Kamis, 02 Oktober 2025

KONTRADIKTIF KONDISI DAERAH RAWAN PANGAN SULAWESI TENGAH

 Oleh. Dr. Mohammad Saleh N. Lubis, S.Pi, M.Si

Pada tahun 2023 daerah rawan pangan di Sulawesi Tengah meningkat agak signifikan.  Berdasarkan data dari Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Sulawesi Tengah tahun 2022, bahwa ada peningkatan daerah rawan pangan dimana pada tahun 2022 untuk Prioritas 1 (sangat rawan) meningkat sebanyak 25 kecamatan dari 4 kecamatan di tahun 2021, sedangkan untuk Prioritas 2 (rawan) meningkat sebanyak 26 kecamatan tahun 2022 dari 10 kecamatan tahun 2021 dan untuk Prioritas 3 (agak rawan) juga meningkat sebanyak 35 kecamatan pada tahun 2022 dari sebanyak 27 kecamatan di tahun 2021.  Kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan di Sulawesi Tengah pada tahun 2022 masih tinggi bahkan mengalami peningkatan.

Sesuai definisi Sistem Informasi Cadangan Pangan (SICDP) bahwa Daerah Rawan Pangan adalah kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangan dinyatakan tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya dan secara umum bercirikan daerah tersebut mengalami kegagalan panen, distribusi pangan yang tidak merata, mata pencaharian penduduk tidak tetap, pendapatan per kapita penduduk minim dan kemampuan fiskal yang rendah. Dari hasil analisis dokumen FSVA Sulteng, 2022 bahwa untuk konteks Rawan Pangan di Sulawesi Tengah lebih kepada akibat distribusi pangan yang tidak merata.

Beberapa Permasalahan spesifik penyebab meningkatnya daerah rawan pangan di Sulawesi Tengah yaitu pertama, tidak meratanya distribusi pangan dari sentra-sentra produksi pangan menuju daerah minus pangan disekitarnya yang kemungkinan terhambat oleh geografis wilayah seperti pegunungan, kepulauan atau daerah perbatasan.  Hal yang membenarkan bahwa Sulawesi Tengah selalu mengalami surplus pangan terutama pangan strategis seperti beras, jagung, umbi-umbian dan beberapa komoditas hortikultura bahkan hal tersebut telah berlangsung selama 5 (lima) tahun terakhir, semisal beras yang menunjukkan angka produksinya selalu lebih tinggi dari konsumsi masyarakat atau Surplus.

Pada tahun 2018 produksi beras Sulawesi Tengah mencapai 540 ribu ton dan konsumsi masyarakat sebesar 360 ribu ton sehingga angka surplus beras mencapai 180 ribu ton. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022 angka surplus beras Sulawesi Tengah sebesar 150 ribu ton, 110 ribu ton, 140 ribu ton dan 80 ribu ton (BPS, 2022).  Adapun di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah merupakan provinsi penyumbang luas panen dan produksi padi terbesar kedua setelah Sulawesi Selatan.  Produktivitas padi Sulawesi Tengah sangat berpotensi untuk terus ditingkatkan dimana pada tahun 2022 ini produktivitasnya mencapai 44,54 Ku/Ha dengan luas 0,17 Juta Ha (panen 11,44%) dan produksi 0,77 Juta Ton (GKG=10,32%) serta menempati urutan kedua setelah Sulawesi Selatan.

Selain itu, Neraca Beras Sulawesi Tengah sampai dengan Bulan April tahun 2023 menunjukkan produksinya sebesar 144.577 Ton dengan konsumsi masyarakat sebesar 113.068 ton sehingga ketersediaan beras mengalami surplus sebesar 31.509 Ton yang berarti ada ketahanan sampai 1,2 bulan dengan konsumsi 26.604 Ton/Bln.  Sedangkan serapan Beras Bulog selama tahun 2022 sebesar 4.336 Ton dari serapan surplus sebesar 113.779 ton atau sebanyak 3,8 persen dari angka surplus.

Permasalahan spesifik kedua, dimana harga pangan rata-rata cukup tinggi sehingga masyarakat memiliki keterbatasan untuk mengaksesnya terutama pangan yang beragam dan hal ini mengakibatkan persentase rumah tangga di Sulawesi Tengah dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65% terhadap total pengeluarannya cukup tinggi, sehingga memberikan andil negatif terhadap tingginya persentase kemiskinan di Sulawesi Tengah yang jika dihitung dari rata-rata pengeluarannya.  Tingginya harga pangan disebabkan karena biaya transportasi yang sulit terutama di daerah-daerah, seperti: kecamatan-kecamatan prioritas 1 sampai dengan 3 yang tersebar di beberapa Kabupaten, kecamatan-kecamatan yang lokasinya jauh dari ibu kota kabupaten atau di wilayah yang berbatasan dengan kabupaten lain, kecamatan di kepulauan yang menghadapi kendala akses fisik terhadap sumber pangan dan kecamatan pemekaran yang fasilitas, infrastruktur dan kapasitas SDM-nya masih terbatas.

Permasalahan spesifik ketiga, dimana belum tersedianya transportasi khusus pangan yang memadai sebagai media penghubung antara sentra pangan dengan masyarakat yang berada di daerah pegunungan, perbatasan dan kepulauan. Pada kasus rill dilapangan ditemukan bahwa lebih mudah & lancar transportasi pangan dari Luwuk menuju Kota Manado atau Kota Makassar daripada transportasi pangan dari Luwuk menuju daerah-daerah di Kecamatan Balantak Kepulauan, Kepulauan Togean, perbatasan laut di Kab. Banggai Laut atau Banggai Kepulauan.  Demikian juga untuk kondisi di Kabupaten Donggala terutama akses ke daerah-daerah pegunungan sehingga dibutuhkan subsidi atau penambahan armada angkutan yang lebih memadai dan memiliki jalur perjalanan yang regular.  Harus dipikirkan sebuah langkah maju pada kemampuan distribusi pangan sampai kepada masyarakat dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, beragam, bergizi dan terjangkau.

Perlu digarisbawahi bahwa penduduk yang bermukim di wilayah-wilayah rawan pangan bukanlah mereka yang berada dalam kondisi kelaparan, kehilangan akan akses pangan utama (beras, jagung, umbi-umbian) atau yang kondisi lahannya kering kerontang tetapi standar rawan pangan dilihat dari seberapa besar keberagaman pangan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakatnya.  Keberagaman pangan tersebut memenuhi kebutuhan kalori, kebutuhan protein, kebutuhan nutrisi makro dan mikro, mineral, vitamin dan lainnya selain faktor penting lainnya seperti keamanan pangan yang layak dikonsumsi. Keberagaman pangan identik dengan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) semakin tinggi keberagaman pangan maka semakin tinggi pula skor PPH nya. Jadi disimpulkan jika keberagaman pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah rendah atau tidak tercapai maka masyarakatnya akan memiliki nilai gizi yang kurang selanjutnya mengindikasikan bahwa tempat tinggalnya (daerahnya) memiliki kemampuan akses pangan yang kurang atau wilayah yang rawan pangan.  Itulah sebabnya daerah-daerah rawan pangan memiliki kondisi masyarakat yang juga menderita stunting, masyarakat miskin dengan asupan pangan yang rendah dan umumnya berada di desa tertinggal.

Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Sulawesi Tengah tahun 2022 telah menetapkan beberapa desa dengan status rawan pangan pada prioritas 1, 2 dan 3 dan umumnya ketika disurvei pada desa-desa yang dimaksud, sebagian besar masyarakatnya merasa bahwa pangan konsumsi mudah untuk diperoleh asal memiliki cukup uang.  Tetapi anggapan itu merujuk pada pangan-pangan utama, dengan kata lain pemahaman masyarakatnya yang masih berpendapat bahwa mengkonsumsi pangan asal kenyang saja dan tidak memperhatikan tentang komposisi gizi dari pangan tersebut.  Hal inilah yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan bayi dan anak yang kurang baik serta daya tahan tubuh dan kesehatan masyarakat yang kurang sehingga berpengaruh pada tingkat produktivitas kerja masyarakat. Sebenarnya, fokus pada penyelesaian permasalahan pangan telah diatur dalam Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dengan berprinsip bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD Negara RI tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan SDM yang berkualitas dan Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.  Olehnya pemerintah dan pemerintah daerah (prov, kab/kota) wajib membuat sebuah Dokumen Perencanaan Pangan dengan periodisasi 5 (lima) tahun yang merupakan input kebijakan pangan pada dokumen perencanaan daerah seperti RPJPD, RPJMD, RKPD dan dokumen perangkat daerah seperti Renstra, Renja, DPA-RKA.  Dokumen perencanaan ini memuat isu strategis pangan, arah kebijakan, strategi, tujuan, sasaran program dan kegiatan pangan atau dengan kata lain memuat penyelenggaraan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri; menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat; mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat; mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri.  Sesuai dengan UU tersebut, maka pelaksanaan dokumen perencanaan selain harus terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Nasional & Daerah, Rencana Perangkat Daerah juga harus dilaksanakan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pemerintah provinsi/kab/kota di Sulawesi Tengah hendaknya segera menyiapkan dokumen perencanaan khusus pangan yang menjadi Input pada proses penyusunan awal RPJPD dan RPJMD yang bisa menjadi bahan rujukan penyusunan Visi dan Misi kepala daerah periodisasi 2025-2030, dalam dokumen juga akan menampilkan langkah-langkah penyelesaian terhadap permasalahan pangan yang ditemui, langkah-langkah penyelesain adalah sebuah Inovasi yang bisa memberikan keuntungan, mudah untuk dikerjakan, sesuai dengan karakteristik masyarakat dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat.  Semoga tahun-tahun kedepannya Sulawesi Tengah bisa bebas dari Status wilayah rawan pangan.

Tidak ada komentar:

MERAIH KEMENANGAN MENGGAPAI SULAWESI TENGAH YANG BALDATUN THOYYIBATUN

  Oleh. Dr. Mohammad Saleh Nurmustakim, SPi, M.Si Masyarakat dan Provinsi Sulawesi Tengah sebagaimana provinsi lain di Indonesia, telah suks...