading versi Lauje bermula dengan cerita tentang ayah Sawerigading, Si Anak Rakus ('To Modoko' dalam bahasa Lauje). Ceritanya sebagai berikut:

Pasangan suami istri pertama di Lauje telah berusia senja, namun belum mempunyai buah hati. Pasangan tua ini berdoa agar dikaruniai seorang putera. Doa mereka akhirnya terkabul, tapi anak laki-laki itu menjadi beban berat. Dia makan banyak sekali sehingga mereka tidak mampu lagi menyediakan makanan untuknya. Dia juga sangat kuat. Dia mampu menebang pohon di tujuh sisi gunung dengan kapaknya. Tapi kerakusan sang anak sungguh membuat hati kedua orang tuanya masygul.  Badannya amat besar dan meski masih kanak-kanak dia mampu menghabiskan tujuh bakul nasi dalam sehari. Bapaknya memutuskan ia tidak sanggup lagi memberi makan anaknya. Sehingga ia (sang bapak) bertekad
membunuh anaknya semata wayang. Sang bapak menyuruh si anak mengambil sebuah batu besar di jurang yang curam. Kemudian sang bapak mendorong batu besar menuju si anak, tetapi ia kembali dengan memanggul batu besar itu dan tujuh buah lainnya di pundaknya. Pada saat lain, sang ayah menyuruhnya mencari kayu bakar di sebuah tempat tertentu. Sang ayah menjatuhkan sebatang pohon yang telah ditebangnya agar jatuh menimpa anaknya sendiri. Si anak lagi-lagi kembali dengan membawa pohon itu dan tujuh batang lain di pundaknya.

Si anak akhirnya sadar bahwa orang tuanya sudah tidak menginginkannya, dan memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ibunya menyiapkan bekal perjalanan dan ayahnya memberi sebilah pedang ajaib yang terbuat dari Batu Bertulis, yang menandai pusat bumi dan tempat segala sesuatu, manusia dan hewan, bersumber.

Anak laki-laki itu berjalan selama tujuh hari dengan menyandang pedang bertuah dan bekalnya. Pada malam ketujuh dia tiba di sebuah kampung tak berpenghuni di Tanah Cina. Dia menemukan seorang gadis yang sedang bersembunyi di dalam sebuah tong. Dia meminta gadis itu menanak nasi. Si gadis menjawab bahwa ia tidak bisa masak karena suara alu penumbuk padi akan mengundang burung raksasa yang telah membunuh seisi kampung.

Si Anak Rakus berjanji akan melindunginya. Gadis dari Cina itu pun menumbuk padi. Ketika burung raksasa datang, anak itu menggunakan pedang ajaibnya, yang terbuat dari Batu Bertulis, untuk membunuh burung itu dan menghidupkan kembali semua penduduk kampung. Si Anak Rakus menikahi si gadis. Putera pertama mereka adalah Sawerigading. Keturunan mereka menjadi orang-orang dari seberang lautan, saudara tua orang-orang Lauje.

Pertama kali mendengar cerita ini, saya pikir ini menarik karena Sawerigading disebut-sebut sebagai putera dari seorang wanita Cina dan pria Lauje. Semua referensi tentang asal usul Sawerigading sebagai orang Bugis lenyap. Namun, belakangan saya ketahui bahwa Cina adalah nama kuno untuk Pammana di Wajo, Sulawesi Selatan, sebuah komunitas yang terletak di bekas kerajaan Bugis Bone (Abidin dan Macknight 1974:162). Bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan mumpuni tentang kerajaan-kerajaan kuno Bugis, kisah Lauje To Modoko mempertemukan putera asli Lauje dengan seorang wanita Bugis yang kemudian dikawininya. Si Anak Rakus dari Lauje menjadi penyelamat orang Bugis. Namun, hanya sedikit orang yang menceritakan kisah ini yang sadar akan hubungan tersebut.

Pencerita dan pendengarnya lebih tertarik pada sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan kontemporer mereka; asal-usul kelompok etnik lain dan hubungannya dengan orang Lauje.  Secara sekilas, cerita Anak Rakus mengaburkan batas batas antara Lauje dan kelompok-kelompok etnik lainnya. Dalam cerita itu semua pendatang, baik yang dikenal sebagai orang Bugis atau Cina, adalah keturunan putera pertama Lauje, si Anak Rakus, yang kawin-mawin dengan wanita-wanita dari komunitas-komunitas lain dan menghuni bumi. Berdasarkan kisah ini, banyak orang Lauje menyebut kaum pendatang yang tinggal di tengah komunitas mereka sekarang sebagai 'saudara tua' (sia'a) karena mereka dianggap sebagai turunan putera Lauje pertama, si Anak Rakus. Sebagian orang Lauje bahkan menyebut pendatang sebagai Sia'a Puange yang menggabungkan istilah untuk saudara tua, sia'a, dengan istilah Bugis untuk Dewa, Puange.

Jika dikaji lebih dalam, cerita ini menggambarkan hubungan hierarki dan pandangan moral penduduk lokal terhadap pendatang. Kisah ini menunjukkan contoh pelanggaran moral serius: pemimpin yang (dalam hal ini, orang tua) karena kerakusan atau kepentingan pribadi di luar yang semestinya, lalai memberi makan seorang pengikut. Walhasil, turunan si pelanggar, kini menjadi saudara mudanya, wajib membayar 'dosa leluhur' itu dengan bersumpah setia kepada turunan saudara tua, Puange, yang datang ke tanah Lauje. 

Mereka diwajibkan bekerja atau memberi makan Puange dengan menyerahkan upeti. Sebagai hukuman atas kemalasan dan pelanggaran moral leluhurnya, mereka kehilangan satu-satunya barang berharga, pedang yang diberikan kepada anak laki-laki mereka. ltulah sebabnya, konon, orang luar memiliki keunggulan magis dan kekuatan mistik dibanding penduduk lokal Lauje.  Orang-orang Lauje tanpa sadar telah menyerahkannya kepada mereka. Sawerigading menjadi penjelmaan dari semua kekuatan mistik yang dulu pernah ada di tanah Lauje dan lenyap gara-gara kelalaian leluhur Lauje.  Sawerigading yang mewarisi kekuatan mistik dari kakeknya yang orang Lauje, menjadi sando atau dukun pertama yang sakti mandraguna, yang kembali ke tanah Lauje. 

Cerita tentang Sawerigading berlanjut:
Melalui perjalanan dan perkawinannya dengan wanita wanita dari tanah lain, Sawerigading telah menjadi seorang sando sakti (dukun ritual). Dia telah mewarisi benda-benda dan pengetahuan ritual dari ayahnya yang orang Lauje, yang memberinya kesaktian tak tertandingi. Sawerigading kembali ke tanah Lauje dengan membawa benda-benda bertuah ini bersamanya.  Namun, selang waktu antara tibanya ayah Sawerigading dan kembalinya Sawerigading sendiri, seorang sakti lainnya, saudara muda dari Mekah tiba. Dia adalah Nabi Muhammad, yang menjadi Penguasa tanah Lauje.  Muhammad menantang Sawerigading beradu kesaktian. Mereka harus menyusun telur seekor maleo (mamua) sebanyak tujuh tingkat, di pantai, tanpa boleh pecah atau jatuh.

Sawerigading menunjukkan kesaktiannya. Dia mampu menyusun tujuh tingkat. Tetapi Nabi Muhammad menyusunnya dengan menyisakan ruang di antara setiap lapisan telur. Muhammad pun menang. Sawerigading dan kesaktiannya lenyap ditelan laut. Muhammad menjadi penguasa di muka bumi. Sawerigading beranak-pinak lalu meninggal.

Sepintas, cerita ini adalah sebuah alegori tentang hubungan antara Islam dan adat istiadat. Agama, yang dibawa Muhammad, mengalahkan adat yang dipraktikkan oleh Sawerigading. Pada lapisan lebih dalam, ini cerita tentang saudara tua, Sawerigading, yang tetap mesti dihormati meski telah diganti oleh 'saudara muda', Muhammad. Karena cerita ini dan cerita lain tentang Anak Rakus memiliki banyak lapisan makna, cerita yang sama bisa digunakan berbagai golongan berbeda untuk membuat klaim yang kontradiktif.

Di satu sisi, orang bisa menggunakan Sawerigading untuk menunjukkan superioritas adat istiadat dan identitas etnis asli setempat di atas agama dan etnik dari luar. Di sisi lain, orang dapat mengklaim ikatan kekerabatan terhadap Sawerigading dan memandang diri mereka lebih superior dibanding penduduk Lauje biasa. Kedua cara pandang terhadap Sawerigading ini membagi bangsawan Lauje dalam dua golongan. Satu golongan, yang saya sebut 'golongan asli (purists)', mengatakan bahwa Sawerigading adalah leluhur orang Lauje, bukan dari etnik lain. Namanya hanya dikenal oleh lapisan elit Lauje di Dusunan dan hanya mereka yang dapat memanggilnya untuk melindungi komunitas mereka dari penyakit atau kelaparan. Golongan kedua, yang saya sebut 'golongan campuran (accommodationists)', mempercayai bahwa Sawerigading adalah campuran' Kaili, Lauje, Bugis dan Mandar, sama seperti penduduk di Dusunan. Mereka menggunakan silsilah Bugis Sawerigading sebagai jalan memperkenalkan status elit mereka sendiri.

Persaingan kedua prinsip tentang Sawerigading ini merefleksikan perdebatan di kalangan komunitas Dusunan tentang cara terbaik mengatasi sikap pilih kasih Belanda yang lebih condong pada pendatang ketimbang penduduk asli. Kalangan 'asli' percaya cara terbaik untuk mengklaim kembali kekuasaan mereka yang direbut secara tidak adil oleh pendatang yang lebih disenangi Belanda, adalah menekankan bahwa pemimpin tertinggi orang Lauje, olongian, dan nenek moyang, seperti Sawerigading, adalah asli Lauje. Mereka berpendapat si Anak Rakus sebenamya adalah Sawerigading, bukan ayah Sawerigading. Dengan demikian, kaum 'asli' menghapus satu generasi sehingga wanita dari Cina tidak masuk dalam silsilah Sawerigading. Kalangan lain, kaum 'campuran' mengakui bahwa Sawerigading berdarah setengah Lauje, setengah lagi dari tempat lain. Pendapat kaum 'campuran' bervariasi soal penekanan hubungan Kaili, Bugis, atau Mandar dalam garis ibu Sawerigading. Namun, semua kalangan 'campuran' sepakat bahwa Sawerigading adalah anak seorang wanita pendatang dan pria Lauje bernama To Modoko. Untuk memahami mengapa kedua aliran ini memilih posisi masing-masing, memerlukan kajian ulang terhadap sejarah kaum pendatang.

PEMBAHASAN SINGKAT SEJARAH LAUJE DAN KAUM PENDATANG

Baik kaum 'asli' dan 'campuran' mengakui bahwa pedagang pendatang dahulu, pada abad ke-18, tinggal di daerah yang kini kota pesisir Tinombo. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Tinombo (yang kemudian disebut Siavu) adalah sebuah pemukiman pesisir temporer bagi pedagang keliling dari Sulawesi Selatan yang ingin berdagang dengan penduduk asli Lauje yang tinggal di pelosok sepanjang pesisir Sungai Tinombo, dan di kaki bukit dan puncak Gunung Sojol. Kapal pedagang Bugis dan Makassar berlabuh di pinggir pantai, angkutan mereka berupa porselen, pecah belah, kain dan kuningan. Setelah beberapa bulan menjual dagangan, mereka akan mengisi kembali kapal dengan bahan-bahan mentah dari pegunungan Lauje, seperti damar, rotan, dan organ binatang untuk bahan obat-obatan Cina.

Selama masa menjual dan mengisi kembali, awak kapal berlabuh dan membangun tenda di Siavu. Pada akhir abad ke-19, banyak pedagang pendatang telah membangun komunitas permanen sendiri. Ada kampung Kaili (lokasi pemukiman), kampung Bugis, kampung Mandar dan Kampung Gorontalo. Di kampung-kampung imigran ini, banyak lelaki yang menikah dengan wanita Lauje dari kaki bukit dan mulai menjual barang-barang dari rumah mereka sendiri, meski setelah kapal berlayar ke pelabuhan lain. Akhirnya Siavu berganti nama menjadi Tinombo dan menjadi pemukiman yang lebih permanen sama seperti kantong kantong pendatang yang terdapat di sepanjang pesisir Teluk Tomini, dengan dermaga permanen dan sejumlah gudang milik pedagang imigran.

Umum disepakati bahwa kaum pendatang tinggal di daerah yang kini adalah Tinombo. Para lelaki pendatang yang menikahi wanita Lauje inilah yang kemudian menetap di Tinombo. Wanita-wanita dari lapisan rendah ini biasanya mengadopsi identitas etnik suami dan keturunan mereka menjadi orang Kaili, Bugis atau Mandar, bukan Lauje. Pertanyaannya, apa yang terjadi ketika wanita elit Lauje menikah dengan pria pendatang, dan si pria pindah ke kampung Dusunan Lauje. Pertanyaan tentang silsilah ini ditandai oleh satu peristiwa khusus. Suatu masa di awal abad ke-19, putri atau kemenakan olongian pegunungan, pemimpin asli, bersedia menikah dengan seorang pria muslim. Regalia sakral olongian digunakan untuk mengesahkan perkawinan itu. Setelah Imam melaksanakan upacara ala Islam terhadap benda berhala tersebut, pasangan pengantin baru itu menyatakan bahwa regalia itu pun sudah masuk Islam. Mereka merasa perlu memindahkannya ke sebuah pemukiman baru bernama Dusunan yang terletak dekat pantai di seberang Sungai Tinombo, dekat pemukiman pendatang. Dusunan kemudian menjadi pusat keluarga kerajaan Lauje. Sejak itu, orang-orang daratan rendah Lauje yang tinggal di Dusunan mengidentifikasi diri sebagai Muslim dan kerabat elit para olongian. Mereka yakin bahwa mereka sepenuhnya berbeda dari orang-orang Lauje pegunungan yang tetap animis.  

Kaum 'asli' senang menonjolkan peran kepemimpinan olongian dan silsilah orang orang pegunungan Lauje. Mereka tak pernah terang-terangan mengakui suami olongian yang muslim. Kalangan 'campuran' menganggap bahwa sang suami adalah seorang pendatang. Mereka melihat kerajaan yang baru terbentuk merupakan kepemimpinan ganda (diarchy), olongian berperan sebagai seorang raja atau ratu 'simbolis' dan suaminya yang pendatang, yang disebut seorang tadulako atau toribangka, dipandang sebagai figur pahlawan pembela rakyat. Tadulako atau toribangka memiliki kesaktian spiritual dan mistis untuk melawan bajak laut ganas yang memaksa orang Lauje bermukim di kaki gunung, jauh dari pantai, hingga sekarang.  Karena perempuan olongian telah menikah dengan seorang lelaki pendatang, sebagai tadulako dia dapat melatih kaum pria daratan rendah Lauje untuk melakukan serangan pengayauan (headhunting raids) sehingga Lauje menjadi wilayah aman bagi seluruh warga.

Bagi kaum 'asli' maupun 'campuran' identitas sebagai Muslim dan elit sangat penting untuk membedakan mereka dari kalangan awam di pegunungan. Namun cara mereka mendefinisikan hubungan dengan para imigran berbeda. Kalangan 'asli' lebih senang menekankan independensi kerajaan Lauje dan mengakui olongian sebagai penguasa. Sementara kalangan 'campuran' menggambarkan kerajaan Lauje terdiri atas seorang olongian asli dan seorang pahlawan pendatang. Mereka juga menceritakan kisah pembayaran upeti dari olongian Lauje kepada Raja dan kepada sebelah utara Tinombo di Mautong dan di Gorontalo. Bukti-bukti arsip mendukung argumen kalangan 'campuran' (Hart 1853; van Hoevell; Riedel 1870): olongian Lauje membayar upeti kepada olongian Gorontalo pada abad ke-18 (Ridel 1870).

Cerita rakyat juga menunjukkan hubungan panjang antara Lauje dengan peradaban-peradaban yang lebih superior secara politik dan ekonomi. Olongian Lauje mengirim budak kepada Puange Mautong untuk menambang emas hingga sebelah utara Tinombo. Upeti tenaga kerja ini menunjukkan bahwa olongian Lauje adalah bawahan Puange Bugis di Mautong.  Kerajaan Mautong diciptakan pada suatu masa selama abad ke-19 (tanggal lisan dan dokumen berbeda-beda). Mautong, seperti Dusunan, dibangun oleh pedagang keliling Bugis dan Mandar yang telah menikahi perempuan setempat dan bermukim di wilayah itu. Ketika Belanda datang ke wilayah Moutong untuk mencari penandatangan Kontrak Lang (pada pertengahan hingga akhir abad ke-19), mereka membawa penerjemah yang berasal dari Bugis dan Mandar dari Sulawesi Selatan. 

Ketika si penerjemah bertemu dengan sesama orang Bugis, mereka berhasil meyakinkannya untuk menandatangani perjanjian. Sehingga lahirlah sebuah 'kerajaan' Bugis di tengah tengah Teluk Tomini (Geuns 1906).  Karena orang Bugis dan Mandar secara de facto memegang hegemoni politik dan ekonomi di Teluk Tomini di awal abad ke-19 dan mungkin karena tadulako adalah orang Bugis, mereka bisa meminta ipar mereka, olongian Lauje, mengirim budak ke Mautong untuk menambang emas (Riedel 1870; Nourse 1994; Henley 1996). Namun, kalangan 'asli' menolak mentah-mentah argumen ini. 

Kalangan 'asli' menolak 'darah' pendatang dalam tubuh keluarga kerajaan hingga awal abad ke-19. Mereka berpendapat demikian untuk menekankan pengkhianatan kaum pendatang. Menurut hemat kaum 'asli', penguasa kolonial Belanda baru memperluas kekuasaan ke dalam wilayah Teluk Tomini ini pada awal abad ke-20. Ketimbang berperang melawan pasukan Belanda, kaum bangsawan Lauje sepakat menerima seorang Puange Bugis, pemimpin kerajaan Mautong, sebagai penguasa kerajaan Lauje.  Mereka melakukan itu karena orang Bugis berhasil meyakinkan mereka akan menjadi mitra seimbang dalam pembagian kekuasaan. Orang Lauje sepakat salah seorang dari mereka, putri olongian, kawin dengan Raja Bugis Moutong benama Daeng Malino, dengan harapan anak laki laki dari perkawinan ini akan mewarisi tahta kerajaan. Menurut kalangan 'asli', orang Bugis menipu orang Lauje. Mereka membujuk Belanda untuk memilih sepupu satu kali sang Raja Bugis, ketimbang anak laki-laki yang setengah Bugis/setengah Lauje yang merupakan putra olongian. Belakangan, kata kaum 'asli', setelah Raja kedua turun tahta (pada tahun 1920-an), tahta Lauje lagi-lagi diserahkan ke tangan seorang Mandar bernama Raja Tombolotutu. Dia berkuasa hingga 1964 dan kerabatnya masih tetap menduduki jabatan pemerintahan hingga kiwari.

Kalangan 'asli' memandang bahwa kaum pendatang sejak dulu hingga kini lebih menyukai sesama pendatang ketimbang penduduk lokal. Kaum imigran pun dicap sebagai pengkhianat, sehingga perkawinan kaum elit dengan pendatang, terutama orang Bugis, tidak dibolehkan sejak awai abad ke-20. Argumen golongan 'asli' ini dirancang untuk meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa wilayah Lauje harus menjadi kabupaten tersendiri yang terpisah dari kendali kaum pendatang. Kalangan 'asli' beralasan bahwa jika mereka dapat membuktikan ikatan darah yang terus menerus bertahan antara golongian Lauje dengan penduduk pegunungan Lauje, maka olongian akan dapat berkuasa dimasa kini.

Menurut hemat saya, argumen yang dikemukakan kalangan 'asli' itu sungguh naif, lamunan tak berdasar. Namun mereka tetap menentang perkawinan silang mitologis dengan kaum pendatang untuk membuat pendapat mereka tentang hubungan antar etnik kontemporer lebih simpatik. Jadi ketika kalangan 'asli' berbicara tentang Sawerigading dia adalah turunan asli Lauje.

Namun, kalangan 'campuran', memiliki perspektif yang jauh berbeda. Mereka percaya bahwa secara historis kaum elit Lauje telah melakukan kawin silang dengan pendatang Bugis, Kaili dan Mandar sehingga, seperti kata istri olongian, 'kita telah menjadi berwarna-warni seperti ayam burik'. Istri olongian, seorang wanita kelahiran tahun 1906, mengatakan bahwa ketika ia masih muda, ada sebuah upacara penyembuhan orang Bugis yang dilakukan oleh tadulako. Upacara ini sangat menyerupai Momosoro, tapi tidak boleh dihadiri kaum awam. Ritual ini merupakan persembahan terhadap Sawerigading yang bertahta di singgasana emasnya di tengah hutan. Ia menuturkan bahwa dalam upacara ini si sakit harus melangkah di atas kepala seekor kambing (sama seperti yang dilakukan olongian pada malam terakhir, satu-satunya upacara khas masyarakat Lauje yang masih bertahan, Momosoro. Kemudian mereka harus menyebut nama Puange atau Raja, Sawerigading.  Dialah yang pertama, sebelum semua roh-roh lainnya. Semua yang lainnya dari lautan, pedagang, mereka yang mengendarai ombak, yang merah dan yang hitam (roh yang belakangan), mereka semua datang belakangan. Sawerigading sudah ada sejak pertama kali duduk di singgasana emas.  

Menurut sang istri olongian, hanya orang-orang keturunan Puange, Raja pendatang, yang dibolehkan memanggil Sawerigading. Mereka adalah bangsawan Lauje, keturunan olongian dan tadulako. Dia berkata 'orang-orang pegunungan dan kaum awam tidak tahu tentang Sawerigading'. Dia adalah dewa tertinggi dari roh-roh belakangan yang melayaninya. lstri olongian mengakui bahwa Sawerigading adalah roh yang diperoleh dari ritual orang Bugis, tetapi dia adalah salah satu dari sedikit orang yang berpikiran demikian.  Sebagian besar kalangan 'campuran' melihat Sawerigading sebagai setengah Lauje, setengah lagi dari beberapa suku yang tidak ditetapkan. Mereka lupa bahwa Sawerigading sendiri suatu ketika pernah melakukan sebuah ritual orang Bugis. Namun mereka tetap mengakui Sawerigading dengan menyebutnya dalam satusatunya upacara penyembuhan yang tersisa (Momosoro), yang dipimpin oleh olongian.

SAWERIGADING DAN KESEPAKATANNYA DENGAN BANGSAWAN LAUJE

Seorang ahli naskah memberi tahu saya bahwa setiap tahun, pada upacara Momosoro, Sawerigading, penguasa roh lautan dan sando pertama Lauje, disembah. 'Sebagian dari kami yang tinggal di daratan cenderung mengabaikan leluhur di lautan sehingga ritual ini diadakan untuk menghormatinya'.  Kisah Sawerigading, sama seperti ritualnya, menunjukkan bahwa daratan dan lautan, agama dan adat istiadat, adalah wilayah terpisah. Momosoro menyatukan kembali 'saudara tua' seperti Sawerigading dan adat istiadat, dengan 'saudara muda' seperti Muhammad dan Islam. Setelah tujuh hari menghormati roh lautan seperti Sawerigading dan roh penghuni sungai dan darat, kedua kelompok roh tersebut dikirim kembali ke persemayaman mereka, dengan penuh rasa puas dan terhormat.  Akibatnya kesuburan dan kesehatan pun tercipta. Ritual dan dongeng ini menekankan bahwa agama Muhammad dan hal-hal duniawi lebih penting dalam kehidupan sehari-hari, tetapi Sawerigading lebih utama dalam hal yang lebih permanen dalam kehidupan dan kematian, yang dikaitkan dengan laut (karena roh orang mati konon pergi ke tengah laut dan mengalami reinkamasi di sana).  

Seorang bangsawan memberi tahu saya bahwa 'penduduk biasa hanya mengetahui bahwa pada tempat keramat olongian (ginaling), yang merupakan titik penting dalam Momosoro, terdapat sepotong kayu asli, padahal ada juga potongan potongan kayu lain di dalamnya'.  lni mencakup 'kayu tujuh macam'. Satu kayu untuk 'orang-orang biasa'.  Kayu 'orang-orang biasa' ini adalah perempuan dan bisa digunakan mengobati penyakit penduduk awam. Pasangan laki-lakinya adalah pohon olongian yang hanya dipakai mengobati para bangsawan.  Pohon ini dikenal sebagai 'tongkat atau tombak Sawerigading'. Lelaki itu memberi tahu saya bahwa 'olongian berkuasa di Lauje karena sebuah persekutuan rahasia dengan Sawerigading' sebuah persekutuan yang tidak diketahui orang awam. 'Para bangsawan mengetahui tentang Sawerigading', tuturnya, 'dari orang Kaili dan orang Mandar yang mereka kawini. Orang awam buta tentang Sawerigading karena mereka hanya kawin dengan sesama Lauje.  Meskipun orang ini tidak berkata demikian, komentarnya mengisyaratkan bahwa Sawerigading bagi orang Lauje sebagai tadulako bagi olongian. Sawerigading terlahir sebagai orang asing dan menciptakan persekutuan rahasia dengan olongian sama seperti yang dilakukan tadulako.

Kisah dan ritual tentang Sawerigading sejalan dengan sejarah kaum 'campuran' tentang perkawinan pertama olongian dataran rendah dengan tadulako.  Hubungan antara Sawerigading dan tadulako tidak pernah dinyatakan secara terang-terangan, tetapi tersirat.  Sawerigading, seperti tadulako, dianggap sebagai orang yang menjembatani dua alam. Ini terlihat dalam persembahan utama untuk Sawerigading dalam Momosoro. Persembahan ini mengaitkan Sawerigading dengan berkah kesuburan dari roh-roh lautan. Orang-orang yang menghadiri upacara menggunakan sebutir telur dari spesies langka maleo, yang disebut mamua dalam bahasa Lauje. Jenis telur ini serupa dengan yang digunakan dalam pertandingan antara Sawerigading dan Muhammad. Mamua dikenal sebagai 'kesenangan' Sawerigading. Konon, burung ini bertengger di 'pohon bercabang dua' di gunung tertinggi. Satu cabang menjorok ke arah lautan, satunya lagi ke daratan. Dari sarangnya, sang burung dapat terbang menuju kedua arah. Burung itu meninggalkan sarangnya yang mengarah ke laut terbang menuju pantai untuk menyimpan telurnya. Lalu burung itu kembali ke tempat bertenggemya pada cabang yang mengarah ke daratan.  

Pada zaman dahulu, tujuh telur mamua digunakan sama seperti tujuh telur yang bersusun dalam kisah Sawerigading. Namun, dewasa ini, telur maleo ini kian langka,.. sehingga satu telur dianggap cukup untuk sesajen. 12 Telur maleo ini diletakkan di depan altar olongian untuk diberkati sebelum dikirim dengan sebuah perahu ke tengah laut.  Telur maleo, seperti Sawerigading, menjembatani dua wilayah-laut dan darat. Burung maleo menyimpan telur mereka selama musim kemarau pada akhir musim hujan menjelang musim panen padi.

Pada bulan Agustus dan September, ketika hujan masih sangat kurang atau belum ada sama sekali mereka turun dari daerah pedalaman untuk menggali lubang sedalam tiga atau empat kaki tepat di atas penanda tinggi air di mana burung betina menyimpan satu buah telur besar dalam pasir hitam pantai yang panas.  Si betina datang kembali pada tempat yang sama untuk meletakkan telur yang lain dan setiap burung betina biasanya menaruh enam sampai delapan telur selama musim tersebut (Wallace 1869:272).

Bagi pelaku ritual, telur itu bukan hanya perlambang penting kesuburan dan kesehatan, tetapi cara burung meletakkan telurnya juga tak kalah penting maknanya. Burung maleo hidup di dua alam, laut dan darat. Walhasil, burung ini mewakili penyatuan laut dan darat, dan penyatuan cairan spiritual yang dibutuhkan untuk kesuburan padi. Orang Lauje mengatakan bahwa padi tidak bisa tumbuh kecuali roh laki-laki (Sawerigading) yang bertahta di tengah lautan, mengirimkan air maninya kepada ibu bumi (olongian), wanita raksasa Lauje yang menjelma jadi tanah dan sungai Lauje.  Ketika cairan dari Sawerigading bercampur dengan cairan ibu bumi Lauje, padi tumbuh subur, manusia pun memperoleh makanan, beranak-pinak dan menghuni bumi. Jiwa mereka datang dari tengah lautan untuk menghuni tubuh mereka hingga meninggal, lalu jiwa itu kembali ke rumahnya di tengah lautan. Bagi yang menolak pandangan percampuran dan perkawinan antara olongian Lauje dan tadulako pendatang, ritual yang mempertegas penyatuan dua wilayah laut dan darat, agama dan adat, Muhammad dan Sawerigading ini kian memperkokoh pandangan mereka.

Bagi mereka yang menolak menekankan keaslian Lauje, kisah Sawerigading ditambah dengan telur maleo dapat menjadi bukti keunggulan Lauje. Selain itu, Muhammad adalah saudara muda yang berkuasa di atas wilayah bumi sementara Sawerigading 'yang lenyap' menguasai kehidupan dan mengawasi kematian. Penguasa hal-hal yang lebih abadi adalah Sawerigading.  Dan dia seorang Lauje.

KESIMPULAN

Ringkasnya, orang Lauje telah mengakui Sawerigading sebagai bagian dari mereka, dengan berbagai macam alasan. Salah satu alasan disiratkan oleh istri dari istri olongian dan alasan lain dari kalangan 'campuran' berkaitan dengan hubungan terhadap para penguasa sekarang. Pada satu masa tertentu orang Bugis adalah pemegang tampuk kekuasaan setempat. Bagi orang Lauje yang berusaha meningkatkan status sosialnya cukup layak mempersekutukan diri dengan orang Bugis, untuk menunjukkan hubungannya dengan Sawerigading dan tadulako. Perbuatan ini menandai tingginya status seseorang (lihatAbidin dan Macknight 1974:166).  

Namun, hanya orang-orang tua yang mengklaim status ini. Mungkin ini dikarenakan hanya orang-orang tua yang mengingat Raja Bugis dan kekuasaannya, atau mungkin karena hanya orang-orang tua yang mengingat perkawinan putri olongian dengan Raja Bugis Daeng Malino. Banyak elit Lauje yang samar-samar mengakui benenek moyang Mandar dan Kaili.  Karena raja paling lama berkuasa adalah orang Mandar, klaim mereka terhadap etnis Mandar mungkin berjalinan dengan fakta ini.

Sebagian besar elit yang lebih muda mengakui tentang hubungan darah dengan orang Kaili yang, setelah Indonesia merdeka, cenderung menjadi pemegang kekuasaan di ibu Kota Palu. Seiring dengan perubahan pengakuan mereka tentang identitas etnik, masyarakat juga mengaku bahwa Sawerigading bisa jadi adalah putra anak pertama Lauje yang kawin dengan seorang wanita Kaili atau wanita Mandar atau wanita Bugis. Klaim atas silsilah Sawerigading bergantung pada si pembicara dan cara pandangnya terhadap kekuasaan politik.

Alasan kedua Sawerigading menjadi putera pribumi adalah akibat reaksi kontemporer terhadap hegemoni kaum pendatang. Dalam usaha melawan hegemoni kaum pendatang yang kian terasa, entah itu Mandar, Kaili atau Bugis, kalangan 'asli' telah mengakui Sawerigading sebagai bagian dari mereka. Jika mereka bisa mengatakan Sawerigading adalah orang Lauje maka mereka juga bisa mengklaim pemimpin asli merekalah, bukan orang luar, yang memiliki hak untuk memerintah di kalangan penduduk lokal.

Ada alasan lain yang lebih tajam dan mengesankan tentang mengapa Sawerigading menjadi orang Lauje. Sama seperti Lauje, Sawerigading tidaklah berperan penting di dunia 'nyata'. Islam, Muhammad, Pak Camat, Bupati dan Presiden Suharto lebih penting ketimbang para leluhur yang hidup sebelum 'datangnya Islam'. Sawerigading, pahlawan epik kuno, menjadi ikon sempuma untuk mewakili orang-orang pinggiran yang kepercayaan dan upacara-upacaranya nampak menjadi barang antik. Sepanjang orang Lauje masih marjinal, Sawerigading akan tetap menjadi putra asli Lauje.

Tidak ada komentar:

KEPATUHAN DAN KETAATAN DALAM SINERGITAS KERJA MENGHAPUS KEMISKINAN

Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si* Bulan Oktober dikenal sebagai momen kesejahteraan umat manusia, dikarenakan pada bulan ini di...