Tulisan ini telah dimuat dalam Harian Metro Sulawesi-Palu
Oleh: Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si
Konsep Food Estate muncul sekitar dua tahun lalu, di saat munculnya kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan sebagai imbas dari Pandemi Covid-19. Food Estate sebenarnya bukan hal yang baru karena pada sekitar tahun 1970’an pernah dilakukan pengembangan Kawasan Pertanian Terpadu di Sumatera Selatan oleh PT Patra Tani dan tahun 1995 pernah dilaksanakan proyek besar pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektare dan yang paling terakhir di tahun 2010 yaitu dibangunnya Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada tanah seluas 1,2 juta hektare. Namun disesalkan bahwa ketiga proyek ini tidak berjalan baik sehingga perlu menjadi pertimbangan penyebab kegagalan untuk pembangunan Food Estate di saat ini. Diantara penyebab dari kegagalannya yaitu pembangunannya tidak berbasis kebersamaan petani atau koorporasi petani yang lebih cenderung penguasaan lahan diberikan kepada perusahaan yang bermodal dan cenderung petani dirugikan seperti penguasaan harga komoditas dan pasar. Hal tersebut menyebabkan penolakan dari petani bahkan masyarakat sipil seperti yang terjadi di Papua untuk Project MIFEE.
Pada tahun 2022 nanti, pemerintah yang pada tema pembangunannya adalah pemulihan ekonomi dan reformasi struktural menjadikan Food Estate sebagai salah satu highlight Major Project bersama-sama dengan pengembangan Kawasan industri dan 31 Smelter, energi terbarukan dan 10 destinasi wisata untuk memperkuat ketahanan ekonomi bagi pertumbuhan berkualitas dan berkeadilan.
Pemerintah Daerah melalui Gubernur Sulawesi Tengah telah melayangkan surat kepada Menteri Pertanian Republik Indonesia untuk usulan pengembangan Food Estate berbasis Koorporasi petani pada dua lokasi kabupaten dan tiga komoditas strategis. Kabupaten Poso meliputi Kecamatan Pamona Barat dan Kecamatan Pamona Selatan untuk komoditas utama padi sawah dengan luas total sekitar 5.348 Ha. Kabupaten Buol meliputi Kecamatan Bukal dan Kecamatan Momunu untuk komoditas utama padi sawah seluas 1.000 Ha, Kecamatan Bukal untuk komoditas utama jagung dengan luas 1.000 Ha dan Kecamatan Tiloan untuk komoditas utama kopi dengan luas 500 ha. Usulan ini mendapat respon positif dengan memasukkan Sulawesi Tengah sebagai Kawasan prioritas food estate Bersama-sama dengan 20 provinsi lainnya di Indonesia.
Sebenarnya apakah Food Estate yang akan digagas oleh pemerintah tersebut? Pengembangan Kawasan Food Estate berbasis koorporasi petani adalah usaha skala besar di bidang pangan yang di rancang secara terintegrasi, baik horizontal (antara komoditas pangan yang prospektif) maupun vertikal (on-farm sampai off-farm). Pengembangan Food Estate dirancang secara integratif dan konsolidatif, mulai dari penataan kawasan, pengembangan infrastruktur, pemanfaatan teknologi produksi, digitalisasi sampai pada pengembangan koorporasi petani. Pengembangan Food Estate menempati beberapa klaster atau agroklaster, yang merupakan bagian dari Kawasan pertanian (Rancangan Umum, pengembangan Kawasan Food Estate berbasis koorporasi petani, Kementan RI, 2021).
Dengan pengembangan Kawasan Food Estate, pengelolaan pertanian tidak lagi dengan cara biasa atau konvensional, namun dengan meningkatkan skala ekonomi (economic of scale) dan menerapkan inovasi teknologi pertanian serta pengembangan kelembagaan koorporasi petani. Pengembangan kawasannya adalah produksi pangan terpadu meliputi pertanian sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan pada wilayah tertentu dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi berbasis sistem industri, permodalan, organisasi dan manajemen kontemporer. Konsep dasar food estate diletakkan atas asas keterpaduan sektor dan sub sektor dalam sistem rantai nilai produksi pangan berskala luas dalam suatu kawasan.
Sulawesi Tengah memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan kawasan Food Estate dengan luasan lahan komoditas pertanian strategis. Sulawesi Tengah merupakan provinsi di Pulau Sulawesi yang memiliki luas daratan paling luas yaitu 65.526,72 km2 atau 6.552.672 ha, dimana sekitar 942.206 ha adalah kawasan potensi pertanian dan sekitar 681.686 ha adalah kawasan potensi perkebunan.
Komoditas strategis pertanian Sulawesi Tengah terdiri atas padi, jagung dan kedelai sedangkan untuk perkebunan terdiri dari kelapa dalam, kakao, cengkeh dan kopi. Untuk itulah pembangunan Sulawesi Tengah bertumpu pada sektor pertanian yang memiliki kontribusi terhadap struktur PDRB menurut lapangan usaha bersama sektor kehutanan dan perikanan adalah yang terbesar yaitu 21,76 persen dan memiliki andil pada Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tengah triwulan I-IV tahun 2020 sebesar 4,86 persen. Saat ini, Pembangunan Sulawesi Tengah periode 2021-2026 memiliki 4 program prioritas dimana salah satunya yaitu mendorong peningkatan produktivitas tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan komoditi pertanian lainnya. Program Prioritas tersebut telah masuk di dalam Rancangan Awal RPJMD Sulawesi Tengah tahun 2021-2026.
Sulawesi Tengah memiliki jumlah petani sebanyak 508.475 orang (BPS Sulteng, 2019) yang juga berpotensi untuk bekerja dalam koorporasi. Sudah saatnya petani tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi berjama’ah. Pengembangan koorporasi petani di Kawasan Food Estate menjadi landasan utama untuk mengoptimalkan berbagai aktivitas dari hulu sampai hilir yang dikembangkan menjadi satu kesatuan (terintegrasi) pada skala ekonomi yang layak sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan. Proses pembentukan koorporasi melalui konsolidasi kelembagaan petani, dimulai dari petani yang dikonsolidasikan ke dalam satu kelompok petani (Poktan), kemudian Poktan dikonsolidasikan ke dalam Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan). Dari beberapa gapoktan yang tergabung dalam suatu klaster selanjutnya dikonsolidasikan menjadi Gapoktan Bersama. Gapoktan Bersama dibentuk dari, oleh dan untuk petani melalui konsolidasi gapoktan yang ada di setiap klaster, yang selanjutnya ditransformasi menjadi koorporasi petani dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) atau badan hukum lainnya.
Sudah saatnya, setiap daerah termasuk Sulawesi Tengah memikirkan pengelolaan sumberdaya SDA dan SDM untuk kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakatnya. Selama ini, pengelolaannya dilakukan secara parsial atau sebagian-sebagian dengan skala yang kecil sehingga memberikan keuntungan dan kemanfaatan yang kecil juga. Ada empat permasalahan mendasar yang dimiliki oleh Sulawesi Tengah yaitu angka kemiskinan yang masih dua digit, Tingkat Pengangguran Terbuka yang tinggi, Inflasi yang berfluktuatif sehingga investor kurang berminat dan tingginya angka stunting atau anak kerdil. Jalan keluar dari permasalahan-permasalahan tersebut adalah bagaimana menjadikan daerah menjadi lebih produktif dengan membuat usaha-usaha yang berskala kecil menjadi bentuk industrialisasi seperti: industrialisasi agro, industrialisasi maritim, industrialisasi pariwisata, kreatifitas dan digitalisasi dan industri tambang.
Pembangunan Kawasan Food Estate sebenarnya adalah bentuk industrialisasi agro dengan mencoba menggabungkan sumber daya yang ada dan dalam kesatuan kontrol dan manajemen, tidak bentuk monopoli karena berdasarkan pada kepemilikan dan usaha bersama. Koorporasi yang ada tetap milik masyarakat petani, sedangkan pemerintah sangat berperan memberikan support berupa penyediaan pasar, ketersediaan bibit dan pupuk, aksesibilitas jalan yang menghubungkan kantong-kantong produksi dan distribusi hasil produksi.
Substansi pengembangan kawasan Food Estate yaitu tidak lain adalah untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan masyarakat, menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD), mempercepata pemerataan pembangunan, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta menignkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mendukung perekonomian nasional. Untuk itu, pengembangan Kawasan food estate harus dirancang berdasarkan empat pendekatan yaitu pengembangan wilayah melalui pendekatan kawasan, integrasi sektor dan sub sektor, lingkungan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat (local community development). Pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal dan pengembangan perekonomian lokal (local community and economic development) dilakukan dengan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pangan skala luas (food estate) melalui kemitraan antara masyarakat lokal dengan investor yang mengedepankan prinsip berkembang bersama sebagai kesatuan mitra pembangunan dan mitra usaha dengan tetap memperhatikan kearifan lokal (lokal wisdom).
Kemitraan usaha pertanian adalah kerja sama usaha antara perusahaan mitra dan kelompok mitra di bidang usaha pertanian. Perusahaan mitra adalah perusahaan pertanian atau perusahaan bidang pertanian baik swasta atau BUMN maupun BUMD yang memerlukan kerja sama dengan kelompok mitra. Adapun perusahaan pertanian adalah perusahaan yang dapat izin dari aparatur sektor pertanian. Setiap daerah memiliki peluang untuk menggagas pengembangan food estate ini tidak terkecuali adalah Sulawesi Tengah yang memiliki sejuta potensi komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan (Grand Design Food Estate, Kementan RI, 2021).
Semoga di era pemerintahan daerah Sulawesi Tengah yang baru dibawa kepemimpinan Gubernur bpk H. Rusdy Mastura dan bpk Makmun Amir dengan visi Bergerak Cepat untuk Sulawesi Tengah lebih maju dan lebih sejahtera dapat memberikan upaya-upaya peningkatan cadangan pangan daerah yang sisanya bisa di ekspor dan yang terpenting bisa memberikan sumbangsih jumlah pendapatan asli daerah yang meningkat, kemampuan fiskal daerah yang kuat, pemerataan pembangunan di seluruh daerah kabupaten dan akhirnya terwujudnya kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah.
Penulis : Kasubbid Perencanaan Ekonomi II BAPPEDA Provinsi Sulawesi Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar