Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si
Pada tahun 2023 daerah rawan pangan di Sulawesi Tengah meningkat agak
signifikan. Berdasarkan data dari Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)
Sulawesi Tengah tahun 2022, bahwa ada peningkatan daerah rawan pangan dimana
pada tahun 2022 untuk Prioritas 1 (sangat rawan) meningkat sebanyak 25
kecamatan dari 4 kecamatan di tahun 2021, sedangkan untuk Prioritas 2 (rawan)
meningkat sebanyak 26 kecamatan tahun 2022 dari 10 kecamatan tahun 2021 dan
untuk Prioritas 3 (agak rawan) juga meningkat sebanyak 35 kecamatan pada tahun
2022 dari sebanyak 27 kecamatan di tahun 2021.
Kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan yang disebabkan oleh
kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan di Sulawesi Tengah pada tahun
2022 masih tinggi bahkan mengalami peningkatan.
Sesuai definisi Sistem Informasi Cadangan Pangan (SICDP) bahwa Daerah Rawan
Pangan adalah kondisi
suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan
keamanan pangan dinyatakan tidak cukup untuk memenuhi standar
kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar
masyarakatnya dan secara umum bercirikan daerah tersebut mengalami kegagalan
panen, distribusi pangan yang tidak merata, mata pencaharian penduduk tidak
tetap, pendapatan per kapita penduduk minim dan kemampuan fiskal yang rendah.
Dari hasil analisis dokumen FSVA Sulteng, 2022 bahwa untuk konteks Rawan
Pangan di Sulawesi Tengah lebih kepada akibat distribusi pangan yang tidak
merata.
Beberapa Permasalahan spesifik penyebab meningkatnya daerah rawan pangan di Sulawesi Tengah yaitu pertama, tidak meratanya distribusi pangan dari
sentra-sentra produksi pangan menuju daerah minus pangan disekitarnya yang
kemungkinan terhambat oleh geografis wilayah seperti pegunungan, kepulauan atau
daerah perbatasan. Hal yang membenarkan
bahwa Sulawesi Tengah selalu mengalami surplus pangan terutama pangan strategis
seperti beras, jagung, umbi-umbian dan beberapa komoditas hortikultura bahkan hal tersebut telah
berlangsung selama 5 (lima) tahun terakhir, semisal beras yang menunjukkan
angka produksinya selalu lebih tinggi dari konsumsi masyarakat atau Surplus.
Pada tahun 2018 produksi beras Sulawesi Tengah
mencapai 540 ribu ton dan konsumsi masyarakat sebesar 360 ribu ton sehingga
angka surplus beras mencapai 180 ribu ton. Selanjutnya berturut-turut pada
tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022 angka surplus beras Sulawesi Tengah sebesar 150
ribu ton, 110 ribu ton, 140 ribu ton dan 80 ribu ton (BPS, 2022). Adapun di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah merupakan
provinsi penyumbang luas panen dan produksi padi terbesar kedua setelah
Sulawesi Selatan. Produktivitas padi
Sulawesi Tengah sangat berpotensi untuk terus ditingkatkan dimana pada tahun
2022 ini produktivitasnya mencapai 44,54 Ku/Ha dengan luas 0,17 Juta Ha (panen
11,44%) dan produksi 0,77 Juta Ton (GKG=10,32%) serta menempati urutan kedua
setelah Sulawesi Selatan.
Selain itu, Neraca Beras Sulawesi Tengah sampai
dengan Bulan April tahun 2023 menunjukkan produksinya sebesar 144.577 Ton
dengan konsumsi masyarakat sebesar 113.068 ton sehingga ketersediaan beras
mengalami surplus sebesar 31.509 Ton yang berarti ada ketahanan sampai 1,2
bulan dengan konsumsi 26.604 Ton/Bln.
Sedangkan serapan Beras Bulog selama tahun 2022 sebesar 4.336 Ton dari
serapan surplus sebesar 113.779 ton atau sebanyak 3,8 persen dari angka
surplus.
Permasalahan spesifik kedua, dimana harga pangan rata-rata cukup tinggi sehingga
masyarakat memiliki keterbatasan untuk mengaksesnya terutama pangan yang
beragam dan hal ini mengakibatkan persentase rumah tangga di Sulawesi Tengah
dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65% terhadap total
pengeluarannya cukup tinggi, sehingga memberikan andil negatif terhadap
tingginya persentase kemiskinan di Sulawesi Tengah yang jika dihitung dari
rata-rata pengeluarannya. Tingginya
harga pangan disebabkan karena biaya transportasi yang sulit terutama di
daerah-daerah, seperti: kecamatan-kecamatan prioritas 1 sampai dengan 3 yang
tersebar di beberapa Kabupaten, kecamatan-kecamatan yang lokasinya jauh dari
ibu kota kabupaten atau di wilayah yang berbatasan dengan kabupaten lain, kecamatan
di kepulauan yang menghadapi kendala akses fisik terhadap sumber pangan dan kecamatan
pemekaran yang fasilitas, infrastruktur dan kapasitas SDM-nya masih terbatas.
Permasalahan spesifik ketiga, dimana belum
tersedianya transportasi khusus pangan yang memadai sebagai media penghubung
antara sentra pangan dengan masyarakat yang berada di daerah pegunungan,
perbatasan dan kepulauan. Pada kasus rill dilapangan ditemukan bahwa lebih
mudah & lancar transportasi pangan dari Luwuk menuju Kota Manado atau Kota
Makassar daripada transportasi pangan dari Luwuk menuju daerah-daerah di
Kecamatan Balantak Kepulauan, Kepulauan Togean, perbatasan laut di Kab. Banggai
Laut atau Banggai Kepulauan. Demikian
juga untuk kondisi di Kabupaten Donggala terutama akses ke daerah-daerah
pegunungan sehingga dibutuhkan subsidi atau penambahan armada angkutan yang lebih
memadai dan memiliki jalur perjalanan yang regular. Harus dipikirkan sebuah langkah maju pada
kemampuan distribusi pangan sampai kepada masyarakat dalam jumlah yang cukup,
aman, bermutu, beragam, bergizi dan terjangkau.
Perlu digarisbawahi bahwa penduduk yang bermukim
di wilayah-wilayah rawan pangan bukanlah mereka yang berada dalam kondisi
kelaparan, kehilangan akan akses pangan utama (beras, jagung, umbi-umbian) atau
yang kondisi lahannya kering kerontang tetapi standar rawan pangan dilihat dari
seberapa besar keberagaman pangan yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakatnya. Keberagaman pangan
tersebut memenuhi kebutuhan kalori, kebutuhan protein, kebutuhan nutrisi makro
dan mikro, mineral, vitamin dan lainnya selain faktor penting lainnya seperti
keamanan pangan yang layak dikonsumsi. Keberagaman pangan identik dengan Skor
Pola Pangan Harapan (PPH) semakin tinggi keberagaman pangan maka semakin tinggi
pula skor PPH nya. Jadi disimpulkan jika keberagaman pangan yang dikonsumsi
masyarakat adalah rendah atau tidak tercapai maka masyarakatnya akan memiliki
nilai gizi yang kurang selanjutnya mengindikasikan bahwa tempat tinggalnya
(daerahnya) memiliki kemampuan akses pangan yang kurang atau wilayah yang rawan
pangan. Itulah sebabnya daerah-daerah
rawan pangan memiliki kondisi masyarakat yang juga menderita stunting,
masyarakat miskin dengan asupan pangan yang rendah dan umumnya berada di desa
tertinggal.
Food Security and Vulnerability Atlas
(FSVA) Sulawesi Tengah tahun 2022 telah menetapkan beberapa
desa dengan status rawan pangan pada prioritas 1, 2 dan 3 dan umumnya ketika
disurvei pada desa-desa yang dimaksud, sebagian besar masyarakatnya merasa
bahwa pangan konsumsi mudah untuk diperoleh asal memiliki cukup uang. Tetapi anggapan itu merujuk pada
pangan-pangan utama, dengan kata lain pemahaman masyarakatnya yang masih
berpendapat bahwa mengkonsumsi pangan asal kenyang saja dan tidak memperhatikan
tentang komposisi gizi dari pangan tersebut.
Hal inilah yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan bayi dan anak yang
kurang baik serta daya tahan tubuh dan kesehatan masyarakat yang kurang sehingga
berpengaruh pada tingkat produktivitas kerja masyarakat. Sebenarnya, fokus pada penyelesaian
permasalahan pangan telah diatur dalam Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan dengan berprinsip bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dijamin di dalam UUD Negara RI tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk
mewujudkan SDM yang berkualitas dan Negara berkewajiban mewujudkan
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman,
bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga
perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang
waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Olehnya pemerintah dan pemerintah daerah
(prov, kab/kota) wajib membuat sebuah Dokumen Perencanaan Pangan dengan
periodisasi 5 (lima) tahun yang merupakan input kebijakan pangan pada dokumen
perencanaan daerah seperti RPJPD, RPJMD, RKPD dan dokumen perangkat daerah
seperti Renstra, Renja, DPA-RKA. Dokumen
perencanaan ini memuat isu strategis pangan, arah kebijakan, strategi, tujuan,
sasaran program dan kegiatan pangan atau dengan kata lain memuat
penyelenggaraan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri; menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan,
mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat; mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga
yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat; mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, terutama
masyarakat rawan pangan dan gizi serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam
negeri dan luar negeri. Sesuai dengan UU tersebut, maka pelaksanaan
dokumen perencanaan selain harus terintegrasi dalam Rencana
Pembangunan Nasional & Daerah, Rencana Perangkat Daerah juga harus dilaksanakan
baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah provinsi/kab/kota di Sulawesi
Tengah hendaknya segera menyiapkan dokumen perencanaan khusus pangan yang
menjadi Input pada proses penyusunan awal RPJPD dan RPJMD yang bisa menjadi
bahan rujukan penyusunan Visi dan Misi kepala daerah periodisasi 2025-2030,
dalam dokumen juga akan menampilkan langkah-langkah penyelesaian terhadap
permasalahan pangan yang ditemui, langkah-langkah penyelesain adalah sebuah
Inovasi yang bisa memberikan keuntungan, mudah untuk dikerjakan, sesuai dengan
karakteristik masyarakat dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Semoga tahun-tahun kedepannya Sulawesi Tengah
bisa bebas dari Status wilayah rawan pangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar